Sabtu, 28 September 2013


UU SISDIKNAS dan UU GURU DAN DOSEN
Mengatasi Masalah dengan Masalah ?


PENDAHULUAN

Berbagai upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan sejak dulu. Antara lain menata sarana dan prasarana, mengutak-atik kurikulum, meningkatkan kualitas guru baik melalui peningkatan kualifikasi pendidikan guru, memberikan berbagai diklat atau penataran, maupun peningakatan tunjangan profesi guru dalam arti meningkatkan kesejahteraan guru. Semua ini dilakukan guna tercapainya tujuan pendidikan nasional yang bermutu secara merata.
            Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga merupakan upaya pemerintah untuk menata kembali sistem pendidikan nasional. Undang-undang Sisdiknas merupakan pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 yang dianggap tidak mengusung prinsip reformasi yang mulai digembor-gemborkan pada tahun 1998. Sedangkan Undang-undang Guru dan Dosen memuat berbagai pasal yang mengatur berbagai hal tentang tenaga pendidik
            Melihat fakta bahwa segudang undang-undang yang dilahirkan di Indonesia ternyata tidak membawa perubahan yang diharapkan, sebut saja UU Lalu Lintas yang belum mampu mewujudkan disiplin berlalu lintas sehingga kemacetan dan kecelakaan masih banyak terjadi, atau UU Perlindungan Anak yang belum mampu menjamin berkurangnya kekerasan pada anak, maka akankah UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen, baik substansi maupun pelaksanaannya nantinya dapat menyelesaikan masalah pendidikan Indonesia, atau sebaliknya?

PEMBAHASAN
A.     UU Sistem Pendidikan Nasional
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1998. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah diusungnya prinsip demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, kesetaraan dan keseimbangan, serta adanya keterlibatan dan peran aktif masyarakat dalam pendidikan.
Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otoda) yang dianggap telah diabaikan selama 50 tahun lebih sebelum era reformasi. Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Dalam hal ini pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya, pemerintah wajib menjamin tersedianya dana guna terselennggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2) sebagai warga wajib belajar. Dengan adanya desentralisasi penyelenggaraan pendidikandan pemberdayaan masyarakat maka pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat 4 UUD RI (Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional) - (pasal 46 ayat 2).
Paradigma baru lainnya yang tercantum dalam UU Sisdiknas 2003 adalah konsep kesetaraan antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam hal ini tidak ada lagi istilah satuan pendidikan "plat merah" atau "plat kuning", semuanya berhak memperoleh dana dari Negara. Demikian juga adanya kesetaraan antara satu pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama, maupun antara jalur pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya (Bab VI).

B.     UU Guru dan Dosen
"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Ungkapan ini dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia pendidikan. Guru sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Sehingga guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas.[1] Peran guru yang demikian penting memang menuntut kecakapan yang memadai. Sehingga tidak berlebihan jika para ahli pendidikan, pada umumnya memasukkan guru sebagai pekerja professional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu, serta memiliki sejumlah kompetensi tertentu, bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.[2]
Selama ini, kualitas guru di Indonesia memang masih dianggap rendah. Indikasi yang bisa dijumpai berkaitan dengan hal tersebut diantaranya adalah rendahnya pemahaman tentang strategi pembelajaran, kurangnya kemahiran dalam pengelolaan kelas, pemanfaatan alat dan sumber pembelajaran, kurang disiplin, rendahnya komitmen profesi sehingga masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh, rendahnya motivasi untuk meningkatkan kualitas diri.[3] Untuk itulah perlu disusun UU Guru dan Dosen sebagai bentuk perhatian khusus yang ditujukan bagi guru guna mendongkrak kinerja dan profesionalitas guru.
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memuat berbagai aspek yang berkenaan dengan guru, mulai dari syarat yang harus dipenuhi untuk menunjang profesi guru meliputi kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi, sampai pada berbagai kemaslahatan yang berhak diterima guru dan kode etik yang harus dijaga.
Berbagai syarat harus dimiliki oleh seorang guru professional. Hal inilah yang pertama kali menentukan keberhasilan proses pendidikan. Dalam pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-undang ini juga disebutkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh guru mencakup empat hal, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Penjelasan pasal 28 ayat 3 dikemukakan bahwa kompetensi pedagogic adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Secara pedagogis, kompetensi guru dalam mengelola pembelajaran perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini penting, karena pendidikan di Indonesia dinyatakan kurang berhasil oleh sebagian masyarakat. Proses pembelajaran di sekolah nampak sebagai proses mekanis yang kering aspek pedagogis atau yang biasa disebut sebagai pendidikan gaya bank.[4] Dengan model pendidikan tersebut, peserta didik menjadi kerdil, pasif, dan tidak dapat berkembang secara optimal karena pilihan-pilihannya cenderung dipaksakan oleh guru (berpusat pada guru). Padahal sebagai agen pembelajaran, guru tidak hanya bertugas dalam transformasi ilmu pengetahuan saja, tetapi ia juga harus berperan sebagai fasilitator, motivator, pemacu, dan inspirator bagi peserta didik.[5]
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.[6]
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa, serta menjadi teladan bagi peserta didik.[7] Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Hal ini penting mengingat pribadi guru juga sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik.
Menurut Syed Sajjad Husein, dalam Islam, guru harus merupakan pribadi yang dapat dijadikan teladan sehingga perilakunya dapat mempengaruhi peserta didik. Guru tidak hanya mengurusi materi pembelajaran; apa yang dilakukan, caranya berperilaku, sikapnya di dalam dan di luar kelas harus mampu membiuskan nilai yang dapat diterima oleh peserta didik. Hal ini lah yang menurutnya telah hilang dari kepribadian guru saat ini.[8]
Karena sedemikian baanyak kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sehingga pemerintah menetapkan diwajibkannya guru mengikuti proses sertifikasi dan uji kompetensi. Pasal 8 menyebutkan : ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Untuk menjamin dilaksanakannya sertifikasi maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik bagi semua guru, baik guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat (Pasal 13).
Guru yang telah memenuhi syarat tersebut maka ia akan lebih mudah menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagaimana tertera dalam pasal 20 yaitu berkenaan dengan perencanaan sampai evaluasi pembelajaran, meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya seiring perkembangan zaman, dan menjaga obyektivitasnya terhadap peserta didik.
Jika seluruh syarat dan kewajiban telah terpenuhi maka guru berhak mendapatkan berbagai fasilitas gaji, tunjangan, dan bentuk kemaslahatan lainnya. Hal ini secara panjang lebar dimuat dalam 11 item sebagai bentuk penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap guru (pasal 14-19). Di samping itu guru juga diberi jaminan perlindungan ketika menjalankan tugasnya, serta kesempatan membina dan mengembangkan kompetensinya dengan anggaran dari pemerintah.

