PENDIDIKAN
ALTERNATIF[1]
(Antara
Qaryah Thayyibah dan Summerhill School)
Oleh: Erlien Fauzia Alfa[2]
A. Pendahuluan
Sistem
pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan ruhnya. Demikian banyak wacana,
kritik dan koreksi dari berbagai kalangan, namun belum juga menemukan formulasi
yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. kalau toh ada upaya perbaikan,
sering tidak produktif dalam takaran aplikasi karena ujung-ujungnya terbatas
pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan esensi dan
substansi.[3]
Di
sisi lain, kita juga sudah sangat kenyang dengan wacana dan konsep dari banyak
pihak yang notabene menjadi kontribusi dalam membangun kualitas pendidikan.
seminar, lokakarya, serta studi banding tentang pendidikan tak henti-hentinya
dilakukan oleh semua elemen dan strata pendidikan. akan tetapi, seringkali
kegiatan dan wacana yang baik itu masih saja berhenti sebatas konsep atau
catatan di atas kertas, atau sebatas kegiatan rutin sekadar melaksanakan jadwal
yang jauh hari telah diagendakan.[4]
Yang
dibutuhkan negara ini adalah tindakan dan upaya kongkret, meski sederhana dan
sekecil apapun. Fenomena menjamurnya lembaga pendidikan”plus, plus, dan plus”
belum bisa menjawab persoalan riil pendidikan bahkan memunculkan masalah baru
yaitu diskriminasi dan semakin mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat.
Oleh karena itu lembaga yang mengklaim diri berkualitas dan modern itu telah
berubah menjadi lembaga jasa pendidikan elitis dan ekslusif karena hanya
terjangkau oleh sekelompok masyarakat tertentu.
Dengan
latar belakang itu maka muncullah pendidikan alternatif sebagai solusi bagi
probleme pendidikan saat ini. Namun apa dan bagaimana pendidikan alternatif
tersebut? Serta kenapa disebut pendidikan alternatif?
B. Pembahasan
Pendidikan
alternatif. Ditengah carut marutnya dunia pendidikan belakangan ini, seolah dua
kata ini merupakan jawaban bagi perbaikan pendidikan. Pendidikan yang ada
sekarang adalah bentuk-bentuk pendidikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga
lembaga pendidikan itu sekadar menarik minat masyarakat untuk dijadikan sebagai
piilihannya, tanpa mengetahui isinya, perubahan apa yang terjadi didalamnya.[5]
Melihat
gambaran di atas, mulai berkembang berbagai gagasan dari para pendidik,
bagaimana menciptakan sekolah yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan anak.
Lalu muncullah berbagai sekolah alternatif. Misalnya, sekolah alam, yang
mengajak siswanya belajar lebih banyak di alam. Anak tidak terlalu banyak
belajar dalam ruangan yang serba kaku dan tertutup, namun lebih banyak berada
di alam bebas.
Ada
pula sekolah alternatif lain yang membebaskan anak untuk belajar apa saja
sesuai dengan minatnya. Di sini tidak ada kelas seperti halnya sekolah formal.
Fungsi guru lebih pada membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata
pelajaran yang disukainya.
Masih
banyak sekolah alternatif lain yang memiliki metode pembelajaran masing-masing.
Intinya, anak dijadikan sebagai subyek kurikulum, bukan obyek. Atau dengan kata
lain kurikulum dan sekolah adalah untuk anak, bukan sebaliknya, anak untuk
sekolah dan kurikulum.[6]
Berbicara
tentang pendidikan alternatif, kita bisa merujuk pada dua lembaga pendidikan
alternatif yang ada di Indonesia dan Inggris, sebagai perbandingan. Yaitu
Lembaga Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah di Kali Bening, Salatiga dan
Summerhill School di Suffolk, 160 km dari London. Makalah ini hanya membahas
dua lembaga pendidikan tersebut meski masih ada Lembaga pendidikan lain yang termasuk
lembaga pendidikan alternatif di Indonesia, yaitu Sekolah Dasar Kanisius
Experimental (SDKE) Mangunan di Yogyakarta[7],
pendidikan pada komunitas orang rimba di kawasan Adat Bukit Duabelas Jambi, [8] serta Di
Jepang, dalam kurun waktu 1937 hingga 1945, berdiri Tomoe Gakuen yang didirikan
oleh Sosaku Kobayashi sebagai sekolah dasar yang tidak konvensional.[9]
C. Lembaga Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah
SMP Qaryah
Tayyibah lahir dari latar keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di Tanah
Air yang makin bobrok dan semakin mahal.[10] Ketika
itu, pertengahan tahun 2003, putra pertamanya akan masuk SMP, dan ia telah
mendapatkan tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Namun Bahruddin
terusik dengan anak-anak petani lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk
yang jumlahnya mahal untuk ukuran ekonomi mereka. Belum lagi uang seragam dan
uang buku.
