Sabtu, 28 September 2013


PENDIDIKAN AGAMA BERBASIS MULTIKULTURAL

Puspita Handayani
F0340614



PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat pluralis baik ditinjau dari segi etnik, budaya, geografis dan agama, ditandai dengan kemajemukan lebih dari 300 suku bangsa yang menganut agama dan kepercayaan yang berbeda. Belum lagi datangnya gelombang globalisasi pastinya memberikan pengaruh terhadap bahaya perpecahan suatu negara, tidak dipungkiri akan terjadi benturan – benturan yang disinyalir akibat faktor politik, sosial, budaya, ekonomi, ras khususnya agama yang sering dijadikan kambing hitam dalam setiap pertikaian antar suku..
Melihat fenomena tersebut perlu kiranya mengadakan pendidikan yang peka menghadapi arus globalisasi untuk mengakui kemajemukan rakyatnya. Pendidikan multikultural merupakan jawaban atas beberapa problematika kemajemukan tersebut. Mengapa lewat pendidikan ? perlu disadari bahwa proses pendidikan adalah proses pembudayaan dan cita – cita persatuan bangsa dari unsur budaya nasional.[1]Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman atau penghapusan berbagai jenis prejudise demi membangun kehidupan masyarakat yang adil dan maju.
Lalu bagaimana dengan Pendidikan Agama merupakan salah satu bidang studi primer yang diajarkan dalam setiap jenjang pendidikan, semestinya mampu mewadahi kekompleksitasan budaya bangsa yang retan konflik SARA. Melalui pendidikan agama berbasis kultural diharapkan pendidik mengajak peserta didik untuk membuka cakrawala berpikir dengan cara mencari dan memperkaya diri dengan ilmu tantang Tuhan, ajaranNya dan mengenal-Nya secara kreatif. Sehingga dalam posisi ini peserta didik dengan penuh kesadaran dan kegembiraan memenuhi ajaran Tuhannya.
  Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.
PEMBAHASAN
A.     Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural intinya pada kultur itu sendiri, dalam kamus besar Indonesia kultur secara sederhana diartikan sebagai kebudayaan.[2] Budaya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia[3] definisi lain menyebutkan kultur merupakan sesuatu bersifat adaptif maksudnya, kultur merupakan proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.[4] Dalam konteks pendidikan budaya mempunyai tujuan untuk “menjadikan” manusia mempunyai kematangan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin.
Secara sederhana pendidikan multikultural bisa diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan ( people of color ). Melalui pendidikan diharapkan sebagi sarana legitimasi dan realisasi pembebasan pendidikan tanpa harus ada pengecualian budaya, ras, seksualitas, gender, etnisitas, agama, status sosial, dan ekonomi. Dengan kata lain ruang pendidikan sebagai transformasi ilmu pengetahuan ( transfer of know ledge ) hendaknya mampu memberikan nilai – nilai multikultural dengan cara saling menghormati atas realitas yang beragam baik latar belakang maupun basis sosial budaya yang melingkupi.
Dimensi pendidikan multikultural yang perlu diperhatikan, meliputi :
1.      Content Integration, Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar  generalisasi dan teori dalam mata pelajaran.
2.      The knowledge Construction Process, membawa siswa untuk memahami implikasi budaya dalam disiplin ilmu ( mata pelajaran ).
3.      An equity Paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka menfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam.
4.      Prejudice reduction, pengidentifikasian karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran.[5]
Dari paparan di atas dapat digaris bawahi bahwa fokus pendidikan multikultural adalah sebuah pendidikan diarahkan tidak semata – mata pada ranah kognitif  atau kelompok rasional, agama dan kutural domain, tetapi lebih pada sikap “peduli” dan mau mengerti terhadap orang – orang dari kelompok minoritas. Pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas, seperti halnya paradigma subjek ketidak adilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok – kelompok minoritas dalam berbagai bidang.
Pendidikan multikultural diharapkan mampu menyuntikan kesadaran sekaligus pengakuan siswa terhadap berbagai perbedaan kultur tersebut. Fokusnya pada pemahaman dalam hidup dengan berbagai perbedaan sosial dan budaya, baik secara individual maupun kelompok masyarakat. Sehingga perlu adanya rumusan