C.     UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen Dihadapkan pada Permasalahan Pendidikan Indonesia
Seakan menjadi sebuah tradisi bahwa pro dan kontra selalu mengiringi lahirnya UU di Indonesia. Optimisme versus pesimisme akan beradu ketika sebuah palu telah diketok sebagai tanda dimulainya pengujian terhadap undang-undang baru. Demikian halnya yang terjadi pada UU Sisdiknas dan Undang-Undang Guru dan Dosen. Kedua UU ini diluncurkan sebagai salah satu upaya pemerintah mengatasi masalah rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. UU Sisdiknas telah disusun sedemikian rupa sesuai tuntutan reformasi yang telah menjadi tekad bangsa Indonesia. Begitu juga UU Guru dan Dosen dianggap sebagai payung hukum bagi pendidik yang menjadi salah satu penentu keberhasilan pendidikan agar mereka termotivasi dan mampu meningkatkan kinerjanya sesuai yang diharapkan. Namun, benarkah kedua UU tersebut menjadi jawaban final atas permasalahan pendidikan Indonesia? Atau sebaliknya, keduanya justru akan menimbulkan masalah baru yang semakin memperburuk keadaaan?
Setelah beberapa tahun diluncurkan, sudah layak kiranya jika dilakukan kajian terhadap pelaksanaan UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemarataan kesempatan pendidikan bagi warga Negara dalam kondisi apapun, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Hal ini mengandung arti bahwa pemerintah harus menjamin terlaksananya pendidikan bagi seluruh warga wajib belajar dengan cara apapun, bahkan tapa memungut biaya. Dengan adanya aturan yang demikian, bias dibayangkan betapa mudahnya memperoleh pendidikan dasar yang bermutu. Semestinya masyarakat tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk pendidikan anak-anak mereka. Namun kenyataan memang tak seindah yang dibayangkan. Di berbagai daerah, pendidikan masih berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Mulai dari kekurangan tenaga pendidik, minimnya fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat memperoleh pendidikan karena masalah ekonomi dan kebutuhan hidup.
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 88 UU Sisdiknas disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Peran serta msyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukannya pun belum dilakukan secara terbuka dan partisipatif.
Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan yang berasal dari APBN dan APBD hingga saat ini masih di bawah 20 %. Meskipun bisa jadi anggaran 20 % tersebut belum mampu menjamin terlaksananya pendidikan secara bermutu. Dengan besaran anggaran yang ditetapkan, pemerintah seolah berusaha menunjukkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalah pendidikan. Belum lagi UU Guru dan Dosen yang di dalamnya juga memuat dana yang sangat besar untuk berbagai macam tunjangan dan kemaslahatan bagi guru, serta pelaksanaan sertifikasi, dan upaya pembinaan kompetensi guru. Sebenarnya dana tersebut memang pantas dianggarkan mengingat masih banyaknya sekolah yang minim sarana prasarana, juga sebagai upaya penghargaan terhadap pengabdian guru. Namun masalahnya adalah bahwa tidak semua daerah di Indonesia memiliki kemampuan dana seperti yang ditetapkan pemerintah. Sehingga munculnya ketentuan tersebut akan sulit dilaksanakan secara menyeluruh.
Sampai saat ini cukup banyak penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan) yang tidak jelas keberadaannya. Dalam pelaksanaanya banyak lembaga pendidikan yang belum memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan dan standart mutu pendidikan yang diharapkan. Hal ini disebabkan yayasan-yayasan tersebut terkesan memaksakan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan, sehingga banyak lembaga pendidikan yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan yang jauh dari memadai, guru yang tidak kompeten, organisasi yang tidak dikelola dengan baik dll. Penyelenggara pendidikan seperti diatas jumlahnya cukup besar di indonesia. Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen diharapkan dapat menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas mutu pelayanan pendidikan di masyarakat baik itu negeri maupun swasta.
Permasalahan lain yang mengundang kontroversi dalam UU Guru dan Dosen adalah diwajibkannya guru mengikuti sertifikasi dan uji kompetensi. Hal ini tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan tentang Sertifikat Profesi Pendidik. Banyak pihak mengkhawatirkan program sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK) nantinya akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang mengarah pada terciptanya lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru. Yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa.
Sedangkan semangat dari pasal ini adalah untuk meningkatkan kompetensi pendidik itu sendiri, serta berusaha lebih menghargai profesi pendidik. Dengan sertifikasi diharapkan lebih menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai langkah menjadikan guru sebagai tenaga profesional.
Berbagai keraguan memang bisa saja muncul dari kebijakan pelaksanaan sertifikasi. Apakah proses sertifikasi ini satu-satunya solusi bagi peningkatan kualitas pendidik. Jika diamati lebih mendalam mengenai keadaan tenaga pendidik di Indonesia maka akan ditemukan berbagai permasalahan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan. Pertama dari segi kuantitas, menurut data Direktorat Tenaga Kependidikan, pada tahun 2005 saja terdapat kekurangan tenaga guru sebesar 218,838. Dengan jumlah kekurangan guru yang cukup besar maka kita tidak dapat berharap akan terciptanya kualitas pendidikan. Di samping itu masalah distribusi guru juga tidak merata, baik dari sisi daerah maupun sekolah. Belum lagi hal yang berkaitan dengan prasyarat akademis, baik itu menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian latar belakang bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan. Di samping kualifikasi akademik yang tidak sesuai, guru juga sangat jarang diikutkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuannya. Menengok berbagai permasalahan tersebut, maka apakah sesuai jika solusi utama yang ditawarkan adalah sertifikasi? Karena kenyataannya, sertifikasi hanya dianggap sebagai sebuah proses yang harus dilalui untuk mengejar tunjangan yang dijanjikan, bukan sebagai upaya meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru.