Bahruddin yang
menjadi ketua rukun wilayah di kampungnya itu kemudian berinisiatif
mengumpulkan warganya dan menawarkan gagasan, bagaimana jika mereka membuka
sekolah sendiri dengan mendirikan SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang
dikumpulkan, 12 orang berani memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Dan
untuk menunjukkan keseriusannya, Bahruddin juga memasukkan anaknya yang
sebenarnya sudah diterima di SMP salah satu sekolah favorit tersebut.
Cita-cita Bahruddin
tidak muluk-muluk, ia hanya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi
berkualitas. Ia tidak berpikir akan bisa melahirkan anak-anak yang hebat,
tetapi bagaimana anak-anak itu bisa tetap sekolah.
Bahruddin
mnengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup
menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui sebagai sekolah
berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan mendapatkan ijazah yang
diakui pemerintah karena itulah ia memilih format SMP terbuka. Akan tetapi ia
mengubah kecenderungan SMP terbuka sekedar sebagai lembaga untuk membagi-bagi
ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius.[11]
Sekolah ini
dikatakan alternatif karena selama ini sistem pendidikan kita masih
membelenggu, dingin, sangat birokratis dan tidak berpihak (terutama terhadap
kaum miskin dan warga desa). Oleh karena itu, pendidikan alternatif Qaryah
Thayyibah menawarkan konsep pendidikan alternatif dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
Prinsip pertama; pendidikan yang
dilandasi semangat pembebeasan, serta semangat perubahan ke arah yang lebih
baik. Membebaskan berarti keluar dari belenggu legal formalistik yang selama
ini menjadikan pendidikan kita tidak kritis dan tidak kreatif. Sedangkan
semangat perubahan lebih diartikan pada menyatunya integrated metode belajar
(siswa) dan mengajar (guru)dalam proses pembelajaran.
Prinsip kedua; keberpihakan.
Keberpihakan merupakan ideologi pendidikan itu sendiri, dimana keluarga miskin
berhak atas ilmu pengetahuan dan pendidikan yang baik dan bermutu.
Prinsip ketiga; metedologi yang
dibangun selalu berdasarkan kegembiraan siswa dan guru dalam proses
pembelajaran.kegembiraan ini akan muncul apabila sekat ruang dan waktu antara
guru-siswa tidak dibatasi. Keduanya adalah sebagai tim yang berproses secara
partisipatif.
Prinsip
keempat; mengutamakan pertisipasi dan komunikasi yang sehat antara pengelola
pendidikan, guru, siswa, wali siswa, masyarakat dan lingkungannya dalam
merancang-bangun sistem pendidikan yang realistis dan sesuai dengan kebutuhan.[12]
D.
Summerhill School
Summerhill
adalah sebuah sekolah bebas dan berasrama untuk usia TK hingga SMA, yang
didirikan oleh Alexander Sutherland Neill pada 1921 di Jerman dan kemudian
pindah ke Inggris.[13] Seperti
apa tampang Summerhill? Pelajaran-pelajarannya boleh dipilih. Kalau anak mau
belajar, belajarlah dia; kalau tidak ingin belajar, silahkan saja. Kalau perlu
biar dia bertahun-tahun tak pernah masuk sekolah. Kalau memang itu maunya. Ada
jadwal dan pengaturan waktu; tapi tak berlaku buat murid, hanya guru.
