UU SISDIKNAS dan UU GURU DAN DOSEN
Mengatasi Masalah dengan Masalah ?
PENDAHULUAN
Berbagai upaya pemerintah
meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan sejak dulu. Antara lain menata
sarana dan prasarana, mengutak-atik kurikulum, meningkatkan kualitas guru baik
melalui peningkatan kualifikasi pendidikan guru, memberikan berbagai diklat
atau penataran, maupun peningakatan tunjangan profesi guru dalam arti
meningkatkan kesejahteraan guru. Semua ini dilakukan guna tercapainya tujuan
pendidikan nasional yang bermutu secara merata.
Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga merupakan upaya
pemerintah untuk menata kembali sistem pendidikan nasional. Undang-undang
Sisdiknas merupakan pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 yang dianggap
tidak mengusung prinsip reformasi yang mulai digembor-gemborkan pada tahun
1998. Sedangkan Undang-undang Guru dan Dosen memuat berbagai pasal yang
mengatur berbagai hal tentang tenaga pendidik
Melihat
fakta bahwa segudang undang-undang yang dilahirkan di Indonesia ternyata tidak
membawa perubahan yang diharapkan, sebut saja UU Lalu Lintas yang belum mampu
mewujudkan disiplin berlalu lintas sehingga kemacetan dan kecelakaan masih
banyak terjadi, atau UU Perlindungan Anak yang belum mampu menjamin
berkurangnya kekerasan pada anak, maka akankah UU Sisdiknas dan UU Guru dan
Dosen, baik substansi maupun pelaksanaannya nantinya dapat menyelesaikan
masalah pendidikan Indonesia, atau sebaliknya?
PEMBAHASAN
A.
UU Sistem Pendidikan Nasional
Dalam upaya meningkatkan
mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan
menyesuaikan dengan perubahan global dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003
telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai
pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1998. Undang-undang Sisdiknas
Nomor 20 tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut merupakan
pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang
dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah diusungnya
prinsip demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, kesetaraan dan
keseimbangan, serta adanya keterlibatan dan peran aktif masyarakat dalam
pendidikan.
Tuntutan reformasi yang
sangat penting adalah demokratisasi yang mengarah pada dua hal yakni
pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otoda) yang
dianggap telah diabaikan selama 50 tahun lebih sebelum era reformasi. Konsep
demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas
2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Dalam hal ini pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta
menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa
diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya, pemerintah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselennggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara
yang berusia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2) sebagai warga wajib belajar. Dengan
adanya desentralisasi penyelenggaraan pendidikandan pemberdayaan masyarakat
maka pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah
(pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana
diatur dalam pasal 31 ayat 4 UUD RI (Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional) - (pasal 46 ayat 2).
Paradigma baru lainnya yang
tercantum dalam UU Sisdiknas 2003 adalah konsep kesetaraan antara satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam hal ini tidak ada lagi istilah satuan
pendidikan "plat merah" atau "plat kuning", semuanya berhak
memperoleh dana dari Negara. Demikian juga adanya kesetaraan antara satu
pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen
Agama, maupun antara jalur pendidikan formal, non formal, dan informal yang
dapat saling melengkapi dan memperkaya (Bab VI).
B.
UU Guru dan Dosen
"Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari". Ungkapan ini dapat memberi kita
pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia pendidikan. Guru sangat
menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses
belajar mengajar. Sehingga guru merupakan komponen yang paling berpengaruh
terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas.[1] Peran
guru yang demikian penting memang menuntut kecakapan yang memadai. Sehingga
tidak berlebihan jika para ahli pendidikan, pada umumnya memasukkan guru
sebagai pekerja professional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh
mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu, serta memiliki sejumlah kompetensi
tertentu, bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat
memperoleh pekerjaan lain.[2]
Selama ini, kualitas guru di
Indonesia memang masih dianggap rendah. Indikasi yang bisa dijumpai berkaitan
dengan hal tersebut diantaranya adalah rendahnya pemahaman tentang strategi
pembelajaran, kurangnya kemahiran dalam pengelolaan kelas, pemanfaatan alat dan
sumber pembelajaran, kurang disiplin, rendahnya komitmen profesi sehingga masih
banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh, rendahnya motivasi
untuk meningkatkan kualitas diri.[3] Untuk
itulah perlu disusun UU Guru dan Dosen sebagai bentuk perhatian khusus yang
ditujukan bagi guru guna mendongkrak kinerja dan profesionalitas guru.