kompetensi apa yang hendak dicapai dalam pendidikan multikultural, yakni :
1.      Mengembangkan standard and basic academic skill tentang nilai – nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat atau saling menghargai dalam keragaman budaya.
2.      Mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman tentang latar belakang budaya sendiri dan budaya lain dalam masyarakat.
3.      Mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisis dan membuat keputusan yang cerdas ( intelligent decisions ) tentang isu – isu dan masalah keseharian melalui proses demokrasi atau inkuiri dialogis.
4.      Membantu mengkonseptualisasi dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik, demokratis dan memiliki persamaan derajat.
B.     Pendidikan Agama Berbasis Multikultural
Pendidikan agama merupakan satu dari tiga bidang studi yang wajib diberikan dalam tiap jenjang pendidikan. Pendidikan agama bertujuan membentuk manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan antar umat beragama. Sehingga terwujud masyarakat yang toleran, pluralis dan menghargai perbedaan agama di masyarakat.[6]
Pada dasarnya pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan lima prinsip dasar, yakni: pertama, pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum yang berlaku dan sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.                 Kedua, pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. Ketiga, pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari – hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika serta moral dalam berbangsa dan bernegara.[7]
Sebagai gambaran pendidikan agama di sekolah umum merupakan miniatur pluraritas, dimana pendidikan agama dimaknai sebagai media pengembangan sikap toleransi dan pluralisme. Namun sejauh mana misi toleransi dan pluralis berjalan , sangat tergantung pada masing – masing sekolah khususnya pengajar ( guru agama ).
Seorang guru agama mustahil memenuhi tugas pencapaian pendidikan agama yang identik menciptakan siswa yang bertaqwa dan berakhlak karimah dengan keterbatasan jam pelajaran. Tetapi usulan untuk menambah jam pelajaran agamapun sangatlah tidak realistis, juga tidak efektif  jika tidak disertai strategi pembelajaran yang tepat. Strategi pembelajaran agama saat ini lebih terfokus pada pembelajaran konseptual, maksudnya pesertadidik lebih banyak menerima informasi – informasi daripada prakteknya. Seharusnya pendidikan agama memiliki tiga aspek sasaran, yakni: pertama, transfer of knowledge. Disini penekanan pendidikan agama pada ranah kognitif. Kedua, Transfer of value ( mengisi hati ) sehingga menghasilkan sikap positif hasilnya tumbuhnya sikap kecintaan kepada kebaikan dan membenci kejahatan. Ketiga, Transfer of activity, tujuannya adalah timbulnya keinginan untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang jelek. Dari ketiga aspek tersebut yang paling dominan dikalangan guru agama adalah pada aspek pertama, sebab pada praktiknya tidak serumit pendidikan afektif dan psikomotorik.
Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial, kekerasan semakin sulit diatasi, sebab dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Guru harus menyadari posisinya dalam sistem pembelajaran agama di sekolah – sekolah umum atau madrasah, tanpa mengubah peluang dan pengembangan epistimologi baru. Seharusnya melibatkan pesertadidik dalam praktik – praktik keagamaan lebih melibatkan psikologis atau teologis mereka. Seperti halnya ketika siswa menerima pelajaran ilmu alam  ( pelajaran  biologi ) tentang proses terjadinya alam semesta maka, selayaknya guru memiliki dasar epistimologi kehadiran tuhan pada proses penciptaanya. Begitupula ketika materi geografi tentang keragaman suku maka, kehadiran kekuasaan Tuhan perlu dimunculkan oleh guru. Jadi ada sinergi antar matapelajaran. Sebab seharusnyalah pada setiap bidang studi apapun menghadirkan aspek Tuhan pada posisi apapun.
Sebuah kemustahilan guru agama dalam keterbatasan waktu mengajarkan            hal – hal tersebut. Terlebih lagi mengajak siswa terlibat dalam kegiatan keagamaan. Secara sederhana seperti menjadi panitia zakat, infak dan sodaqoh kemudian menyalurkan kepada yang berhak tanpa melihat perbedaan agama, sehingga secara psikologis mereka terpanggil dan memiliki keterbukaan cakrawala berpikir dalam beragama.
Pendidikan agama banyak menyentuh hal – hal yang ghoib ( hati ) manusia maka, selayaknya pendekatan yang digunakan tidak hanya pada ranah kognitif tetapi, diperlukan juga pendekatan pada ranah afektif[8] dan psikomotor. Peran pendidikan agama disini berusaha membentuk sikap mental peserta didik kearah menumbuhkan kesadaran beragama tidak hanya pada tataran pemikiran, tetapi juga pada kawasan rasa empati, toleransi, bimbingan hidup beragama, uswatun khasanah. Maka keterlibatan siswa dalam acara – acara religius sangatlah penting disamping hubungan sekolah dengan keluarga siswa.