Biasanya
anak-anak membentuk kelas berdasarkan usia mereka. Kadang-kadang menurut
minat-minat mereka. Kami tak punya metode mengajar yang baru, karena bagi kami
“mengajar” tidak terlalu penting. Punya metode baru atau tidak, akhirnya toh
tak berarti. Siapa bilang sekolah yang mengajarkan bilangan prima dengan metoda
baru berbeda dengan yang tidak? Bilangan prima hanya berarti buat mereka yang
ingin mempelajarinya. Dan anak yang ingin belajar soal bilangan prima akan
mempelajarinya, tak peduli bagaimana cara pengajarannya.[14]
Sistem
sekolah membuat anak-anak independen sekaligus saling bertanggung jawab
sebagaimana dalam keluarga teladan.[15] Sekolah
seharusnya membuat kehidupan anak jadi permainan. Selalu memberi kemudahan
kepada anak-anak berarti membunuh karakter mereka. Namun kita juga tak perlu
menyuguhkan kesulitan yang dibuat-buat pada mereka, lantaran kehidupan ini
sudah menghadirkan terlalu banyak kesulitan.[16]
E. Antara Qaryah Thayyibah dan Summerhill School
Memperbandingkan antara Qaryah
Thayyibah dan Summerhill School tentunya sangat bias. Namun ketika perbandingan
itu mengacu pada konsep guru, peserta didik, serta proses pembelajaran,
perbandingan itu memiliki titik temu, meski tak sama persis. Tentunya
konsep-konsep tersebut amat berbeda dengan konsep konvensional yang selama ini
dianut dalam sistem pendidikan pada umumnya.
Dalam tataran
konvensional, dapat dikatakan guru sebagai pendidik anak bangsa menjadi sekadar
komandan, administrator, dan pawang sekolah.[17] Padahal Sikap guru yang benar terhadap anak
bukan sebagai instruktor, indroktinator, penatar, birokrat, komandan atau
pawang, melainkan guru sebagai ibu, bapak, abang, kakak, sahabat, dan penyayang
anak. Pedagogi Ki Hajar Dewantara yaitu ing ngarso sung tuladha, ing madya
mangan karsa, tut wuri handayani menjadi sikap dasar seorang guru.[18]
Sikap dasar seorang
guru. Guru yang baik bukanlah guru yang selalu “menggurui” dengan dalih ingin
mencerdaskan, mengarahkan dan keinginan menjadikan siswa menjadi baik dan
berkualitas, cenderung mengarah pada sikap “arogan dan otoriter”. Namun hanya
dalam parameter sang guru.[19] Guru
juga bukan hanya mengetes dan menilai yang pada ujungnya memvonis dengan angka
(nilai) atau seseorang yang semangat untuk mengajar, bukan semangat untuk
belajar. [20]
Jika guru hanya memiliki
semangat untuk mengajar, maka yang terjadi pendidikan menjadi sebuah kegiatan
menabung, dimana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya.
Inilah konsep pendidikan gaya bank, dimana ruang gerak yang disediakan hanya
terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.[21] Dalam
konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka
yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa.[22]
Mengutip Paolo Freire
dalam Darmaningtyas, guru harus bertanya kepada diri sendiri untuk siapa dan
kepada siapa mereka bekerja. Semakin sadar, mereka semakin mengerti bahwa
perannya sebagai guru menuntut mereka untuk mengambil resiko ini, termasuk
kemauan mengambil atas pekerjaannya.[23] Hal ini
merupakan tanggung jawab yang berat bagi guru.
Guru, di SMP Alternatif
Qaryah Thayyibah, diperankan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai teman atau
sahabat yang memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran.[24] Dalam
kaitannya dengan aktifitas, karya, capaian kompetensi, dan prestasi siswa,
tugas guru adalah selalu mengapresiasi dengan kata “baik” (good). Guru tidak
cepat-cepat menyalahkan atau membenarkan, tetapi lebih pada konfirmasi terhadap
hal-hal yang dipandang kurang lazim. Sikap selalu appresiatif ini sangat
penting dalam mendorong anak untuk selalu berkarya dan berkarya lebih baik
lagi, sekaligus membangun komunikasi dan dialog yang harmonis antara guru dan
siswa.[25]
Dengan adanya dialog
serta komunikasi yang harmonis, maka tidak akan tercipta jarak antara guru dan
murid. Di Summerhill, komentar yang kerap dilontarkan para tamu adalah: mereka
tak bisa membedakan mana yang staff, mana yang murid. Murid tidak memanggil gurunya
dengan “pak” tetapi dengan nama depan. Setiap individu memiliki hak yang sama.
Inilah yang disebut “hubungan ideal” dalam tataran interaksi antara guru dan
murid.[26] Dan
interaksi ini tidak akan mewujud dalam takaran aplikasi tanpa adanya dialog
yang sadar antara guru dan murid.