Undang-undang Nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen memuat berbagai aspek yang berkenaan dengan guru,
mulai dari syarat yang harus dipenuhi untuk menunjang profesi guru meliputi
kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi, sampai pada berbagai kemaslahatan
yang berhak diterima guru dan kode etik yang harus dijaga.
Berbagai syarat harus dimiliki oleh seorang
guru professional. Hal inilah yang pertama kali menentukan keberhasilan proses
pendidikan. Dalam pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam
Undang-undang ini juga disebutkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh
guru mencakup empat hal, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Penjelasan pasal 28 ayat 3
dikemukakan bahwa kompetensi pedagogic adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik. Secara pedagogis, kompetensi guru dalam mengelola pembelajaran
perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini penting, karena pendidikan di
Indonesia dinyatakan kurang berhasil oleh sebagian masyarakat. Proses
pembelajaran di sekolah nampak sebagai proses mekanis yang kering aspek
pedagogis atau yang biasa disebut sebagai pendidikan gaya bank.[4] Dengan
model pendidikan tersebut, peserta didik menjadi kerdil, pasif, dan tidak dapat
berkembang secara optimal karena pilihan-pilihannya cenderung dipaksakan oleh
guru (berpusat pada guru). Padahal sebagai agen pembelajaran, guru tidak hanya
bertugas dalam transformasi ilmu pengetahuan saja, tetapi ia juga harus
berperan sebagai fasilitator, motivator, pemacu, dan inspirator bagi peserta
didik.[5]
Kompetensi professional
adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.[6]
Kompetensi kepribadian
adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa,
serta menjadi teladan bagi peserta didik.[7]
Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Hal ini penting mengingat
pribadi guru juga sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik.
Menurut Syed Sajjad Husein,
dalam Islam, guru harus merupakan pribadi yang dapat dijadikan teladan sehingga
perilakunya dapat mempengaruhi peserta didik. Guru tidak hanya mengurusi materi
pembelajaran; apa yang dilakukan, caranya berperilaku, sikapnya di dalam dan di
luar kelas harus mampu membiuskan nilai yang dapat diterima oleh peserta didik.
Hal ini lah yang menurutnya telah hilang dari kepribadian guru saat ini.[8]
Karena sedemikian baanyak
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sehingga pemerintah menetapkan
diwajibkannya guru mengikuti proses sertifikasi dan uji kompetensi. Pasal 8 menyebutkan : ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional”. Untuk menjamin dilaksanakannya sertifikasi
maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk
peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik bagi semua guru, baik guru
yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat (Pasal 13).
Guru yang telah memenuhi
syarat tersebut maka ia akan lebih mudah menjalankan kewajiban-kewajibannya
sebagaimana tertera dalam pasal 20 yaitu berkenaan dengan perencanaan sampai
evaluasi pembelajaran, meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya seiring
perkembangan zaman, dan menjaga obyektivitasnya terhadap peserta didik.
Jika seluruh syarat dan
kewajiban telah terpenuhi maka guru berhak mendapatkan berbagai fasilitas gaji,
tunjangan, dan bentuk kemaslahatan lainnya. Hal ini secara panjang lebar dimuat
dalam 11 item sebagai bentuk penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap
guru (pasal 14-19). Di samping itu guru juga diberi jaminan perlindungan ketika
menjalankan tugasnya, serta kesempatan membina dan mengembangkan kompetensinya
dengan anggaran dari pemerintah.
C.
UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen
Dihadapkan pada Permasalahan Pendidikan Indonesia
Seakan menjadi sebuah
tradisi bahwa pro dan kontra selalu mengiringi lahirnya UU di Indonesia.
Optimisme versus pesimisme akan beradu ketika sebuah palu telah diketok sebagai
tanda dimulainya pengujian terhadap undang-undang baru. Demikian halnya yang
terjadi pada UU Sisdiknas dan Undang-Undang Guru dan Dosen. Kedua UU ini
diluncurkan sebagai salah satu upaya pemerintah mengatasi masalah rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia. UU Sisdiknas telah disusun sedemikian rupa
sesuai tuntutan reformasi yang telah menjadi tekad bangsa Indonesia. Begitu
juga UU Guru dan Dosen dianggap sebagai payung hukum bagi pendidik yang menjadi
salah satu penentu keberhasilan pendidikan agar mereka termotivasi dan mampu
meningkatkan kinerjanya sesuai yang diharapkan. Namun, benarkah kedua UU
tersebut menjadi jawaban final atas permasalahan pendidikan Indonesia? Atau
sebaliknya, keduanya justru akan menimbulkan masalah baru yang semakin
memperburuk keadaaan?
Setelah beberapa tahun
diluncurkan, sudah layak kiranya jika dilakukan kajian terhadap pelaksanaan UU
Sisdiknas nomor 20 tahun 2003. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemarataan kesempatan pendidikan bagi
warga Negara dalam kondisi apapun, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Hal
ini mengandung arti bahwa pemerintah harus menjamin terlaksananya pendidikan
bagi seluruh warga wajib belajar dengan cara apapun, bahkan tapa memungut
biaya. Dengan adanya aturan yang demikian, bias dibayangkan betapa mudahnya
memperoleh pendidikan dasar yang bermutu. Semestinya masyarakat tidak perlu
lagi memikirkan biaya untuk pendidikan anak-anak mereka. Namun kenyataan memang
tak seindah yang dibayangkan. Di berbagai daerah, pendidikan masih berada dalam
kondisi yang memprihatinkan. Mulai dari kekurangan tenaga pendidik, minimnya
fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat memperoleh pendidikan karena
masalah ekonomi dan kebutuhan hidup.
Peran masyarakat dalam
pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi
masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif
masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak penting. Padahal secara jelas
di dalam pasal 88 UU Sisdiknas disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan
serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan. Peran serta msyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukannya pun belum dilakukan
secara terbuka dan partisipatif.
Lebih jauh, anggaran untuk
pendidikan yang berasal dari APBN dan APBD hingga saat ini masih di bawah 20 %.
Meskipun bisa jadi anggaran 20 % tersebut belum mampu menjamin terlaksananya
pendidikan secara bermutu. Dengan besaran anggaran yang ditetapkan, pemerintah
seolah berusaha menunjukkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalah
pendidikan. Belum lagi UU Guru dan Dosen yang di dalamnya juga memuat dana yang
sangat besar untuk berbagai macam tunjangan dan kemaslahatan bagi guru, serta
pelaksanaan sertifikasi, dan upaya pembinaan kompetensi guru. Sebenarnya dana
tersebut memang pantas dianggarkan mengingat masih banyaknya sekolah yang minim
sarana prasarana, juga sebagai upaya penghargaan terhadap pengabdian guru.
Namun masalahnya adalah bahwa tidak semua daerah di Indonesia memiliki
kemampuan dana seperti yang ditetapkan pemerintah. Sehingga munculnya ketentuan
tersebut akan sulit dilaksanakan secara menyeluruh.
Sampai saat ini
cukup banyak penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan)
yang tidak jelas keberadaannya. Dalam pelaksanaanya banyak lembaga
pendidikan yang belum memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan dan standart
mutu pendidikan yang diharapkan. Hal ini disebabkan yayasan-yayasan tersebut
terkesan memaksakan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan, sehingga banyak
lembaga pendidikan yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan
yang jauh dari memadai, guru yang tidak kompeten, organisasi yang tidak
dikelola dengan baik dll. Penyelenggara pendidikan seperti diatas jumlahnya
cukup besar di indonesia. Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen diharapkan dapat
menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas mutu pelayanan pendidikan di
masyarakat baik itu negeri maupun swasta.