PENUTUP
            Kompleksitas masalah pendidikan Indonesia menuntut pemerintah dengan dukungan masyarakat untuk terus berupaya memperbaikinya. Lahirnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen membawa secercah harapan akan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Apapun upaya yang dilakukan harus tetap melihat pada kemampuan diri dan relevansinya dengan permasalahan yang dihadapi. Masyarakat pun punya peran untuk terus mengawasi dan mengkritisi peruses yang berlangsung. Maka bukan sesuatu yang diharapkan jika yang terjadi adalah bermaksud mengatasi masalah namun justru melahirkan masalah baru.

REFERENSI

Husein, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf. Krisis Dalam Pendidikan Islam. ter. Fadhlan Mudhafir. Jakarta: Al-Mawardi Prima. 2000.

Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007.

Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2007.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Usman, Moh. Uzer.  Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1997.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.





[1] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, 5.
[2] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997, 14.
[3] E. Mulyasa, op.cit., 9.
[4] E. Mulyasa, op. cit., 76.
[5] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, 147.
[6] Kompetensi lulusan yang harus dimiliki peserta didik meliputi kemampuan mengamalkan ajaran agama, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, kemampuan berkarya, memahami keberagaman lingkungannya, menggunakan teknologi informasi dengan tepat, dan lain-lain. Secara garis besar meliputi kemampuan kognitif, konatif, afektif, sosal, dan motorik, sebagaimana yang tercantum dalam tujuan Pendidikan Nasional. Selengkapnya lihat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
[7] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 8
[8] Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Krisis Dalam Pendidikan Islam, ter. Fadhlan Mudhafir, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000, 142.

1 komentar:

  1. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

    Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

    saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Pembayaran yang fleksibel,
    Suku bunga rendah,
    Layanan berkualitas,
    Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

    Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

    Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

    BalasHapus