PENDIDIKAN AGAMA BERBASIS MULTIKULTURAL
Puspita Handayani
F0340614
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat pluralis baik ditinjau dari segi etnik, budaya, geografis dan agama,
ditandai dengan kemajemukan lebih dari 300 suku bangsa yang menganut agama dan
kepercayaan yang berbeda. Belum lagi datangnya gelombang globalisasi pastinya
memberikan pengaruh terhadap bahaya perpecahan suatu negara, tidak dipungkiri
akan terjadi benturan – benturan yang disinyalir akibat faktor politik, sosial,
budaya, ekonomi, ras khususnya agama yang sering dijadikan kambing hitam dalam
setiap pertikaian antar suku..
Melihat fenomena tersebut
perlu kiranya mengadakan pendidikan yang peka menghadapi arus globalisasi untuk
mengakui kemajemukan rakyatnya. Pendidikan multikultural merupakan jawaban atas
beberapa problematika kemajemukan tersebut. Mengapa lewat pendidikan ? perlu disadari bahwa
proses pendidikan adalah proses pembudayaan dan cita – cita persatuan bangsa
dari unsur budaya nasional.[1]Pendidikan
multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman
atau penghapusan berbagai jenis prejudise demi membangun kehidupan
masyarakat yang adil dan maju.
Lalu bagaimana
dengan Pendidikan Agama merupakan salah satu bidang studi primer yang diajarkan
dalam setiap jenjang pendidikan, semestinya mampu mewadahi kekompleksitasan
budaya bangsa yang retan konflik SARA. Melalui pendidikan agama berbasis
kultural diharapkan pendidik mengajak peserta didik untuk membuka cakrawala
berpikir dengan cara mencari dan memperkaya diri dengan ilmu tantang Tuhan,
ajaranNya dan mengenal-Nya secara kreatif. Sehingga dalam posisi ini peserta
didik dengan penuh kesadaran dan kegembiraan memenuhi ajaran Tuhannya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama
masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan
hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama
yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas
maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah
barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan
multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Multikultural
Pendidikan multikultural intinya pada kultur itu sendiri, dalam kamus
besar Indonesia kultur secara sederhana diartikan sebagai kebudayaan.[2]
Budaya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia[3]
definisi lain menyebutkan kultur merupakan sesuatu bersifat adaptif maksudnya,
kultur merupakan proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik
dengan lingkungan sekitar.[4]
Dalam konteks pendidikan budaya mempunyai tujuan untuk “menjadikan” manusia
mempunyai kematangan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin.
Secara sederhana pendidikan multikultural bisa diartikan sebagai
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan ( people of color ). Melalui
pendidikan diharapkan sebagi sarana legitimasi dan realisasi pembebasan
pendidikan tanpa harus ada pengecualian budaya, ras, seksualitas, gender,
etnisitas, agama, status sosial, dan ekonomi. Dengan kata lain ruang pendidikan
sebagai transformasi ilmu pengetahuan ( transfer of know ledge ) hendaknya
mampu memberikan nilai – nilai multikultural dengan cara saling menghormati
atas realitas yang beragam baik latar belakang maupun basis sosial budaya yang
melingkupi.
Dimensi pendidikan multikultural yang perlu diperhatikan, meliputi :
1. Content Integration, Mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar
generalisasi dan teori dalam mata pelajaran.
2. The knowledge
Construction Process, membawa siswa untuk memahami implikasi budaya dalam disiplin ilmu ( mata
pelajaran ).
3. An equity Paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan
cara belajar siswa dalam rangka menfasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragam.
4. Prejudice reduction, pengidentifikasian karakteristik ras
siswa dan menentukan metode pengajaran.[5]
Dari
paparan di atas dapat digaris bawahi bahwa fokus pendidikan multikultural
adalah sebuah pendidikan diarahkan tidak semata – mata pada ranah kognitif atau kelompok rasional, agama dan kutural
domain, tetapi lebih pada sikap “peduli” dan mau mengerti terhadap orang
– orang dari kelompok minoritas. Pendidikan multikultural melihat masyarakat
secara lebih luas, seperti halnya paradigma subjek ketidak adilan, kemiskinan,
penindasan dan keterbelakangan kelompok – kelompok minoritas dalam berbagai
bidang.
Pendidikan
multikultural diharapkan mampu menyuntikan kesadaran sekaligus pengakuan siswa
terhadap berbagai perbedaan kultur tersebut. Fokusnya pada pemahaman dalam
hidup dengan berbagai perbedaan sosial dan budaya, baik secara individual
maupun kelompok masyarakat. Sehingga perlu adanya rumusan
kompetensi apa yang hendak dicapai dalam
pendidikan multikultural, yakni :
1. Mengembangkan standard
and basic academic skill tentang nilai – nilai persatuan dan kesatuan,
demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat atau saling menghargai dalam
keragaman budaya.
2. Mengembangkan kompetensi
sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman tentang latar belakang budaya sendiri
dan budaya lain dalam masyarakat.