Melalui dialog,
guru-nya-murid serta murid-nya-guru tidak ada lagi dan muncul suasana baru:
guru-yang-murid dengan murid-yang-guru. Guru tidak lagi menjadi orang yang
mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para murid,
yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga belajar. Mereka semua
bertanggung jawab terhadap suatu proses dalam mana mereka tumbuh dan
berkembang.[27]
Di Qaryah Thayyibah,
kompetensi formal seorang guru bukan menjadi syarat mutlak karena yang penting
mentor menguasai materi yang diajarkannya. Guru dan siswa tidak ditempatkan
dalam hubungan guru yang mengajar dan siswa yang belajar, tetapi merupakan
bagian dari suatu tim. Guru bukanlah penguasa otoriter di kelas, melainkan
teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan gurunya dalam bahasa jawa Ngoko,
strata bahasa yang hanya pantas untuk bicara informal dengan kawan akrab.[28]
Komunikasi
yang aktif antara guru dan murid, tiadanya sekat-sekat yang membuat dinding
antara guru dan murid, guru dan murid sebagai pengajar sekaligus si belajar,
kiranya itulah hal yang berbeda antara pendidikan yang ada di Qaryah Thayyibah
serta Summerhill school dan lembaga pendidikan konvensional. Terkesan sepele,
namun guru juga memegang peranan penting dalam sikap belajar siswa. William
W.Ward, seorang pengamat otoritas paedagogis menyusun sekumpulan kategori
pengajar sebagai berikut:
Pengajar
biasa memberitahu
Pengajar yang
baik menjelaskan
Pengajar yang
lebih baik mendemonstrasikan
Pengajar
terbaik memberikan inspirasi[29]
SMP Alternatif Qaryah
Thayyibah memberikan penekanan pada siswa sebagai aktor yang bebas. Artinya
tidak ada keharusan untuk menterjemahkan kebudayaan atau peradaban yang dominan
untuk menjadi kebudayaan terjemahan yang dipaksa. Siswa diberi kepercayaan
untuk merasa bangga dengan yang dimilikinya tanpa harus merasa atau dipaksa
sebagai bagian dari komunitas yang memperkaya hasanah kehidupannya selama ini.[30]
Siswa
terbiasa mengemukakan pendapatnya langsung kepada teman dan guru, tentang suatu
materi pelajaran yag diterima pada saat itu atau sebelumnya bahkan mereka
cenderung hyperactive sehingga sebuah masalah atau pertanyaan guru akan
dijawab dengan segudang jawaban yang masih bisa dinalar. Mereka bisa bebas
belajar sambil bermain tanpa ada pengawasan kusus dan dimarahi guru. Ketika
seorang guru mengajar pun mereka bisa melakukannya sambil bersenda gurau bahkan
saat jenuh belajar didalam kelas, siswa pun bisa mengusulkan kepada guru agar
pelajaran dilakukan di alam terbuka.[31]
Siswa-siswa
sangat menikmati sekolahnya. Bagi mereka, kegiatan belajar yang mereka lakukan
di sekolah merupakan suatu kegiatan yang sangat menyenangkan. Sehingga tidak
heran, mereka sangat antusias untuk segera sampai di sekolah yang dekat dengan
tempat tinggal mereka itu. Bahkan tak jarang diantara mereka berada di sekolah
hingga larut atau menginap.[32] Suasana
belajar yang sangat menyenangkan ini membuat sekolah menjadi tempat dimana tak
ada anak yang ingin pulang kerumah setelah jam pelajaran selesai, dan di pagi
hari tak sabar untuk segera sampai kesana.
Adapun
di Summerhill, siswa tinggal di asrama. Siswa-siswa itu berasal dari berbagai
macam negara, bukan hanya dari Inggris. Para siswa itu diberi iklim kebebasan
sekaligus tanggung jawab untuk mengatur diri mereka sendiri. Setiap anak harus
menyelesaikan masalah-masalah dan
kesulitan-kesulitannya sendiri dalam kelompok-kelompok sebaya. Dan selama
mereka menangani masalah dan kesulitan itu, selalu ada “les privat” dari Neill.[33] Namun
jika siswa tak menghendaki les privat, maka Neill juga tak akan memberikannya.