C.     Urgensi Pendidikan Agama Berbasis Multikultural
Kemajemukan penduduk Indonesia menuntut adanya pendidikan yang           benar – benar bisa mengakomodir berbagai budaya dalam lingkup pembelajaran bisa diketahui urgensi pendidikan agama berbasis kultural ; pertama, berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Berawal dari terbentuknya sikap toleran pada diri siswa, tidak bermusuhan, tidak membuat konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa terutama agama dan lebih menghargai keberagaman. Kedua, Pendidikan agama berbasisi kultural diharapkan bisa membina siswa agar tidak mudah tercerabut oleh isu – isu yang berkedok agama sebagai tameng, tatkala berhadapan dengan realitas sosial – budaya di era globalisasi seperti sekarang ini sering kepentingan golongan tertentu menggunakan agama sebagai alat. Jika siswa sudah dibekali pendidikan agama yang mendewasakan dimungkinkan kesalah pahaman keberagamaan akan terhindar. Ketiga, sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional. Bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, ras, dan budaya – budaya lokal merupakan penguat budaya nasional, sebagai wujud rasa bangga generasi muda terhadap bangsanya dan penghormatan terhadap perbedaan keyakinan pada setiap individu .
Untuk mencapai tujuan itu perlu kiranya memasukkan pendidikan multikultural dalam kurikulum nasional, tujuan jangka panjangnya diharapkan tercipta tatanan masyarakat Indonesia yang toleran dan mau mengakui bahwa perbedaan merupakan kekayaan  luar biasa yang tidak dimiliki bangsa lain. Maka kekayaan itu patut kita jaga dan lestarikan.
PENUTUP
 Inti dari pendidikan multikultural adalah kultur itu sendiri, dimana kultur diartikan sesuatu yang dilakukan secara bersama – sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat tertentu. Kultur juga bisa diartikan sebuah proses adaptif  dalam sebuah hubungan populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.
Jadi jelaslah pendidikan agama berbasis kultural sangat dibutuhkan di indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman kultur dan agama. Konflik – konflik yang terjadipun sering menggunakan agama sebagai penyulutnya. Penting kiranya pendidikan agama lebih mendominasikan peserta didik berperan aktif dalam kegiatan keagamaan dengan mengedepankan pendidikan mengarah pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hal ini akan berhasil jika; pertama,  relegiusitas peserta didik tidak berfokus pada penguasaan konsep saja, tetapi lebih menyentuh pada aspek  Transfer of activity. kedua, basis epistimologi pendidikan agama dan metode pembelajarannya harus sinergi dengan bidang studi lainya. Ketiga, Profesionalisme guru agama lebih diperhatikan sebab berpengaruh pada kewibawaannya, juga media pembelajaran pendidikan agama yang kurang memadai.
Penempatan pendidikan agama sebagai basis nilai dari keseluruhan proses pembelajaran di sekolah menjadi sesuatu yang strategis. Model pembelajaran ini mustahil terjadi jika, di sekolah – sekolah tidak menggunakan pendidikan berbasis budaya ( Multikultural ).
DAFTAR RUJUKAN
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar; Jogyakarta,2006
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta.2001
Lian Gogali, Leode Arham, Listia. Problematika Pendidikan Agama di Sekolah,Institut Dian, Jogyakarta, 2007.
Sholeh, Abdul Rakhmad. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. Rajawali Press. Jakarta,2005
www.YPHA.or.id. Pendidikan Multikultural. 27/1/2006
Atmajaya.ac.id.2006.Pendidikan Multikultural Tanamkan Sikap Menghargai Keberagaman. Diakses melalui www.atmajaya.ac.id/content.asp.11/12/2007
Musa Asy’arie, Kompas,  Pendidikan Multikultural dan konflik Bangsa. 27/11/2007




[1] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural; Pustaka pelajar.Yogjakarta, 2006.viii
[2] Depdiknas, 2001.611
[3] Diakses dari Http//www.YPHA.or.id/2006
[4] Diakses dari www.atmajayaac.id/content.asp.11/12/2007
[5] Opcit, Choirul Mahfud, 30
[6] Listia, Leode arham, Lian Gogali ; Problematika Pendidikan Agama di Sekolah; Institut Dian; Jogyakarta,2007. 129
[7] Abdul Rachman Sholeh, Pendidikan agama dan Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta, Raja Wali Press,2005. 19-20
[8] Afektif  memiliki arti : berkenaan dengan perasaan dan keadaan perasaan yang mempengaruhi keadaan jiwa.

2 komentar:

  1. Artikel yang sangat bagus... Saya ingin berbagi artikel tentang Katedral di Florence di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/04/florence-di-piazza-del-duomo_11.html
    Lihatlah juga videonya di Youtube https://youtu.be/OVEs_zYK_FQ

    BalasHapus
  2. 12bet : play at asino - thakasino
    12bet is one 카지노 of the best online casinos on 12bet the market. We provide great live games to play and 24/7 support. The company's headquarters are 온카지노 in Nairobi and

    BalasHapus