3. Mengembangkan kompetensi
akademik untuk menganalisis dan membuat keputusan yang cerdas ( intelligent
decisions ) tentang isu – isu dan masalah keseharian melalui proses
demokrasi atau inkuiri dialogis.
4. Membantu
mengkonseptualisasi dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik,
demokratis dan memiliki persamaan derajat.
B. Pendidikan Agama
Berbasis Multikultural
Pendidikan
agama merupakan satu dari tiga bidang studi yang wajib diberikan dalam tiap
jenjang pendidikan. Pendidikan agama bertujuan membentuk manusia Indonesia yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan mampu menjaga
kerukunan hubungan antar umat beragama. Sehingga terwujud masyarakat yang
toleran, pluralis dan menghargai perbedaan agama di masyarakat.[6]
Pada
dasarnya pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan lima prinsip dasar,
yakni: pertama, pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada
kurikulum yang berlaku dan sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Kedua, pendidikan agama
harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal agama
yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. Ketiga, pendidikan agama harus
mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan
sehari – hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika serta moral dalam
berbangsa dan bernegara.[7]
Sebagai
gambaran pendidikan agama di sekolah umum merupakan miniatur pluraritas, dimana
pendidikan agama dimaknai sebagai media pengembangan sikap toleransi dan
pluralisme. Namun sejauh mana misi toleransi dan pluralis berjalan , sangat
tergantung pada masing – masing sekolah khususnya pengajar ( guru agama ).
Seorang
guru agama mustahil memenuhi tugas pencapaian pendidikan agama yang identik
menciptakan siswa yang bertaqwa dan berakhlak karimah dengan keterbatasan jam
pelajaran. Tetapi usulan untuk menambah jam pelajaran agamapun sangatlah tidak
realistis, juga tidak efektif jika tidak
disertai strategi pembelajaran yang tepat. Strategi pembelajaran agama saat ini
lebih terfokus pada pembelajaran konseptual, maksudnya pesertadidik lebih
banyak menerima informasi – informasi daripada prakteknya. Seharusnya
pendidikan agama memiliki tiga aspek sasaran, yakni: pertama, transfer of
knowledge. Disini penekanan pendidikan agama pada ranah kognitif. Kedua,
Transfer of value ( mengisi hati ) sehingga menghasilkan sikap positif
hasilnya tumbuhnya sikap kecintaan kepada kebaikan dan membenci kejahatan.
Ketiga, Transfer of activity, tujuannya adalah timbulnya keinginan untuk
melakukan yang baik dan menjauhi yang jelek. Dari ketiga aspek tersebut yang
paling dominan dikalangan guru agama adalah pada aspek pertama, sebab pada
praktiknya tidak serumit pendidikan afektif dan psikomotorik.
Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa
pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak
menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan.
Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi
keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang
rawan konflik. Hal ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan
yang fundamental sehingga konflik sosial, kekerasan semakin sulit diatasi,
sebab dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Guru harus menyadari posisinya dalam
sistem pembelajaran agama di sekolah – sekolah umum atau madrasah, tanpa
mengubah peluang dan pengembangan epistimologi baru. Seharusnya melibatkan
pesertadidik dalam praktik – praktik keagamaan lebih melibatkan psikologis atau
teologis mereka. Seperti halnya ketika siswa menerima pelajaran ilmu alam ( pelajaran
biologi ) tentang proses terjadinya alam semesta maka, selayaknya guru memiliki
dasar epistimologi kehadiran tuhan pada proses penciptaanya. Begitupula ketika
materi geografi tentang keragaman suku maka, kehadiran kekuasaan Tuhan perlu
dimunculkan oleh guru. Jadi ada sinergi antar matapelajaran. Sebab
seharusnyalah pada setiap bidang studi apapun menghadirkan aspek Tuhan pada
posisi apapun.
Sebuah kemustahilan guru agama dalam
keterbatasan waktu mengajarkan
hal – hal tersebut. Terlebih lagi mengajak siswa terlibat dalam kegiatan
keagamaan. Secara sederhana seperti menjadi panitia zakat, infak dan sodaqoh
kemudian menyalurkan kepada yang berhak tanpa melihat perbedaan agama, sehingga
secara psikologis mereka terpanggil dan memiliki keterbukaan cakrawala berpikir
dalam beragama.
Pendidikan agama banyak menyentuh hal –
hal yang ghoib ( hati ) manusia maka, selayaknya pendekatan yang digunakan tidak
hanya pada ranah kognitif tetapi, diperlukan juga pendekatan pada ranah afektif[8]
dan psikomotor. Peran pendidikan agama disini berusaha membentuk sikap mental
peserta didik kearah menumbuhkan kesadaran beragama tidak hanya pada tataran
pemikiran, tetapi juga pada kawasan rasa empati, toleransi, bimbingan hidup
beragama, uswatun khasanah. Maka keterlibatan siswa dalam acara – acara
religius sangatlah penting disamping hubungan sekolah dengan keluarga siswa.