Gagasan
utama dioperasikannya Summerhill adalah menjadikan sekolah cocok dengan anak
– bukannya mencocokkan anak dengan sekolah.[34] Neill
percaya setiap anak punya watak dasar bijaksana dan realistis. Hal senada juga
diungkapkan Sosaku Kobayashi, pendiri Tomoe Gakuen, sekolah dasar bebas di
Tokyo dalam kurun waktu 1937 sampai 1945. Ia menyatakan setiap anak dilahirkan
dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau
karena pengaruh-pengaruh buruk orang dewasa. Mr. Kobayashi berusaha menemukan
“watak baik” setiap anak dan mengembangkannya, agar anak-anak tumbuh menjadi
orang dewasa dengan kepribadian yang khas.[35]
Fungsi
anak adalah untuk menjalani kehidupannya sendiri – bukan kehidupan yang
diharapkan oleh orangtuanya yang dirundung kecemasannya tentang masa depan,
tidak mengikuti tujuan pendidikan yang mengira dirinya tahu betul apa yang
terbaik buat anak.[36] Dengan
demikian, pendidikan harus menyiapkan anak untuk menjalani kehidupan.[37] Namun
mewajibkan apapun lewat otoritas merupakan kesalahan. Jangan sampai anak
melakukan sesuatu jika ia tidak berpendapat sendiri bahwa sesuatu itu perlu ia
lakukan.[38]
Karena itulah anak di Summerhill bebas untuk belajar atau tidak belajar menurut
keinginannya sendiri. Lagipula, anak hanya bisa menguasai pelajaran yang ia
ingin bisa menguasainya. Dengan kata lain, konteks pendidikannya adalah
pemberian muatan yang memberi kontribusi positif: berguna dan diinginkan oleh
penerimanya.[39]
Mengutip
Y.B. Mangunwijaya, ia meyakini pandangan
bahwa tidak ada anak yang bodoh. Anak secara alami dibekali potensi-potensi dan naluri dasar untuk
bertumbuh.[40]
Dan konsepsi orang dewasa tentang tentang seperti apa anak harus dibentuk dan
bagaimana anak harus belajar, adalah konsepsi yang salah. Yang dibutuhkan
hanyalah keyakinan penuh bahwa anak-anak adalah mahluk yang baik, bukan mahluk
jahat. [41]
Dan sistem pembelajaran dan pendidikan seharusnyalah mendukung potensi unik
yang dimiliki setiap anak, bukan malah memaksanya menjadi apa yang tidak
diinginkannya. Ibaratnya ”Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar,
berikanlah kepada anak apa yang menjadi hak anak”[42]
Setiap
anak memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda. Maka seharusnyalah sistem
pendidikan memperhatikan secara mendalam dalam rancangan pembelajaran untuk
mereka. Sistem yang ada selama ini terkadang dikeluhkan karena membatasi
kretifitas anak, menjenuhkan dan memaksa anak untuk mempelajarinya meski
terkadang tak ada kemauan. Alhasil, setiap waktu yang dilewati dalam belajar
menjadi tersia-sia, anak tidak menemukan kesenangan dalam belajar.
Kesenangan
dalam belajar, kiranya itulah kesamaan yang dimiliki oleh baik Qaryah Thayyibah
maupun Summerhill. Di Qaryah Thayyibah, sistem pembelajarannya disebut dengan
istilah active learning, yang artinya metode pembelajaran dengan
memposisikan siswa sebagai subjek dalam sistem pembelajarannya. Pelajaran
bahasa tidak disampaikan secara teoritis melainkan secara praktis. Dengan
demikian setiap anak memiliki kepercayaan diri ketika berbicara dengan bahasa
asing. Siswa secara langsung bersentuhan dengan pertanian, home industri,
konservasi alam, air, koperasi desa, sosio-kultural, dan seluruh potensi yang
ada di sekitar. Alam menjadi laboratorium raksasa yang tak terbatas.
Hal
yang sangat mencengangkan bagi sebagian orang adalah setiap siswa di Qaryah
Thayyibah memiliki seperangkat komputer yang terhubung dengan internet. Bagi
masyarakat kota hal ini mungkin bukan sesuatu yang luar biasa, namun bagi
masyarakat daerah dimana pendidikan yang berkualitas sangat mahal harganya, hal
ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Sehingga setiap siswa di Qaryah
Thayyibah bisa dikatakan belajar dengan menggunakan internet setiap saat.
Internet mereka gunakan sebagai alat untuk menambah dan menggali pengetahuan
karena sedemikian luas dan banyaknya hal yang bisa mereka dapatkan dari sana.