Permasalahan lain
yang mengundang kontroversi dalam UU Guru dan Dosen adalah diwajibkannya guru
mengikuti sertifikasi dan uji kompetensi. Hal ini tercantum pada pasal 8 UU
Guru dan Dosen yang menjelaskan tentang Sertifikat Profesi Pendidik. Banyak
pihak mengkhawatirkan program sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK)
nantinya akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang
mengarah pada terciptanya lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru.
Yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa.
Sedangkan semangat
dari pasal ini adalah untuk meningkatkan kompetensi pendidik itu sendiri, serta
berusaha lebih menghargai profesi pendidik. Dengan sertifikasi diharapkan lebih
menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini
dilakukan sebagai langkah menjadikan guru sebagai tenaga profesional.
Berbagai keraguan memang bisa
saja muncul dari kebijakan pelaksanaan sertifikasi. Apakah proses sertifikasi
ini satu-satunya solusi bagi peningkatan kualitas pendidik. Jika diamati lebih
mendalam mengenai keadaan tenaga pendidik di Indonesia maka akan ditemukan
berbagai permasalahan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan. Pertama dari
segi kuantitas, menurut data Direktorat Tenaga Kependidikan, pada tahun 2005
saja terdapat kekurangan tenaga guru sebesar 218,838. Dengan jumlah kekurangan
guru yang cukup besar maka kita tidak dapat berharap akan terciptanya kualitas
pendidikan. Di samping itu masalah distribusi guru juga tidak merata, baik dari
sisi daerah maupun sekolah. Belum lagi hal yang berkaitan dengan prasyarat
akademis, baik itu menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian latar
belakang bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan. Di samping kualifikasi
akademik yang tidak sesuai, guru juga sangat jarang diikutkan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuannya. Menengok berbagai permasalahan tersebut, maka apakah
sesuai jika solusi utama yang ditawarkan adalah sertifikasi? Karena
kenyataannya, sertifikasi hanya dianggap sebagai sebuah proses yang harus
dilalui untuk mengejar tunjangan yang dijanjikan, bukan sebagai upaya
meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru.
PENUTUP
Kompleksitas
masalah pendidikan Indonesia menuntut pemerintah dengan dukungan masyarakat
untuk terus berupaya memperbaikinya. Lahirnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
membawa secercah harapan akan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Apapun
upaya yang dilakukan harus tetap melihat pada kemampuan diri dan relevansinya
dengan permasalahan yang dihadapi. Masyarakat pun punya peran untuk terus
mengawasi dan mengkritisi peruses yang berlangsung. Maka bukan sesuatu yang
diharapkan jika yang terjadi adalah bermaksud mengatasi masalah namun justru
melahirkan masalah baru.
REFERENSI
Husein, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf. Krisis
Dalam Pendidikan Islam. ter. Fadhlan Mudhafir. Jakarta: Al-Mawardi Prima.
2000.
Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007.
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan; Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2007.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 1997.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[1] E.
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007, 5.
[2] Moh.
Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1997, 14.
[3] E.
Mulyasa, op.cit., 9.
[4] E.
Mulyasa, op. cit., 76.
[5] Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, 147.
[6]
Kompetensi lulusan yang harus dimiliki peserta didik meliputi kemampuan
mengamalkan ajaran agama, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif,
kemampuan berkarya, memahami keberagaman lingkungannya, menggunakan teknologi
informasi dengan tepat, dan lain-lain. Secara garis besar meliputi kemampuan
kognitif, konatif, afektif, sosal, dan motorik, sebagaimana yang tercantum
dalam tujuan Pendidikan Nasional. Selengkapnya lihat Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
[7]
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen Pasal 8
[8]
Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Krisis Dalam Pendidikan Islam,
ter. Fadhlan Mudhafir, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000, 142.
Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
BalasHapusJika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)