C. Urgensi Pendidikan
Agama Berbasis Multikultural
Kemajemukan penduduk Indonesia menuntut
adanya pendidikan yang benar –
benar bisa mengakomodir berbagai budaya dalam lingkup pembelajaran bisa
diketahui urgensi pendidikan agama berbasis kultural ; pertama, berfungsi
sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Berawal dari terbentuknya sikap
toleran pada diri siswa, tidak bermusuhan, tidak membuat konflik yang
disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa terutama agama dan lebih
menghargai keberagaman. Kedua, Pendidikan agama berbasisi kultural diharapkan
bisa membina siswa agar tidak mudah tercerabut oleh isu – isu yang berkedok
agama sebagai tameng, tatkala berhadapan dengan realitas sosial – budaya di era
globalisasi seperti sekarang ini sering kepentingan golongan tertentu
menggunakan agama sebagai alat. Jika siswa sudah dibekali pendidikan agama yang
mendewasakan dimungkinkan kesalah pahaman keberagamaan akan terhindar. Ketiga,
sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional. Bangsa Indonesia yang beragam
suku, agama, ras, dan budaya – budaya lokal merupakan penguat budaya nasional,
sebagai wujud rasa bangga generasi muda terhadap bangsanya dan penghormatan
terhadap perbedaan keyakinan pada setiap individu .
Untuk mencapai tujuan itu perlu kiranya
memasukkan pendidikan multikultural dalam kurikulum nasional, tujuan jangka
panjangnya diharapkan tercipta tatanan masyarakat Indonesia yang toleran dan
mau mengakui bahwa perbedaan merupakan kekayaan
luar biasa yang tidak dimiliki bangsa lain. Maka kekayaan itu patut kita
jaga dan lestarikan.
PENUTUP
Inti dari pendidikan multikultural adalah
kultur itu sendiri, dimana kultur diartikan sesuatu yang dilakukan secara
bersama – sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok
masyarakat tertentu. Kultur juga bisa diartikan sebuah proses adaptif dalam sebuah hubungan populasi untuk
membangun hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.
Jadi jelaslah pendidikan agama berbasis
kultural sangat dibutuhkan di indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman
kultur dan agama. Konflik – konflik yang terjadipun sering menggunakan agama
sebagai penyulutnya. Penting kiranya pendidikan agama lebih mendominasikan
peserta didik berperan aktif dalam kegiatan keagamaan dengan mengedepankan
pendidikan mengarah pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hal ini akan berhasil jika;
pertama, relegiusitas peserta didik
tidak berfokus pada penguasaan konsep saja, tetapi lebih menyentuh pada aspek Transfer of activity. kedua, basis
epistimologi pendidikan agama dan metode pembelajarannya harus sinergi dengan
bidang studi lainya. Ketiga, Profesionalisme guru agama lebih diperhatikan
sebab berpengaruh pada kewibawaannya, juga media pembelajaran pendidikan agama
yang kurang memadai.
Penempatan pendidikan agama sebagai
basis nilai dari keseluruhan proses pembelajaran di sekolah menjadi sesuatu
yang strategis. Model pembelajaran ini mustahil terjadi jika, di sekolah –
sekolah tidak menggunakan pendidikan berbasis budaya ( Multikultural ).
DAFTAR RUJUKAN
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar;
Jogyakarta,2006
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta.2001
Lian Gogali, Leode Arham,
Listia. Problematika Pendidikan Agama di Sekolah,Institut Dian, Jogyakarta,
2007.
Sholeh, Abdul Rakhmad.
Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. Rajawali Press. Jakarta,2005
www.YPHA.or.id. Pendidikan Multikultural. 27/1/2006
Atmajaya.ac.id.2006.Pendidikan
Multikultural Tanamkan Sikap Menghargai Keberagaman. Diakses melalui www.atmajaya.ac.id/content.asp.11/12/2007
Musa Asy’arie, Kompas, Pendidikan Multikultural dan
konflik Bangsa. 27/11/2007
[1] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural; Pustaka pelajar.Yogjakarta, 2006.viii
[2]
Depdiknas, 2001.611
[3] Diakses
dari Http//www.YPHA.or.id/2006
[4] Diakses dari www.atmajayaac.id/content.asp.11/12/2007
[5] Opcit, Choirul
Mahfud, 30
[6] Listia, Leode arham, Lian Gogali ; Problematika
Pendidikan Agama di Sekolah; Institut Dian; Jogyakarta,2007. 129
[7] Abdul
Rachman Sholeh, Pendidikan agama dan Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta,
Raja Wali Press,2005. 19-20
[8] Afektif memiliki arti : berkenaan dengan perasaan dan
keadaan perasaan yang mempengaruhi keadaan jiwa.
Artikel yang sangat bagus... Saya ingin berbagi artikel tentang Katedral di Florence di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/04/florence-di-piazza-del-duomo_11.html
BalasHapusLihatlah juga videonya di Youtube https://youtu.be/OVEs_zYK_FQ
12bet : play at asino - thakasino
BalasHapus12bet is one 카지노 of the best online casinos on 12bet the market. We provide great live games to play and 24/7 support. The company's headquarters are 온카지노 in Nairobi and