Internet adalah perpustakaan on line bagi mereka. Secara tidak langsung,
hal ini juga mengurangi salah guna dari internet. Dapat dikatakan, meski para
siswa itu berada di daerah yang terpencil, jauh dari pusat kota, namun
pengetahuan yang mereka miliki telah menjamah dunia secara global. Jika ada
pameo “eat locally, think globally” merekalah orangnya.
Dalam
hal ini Summerhill sangat berbeda. Meski ada jadwal bagi guru namun setiap anak
di Summerhill bebas untuk belajar ataupun tidak belajar. Banyak dari mereka
yang tertarik pada kegiatan yang bersifat keahlian daripada pengetahuan. Di Summerhill
disediakan bengkel, teater, serta ladang sehingga anak-anak bebas menggunakan
sewaktu-waktu. Pelajaran diberikan pada mereka yang ingin mempelajarinya. Tak
ada ujian. Namun anak yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi
harus mengikuti ujian bersama. Dalam hal ini, karena anak ingin mempelajarinya,
maka penguasaan mereka akan pelajaran itu berlangsung efektif.
Ujian.
Kata itu tak ada dalam baik Qaryah Thayyibah maupun Summerhill. Ujian dianggap
tidak merepresentasikan kualitas anak yang sebenarnya. Ujian juga dianggap
menafikan kemampuan anak pada bidang yang tidak diujikan. Padahal setiap anak
memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda. Dan seharusnyalah pendidikan
memberi kebebasan pada anak untuk belajar dan mengasah potensi yang dimiliki.
Jika
lembaga pendidikan mampu memberikan
ruang-ruang kebebasan di mana setiap individu yang terlibat dalam lembaga
tersebut mampu menghayati nilai-nilai, melalui mana ia membangun dunianya,
dapatlah diharapkan bahwa masyarakat kita dan komunitas pendidikan menjadi
sebuah komunitas yang lebih berwajah manusiawi.[43]
Secara
tersirat dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan yang ada baik di Qaryah
Thayyibah maupun Summerhill School tidaklah berbeda dengan pendidikan karakter.
Yaitu yang tidak hanya berurusan dengan penanaman nilai bagi siswa, namun
merupakan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan
dimana setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasyarat
bagi kehidupan moral yang dewasa.[44]
F. Penutup
Pendidikan
alternative. Dinamakan alternatif karena ianya berbeda dengan keadaan umumnya
yang konvensional. Namun alternatif kiranya tak hanya sebatas berbeda, ianya
juga memberikan solusi atau perbaikan pada masalah yang ada. Meski tak menutup
kemungkinan bahwa semua akan berhasil, setidaknya ada hal yang berubah ke arah
lebih baik. WaLLahu A’lam bi al Shawab
Daftar Pustaka
Ahmad, Musa, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Pembelajaran Berbasis
Komunitas dalam Bahruddin Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta:
LKiS, 2007
Bahruddin, Ahmad, Pendidikan Alternatif Qaryah
Thayyibah (Yogyakarta: LKiS, 2007)
Bari, Syaiful, Memilih
Lembaga Pendidikan Alternatif, http://www.surya.co.id
Budi, Imam, Pendidikan Alternatif: Persekolahan di
Rumah, http://www.Kompas.com
Darmaningtyas, Pendidikan
Rusak Rusakan (Yogyakarta: LKiS, 2005)
Djohar, Membedah Pendidikan Alternatif di
Indonesia dalam Kurikulum Yang Mencerdaskan visi 2030 dan pendidikan
alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2007)
Freire, Paolo, Pendidikan
Yang Tertindas, Terj (Jakarta: LP3ES, 2000)
Jatmiko,
Y.Sari, Mlarat Ning Ningrat dalam Kurikulum Yang Mencerdaskan visi
2030 dan pendidikan alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2007
Koesoema A, Doni, Tiga Matra Pendidikan Karakter,
Basis edisi Juli-Agustus 2007
Kuroyanagi, Tetsuko, Totto Chan Gadis Cilik di Jendela
Terj. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Mangunwijaya, Y.B., Pendidikan Pemerdekaan
(Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar, 2004)
Manurung, Butet, Pendidikan pada Komunitas Orang Rimba di
Kawasan Adat Bukit Duabelas Jambi dalam Kurikulum yang Mencerdaskan Visi
2030 dan Pendidikan Alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007)
Neill, A.S, Summerhill School Pendidikan Alternatif yang
Membebaskan Terj. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007)
Neill, A.S., Summerhill: Sekolah Radikal dalam
Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis Terj. Omi
Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Parera, Frans M, Gerakan Pendidikan Alternatif Dalam
Tafsiran Pasca-mangunwijaya (1999-2007) dalam Kurikulum yang Mencerdaskan
Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2007)
Rudi, M dan David Teguh, Haruskah Pendidikan Mahal?
Dalam Bahruddin, Pendidikan Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta:
LKiS, 2007
Samba, Sujono, Lebih Baik Tidak Sekolah (Yogyakarta:
LkiS, 2007)
[1]
Makalah dipresentasikan pada Mata Kuliah Problematika Pendidikan Modern yang
diampu oleh Bpk.Dr.Abd.Haris, MA
[2]
mahasiswa Pasca Sarjana Konsentrasi Pendidikan Islam
[3]
Sujono Samba, Lebih Baik Tidak
Sekolah (Yogyakarta: LkiS, 2007) 1
[4]
ibid, 2
[5]
Djohar, Membedah Pendidikan
Alternatif di Indonesia dalam Kurikulum Yang Mencerdaskan visi 2030 dan pendidikan alternatif (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas 2007)149
[6]
Imam Budi, Pendidikan ALternatif: Persekolahan di Rumah, http://www.Kompas.com selasa 19 Desember 2006
[7]
Syaiful Bari, Memilih Lembaga Pendidikan Alternatif, http://www.surya.co.id
[8]
pendidikan Alternatif di Indonesia dalam Kurikulum yang mencerdasakan...vi
[9]
Tetsuko Kuroyanagi, Totto Chan Gadis Cilik di Jendela, Terj (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005)251
[10]
keterangan tentang sosok Bahruddin, lihat Mengenal lebih jauh Bahruddin dalam
Ahmad Bahruddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Tayyibah (Yogayakarta:LKiS,
2007) 47
[11]
Ahmad Bahruddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Tayyibah (Yogyakarta:
LKiS, 2007) 27-28
[12]
Samba, Lebih Baik..34-36
[13]
Neill, Summerhill School.. back cover
[14]
Neill, Summerhill: Sekolah Radikal…262
[15]
Neill, Summerhill School…29
[16]
ibid, 118
[17]
Y.B. Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan, (penyunting: Y. Sari
Jatmiko), (Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar, 2004)17
[18]
Y.Sari Jatmiko, Mlarat Ning Ningrat dalam Kurikulum yang Mencerdaskan..193-4
[19]
Samba, Lebih Baik tidak Sekolah (Yogyakarta: LKiS, 2007)43
[20]
ibid, 44
[21]
Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terj (Jakarta: LP3ES, 2000)50
[22]
ibid, 51
[23]
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan (Yogyakarta: LKiS, 2005) 201
[24]
Musa Ahmad, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Pembelajaran Berbasis Komunitas
dalam Bahruddin Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta:
LKiS, 2007)18
[25]
Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah..44
[26]
Neill, Summerhill: Sekolah Radikal …266
[27]
Freire, Pendidikan yang..62
[28]M.Rudi
dan David Teguh, Haruskah Pendidikan Mahal? Dalam Bahruddin,
Pendidikan Alternatif..145
[29]
Frans M. Parera, Gerakan Pendidikan Alternatif Dalam Tafsiran
Pasca-mangunwijaya (1999-2007) dalam Kurikulum yang Mencerdaskan..144-145
[30]
Musa Ahmad, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah..15
[31]
Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah..109
[32]
Bahruddin, Pendidikan Alternatif..33
[33]
Neill, Summerhill School..15-6
[34]
Neill. Summerhill: sekolah Radikal..261
[35]
Kuroyanagi, Totto Chan..251
[36]
Neill, Summerhill: Sekolah Radikal..270
[37]
ibid, 274
[38]
ibid, 281
[39]
Butet Manurung, Pendidikan Pada Komunitas Orang Rimba di Kawasan Adat Bukit
Duabelas Jambi dalam Kurikulum yang ..177
[40]
Jatmiko, Mlarat Ning Ningrat..193
[41]
Neill, Summerhill School..43
[42]
Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan..83
[43]
Doni Koesoema A, Tiga Matra Pendidikan Karakter, Basis edisi
Juli-Agustus 2007, 23
[44]
ibid, 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar