Sabtu, 28 September 2013


PENDIDIKAN ALTERNATIF[1]
(Antara Qaryah Thayyibah dan Summerhill School)

Oleh: Erlien Fauzia Alfa[2]

A. Pendahuluan

Sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan ruhnya. Demikian banyak wacana, kritik dan koreksi dari berbagai kalangan, namun belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif dalam takaran aplikasi karena ujung-ujungnya terbatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan esensi dan substansi.[3]
Di sisi lain, kita juga sudah sangat kenyang dengan wacana dan konsep dari banyak pihak yang notabene menjadi kontribusi dalam membangun kualitas pendidikan. seminar, lokakarya, serta studi banding tentang pendidikan tak henti-hentinya dilakukan oleh semua elemen dan strata pendidikan. akan tetapi, seringkali kegiatan dan wacana yang baik itu masih saja berhenti sebatas konsep atau catatan di atas kertas, atau sebatas kegiatan rutin sekadar melaksanakan jadwal yang jauh hari telah diagendakan.[4]
Yang dibutuhkan negara ini adalah tindakan dan upaya kongkret, meski sederhana dan sekecil apapun. Fenomena menjamurnya lembaga pendidikan”plus, plus, dan plus” belum bisa menjawab persoalan riil pendidikan bahkan memunculkan masalah baru yaitu diskriminasi dan semakin mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat. Oleh karena itu lembaga yang mengklaim diri berkualitas dan modern itu telah berubah menjadi lembaga jasa pendidikan elitis dan ekslusif karena hanya terjangkau oleh sekelompok masyarakat tertentu.
Dengan latar belakang itu maka muncullah pendidikan alternatif sebagai solusi bagi probleme pendidikan saat ini. Namun apa dan bagaimana pendidikan alternatif tersebut? Serta kenapa disebut pendidikan alternatif?

B. Pembahasan

Pendidikan alternatif. Ditengah carut marutnya dunia pendidikan belakangan ini, seolah dua kata ini merupakan jawaban bagi perbaikan pendidikan. Pendidikan yang ada sekarang adalah bentuk-bentuk pendidikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga lembaga pendidikan itu sekadar menarik minat masyarakat untuk dijadikan sebagai piilihannya, tanpa mengetahui isinya, perubahan apa yang terjadi didalamnya.[5]
Melihat gambaran di atas, mulai berkembang berbagai gagasan dari para pendidik, bagaimana menciptakan sekolah yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan anak. Lalu muncullah berbagai sekolah alternatif. Misalnya, sekolah alam, yang mengajak siswanya belajar lebih banyak di alam. Anak tidak terlalu banyak belajar dalam ruangan yang serba kaku dan tertutup, namun lebih banyak berada di alam bebas.
Ada pula sekolah alternatif lain yang membebaskan anak untuk belajar apa saja sesuai dengan minatnya. Di sini tidak ada kelas seperti halnya sekolah formal. Fungsi guru lebih pada membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya.
Masih banyak sekolah alternatif lain yang memiliki metode pembelajaran masing-masing. Intinya, anak dijadikan sebagai subyek kurikulum, bukan obyek. Atau dengan kata lain kurikulum dan sekolah adalah untuk anak, bukan sebaliknya, anak untuk sekolah dan kurikulum.[6]
Berbicara tentang pendidikan alternatif, kita bisa merujuk pada dua lembaga pendidikan alternatif yang ada di Indonesia dan Inggris, sebagai perbandingan. Yaitu Lembaga Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah di Kali Bening, Salatiga dan Summerhill School di Suffolk, 160 km dari London. Makalah ini hanya membahas dua lembaga pendidikan tersebut meski masih ada Lembaga pendidikan lain yang termasuk lembaga pendidikan alternatif di Indonesia, yaitu Sekolah Dasar Kanisius Experimental (SDKE) Mangunan di Yogyakarta[7], pendidikan pada komunitas orang rimba di kawasan Adat Bukit Duabelas Jambi, [8] serta Di Jepang, dalam kurun waktu 1937 hingga 1945, berdiri Tomoe Gakuen yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi sebagai sekolah dasar yang tidak konvensional.[9]

C.                 Lembaga Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah

SMP Qaryah Tayyibah lahir dari latar keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di Tanah Air yang makin bobrok dan semakin mahal.[10] Ketika itu, pertengahan tahun 2003, putra pertamanya akan masuk SMP, dan ia telah mendapatkan tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Namun Bahruddin terusik dengan anak-anak petani lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk yang jumlahnya mahal untuk ukuran ekonomi mereka. Belum lagi uang seragam dan uang buku.
Bahruddin yang menjadi ketua rukun wilayah di kampungnya itu kemudian berinisiatif mengumpulkan warganya dan menawarkan gagasan, bagaimana jika mereka membuka sekolah sendiri dengan mendirikan SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Dan untuk menunjukkan keseriusannya, Bahruddin juga memasukkan anaknya yang sebenarnya sudah diterima di SMP salah satu sekolah favorit tersebut.
Cita-cita Bahruddin tidak muluk-muluk, ia hanya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Ia tidak berpikir akan bisa melahirkan anak-anak yang hebat, tetapi bagaimana anak-anak itu bisa tetap sekolah.
Bahruddin mnengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah karena itulah ia memilih format SMP terbuka. Akan tetapi ia mengubah kecenderungan SMP terbuka sekedar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius.[11]
Sekolah ini dikatakan alternatif karena selama ini sistem pendidikan kita masih membelenggu, dingin, sangat birokratis dan tidak berpihak (terutama terhadap kaum miskin dan warga desa). Oleh karena itu, pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah menawarkan konsep pendidikan alternatif dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Prinsip pertama; pendidikan yang dilandasi semangat pembebeasan, serta semangat perubahan ke arah yang lebih baik. Membebaskan berarti keluar dari belenggu legal formalistik yang selama ini menjadikan pendidikan kita tidak kritis dan tidak kreatif. Sedangkan semangat perubahan lebih diartikan pada menyatunya integrated metode belajar (siswa) dan mengajar (guru)dalam proses pembelajaran.
Prinsip kedua; keberpihakan. Keberpihakan merupakan ideologi pendidikan itu sendiri, dimana keluarga miskin berhak atas ilmu pengetahuan dan pendidikan yang baik dan bermutu.
Prinsip ketiga; metedologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembiraan siswa dan guru dalam proses pembelajaran.kegembiraan ini akan muncul apabila sekat ruang dan waktu antara guru-siswa tidak dibatasi. Keduanya adalah sebagai tim yang berproses secara partisipatif.
Prinsip keempat; mengutamakan pertisipasi dan komunikasi yang sehat antara pengelola pendidikan, guru, siswa, wali siswa, masyarakat dan lingkungannya dalam merancang-bangun sistem pendidikan yang realistis dan sesuai dengan kebutuhan.[12]
D.    Summerhill School
Summerhill adalah sebuah sekolah bebas dan berasrama untuk usia TK hingga SMA, yang didirikan oleh Alexander Sutherland Neill pada 1921 di Jerman dan kemudian pindah ke Inggris.[13] Seperti apa tampang Summerhill? Pelajaran-pelajarannya boleh dipilih. Kalau anak mau belajar, belajarlah dia; kalau tidak ingin belajar, silahkan saja. Kalau perlu biar dia bertahun-tahun tak pernah masuk sekolah. Kalau memang itu maunya. Ada jadwal dan pengaturan waktu; tapi tak berlaku buat murid, hanya guru.
Biasanya anak-anak membentuk kelas berdasarkan usia mereka. Kadang-kadang menurut minat-minat mereka. Kami tak punya metode mengajar yang baru, karena bagi kami “mengajar” tidak terlalu penting. Punya metode baru atau tidak, akhirnya toh tak berarti. Siapa bilang sekolah yang mengajarkan bilangan prima dengan metoda baru berbeda dengan yang tidak? Bilangan prima hanya berarti buat mereka yang ingin mempelajarinya. Dan anak yang ingin belajar soal bilangan prima akan mempelajarinya, tak peduli bagaimana cara pengajarannya.[14]
Sistem sekolah membuat anak-anak independen sekaligus saling bertanggung jawab sebagaimana dalam keluarga teladan.[15] Sekolah seharusnya membuat kehidupan anak jadi permainan. Selalu memberi kemudahan kepada anak-anak berarti membunuh karakter mereka. Namun kita juga tak perlu menyuguhkan kesulitan yang dibuat-buat pada mereka, lantaran kehidupan ini sudah menghadirkan terlalu banyak kesulitan.[16]
E. Antara Qaryah Thayyibah dan Summerhill School
Memperbandingkan antara Qaryah Thayyibah dan Summerhill School tentunya sangat bias. Namun ketika perbandingan itu mengacu pada konsep guru, peserta didik, serta proses pembelajaran, perbandingan itu memiliki titik temu, meski tak sama persis. Tentunya konsep-konsep tersebut amat berbeda dengan konsep konvensional yang selama ini dianut dalam sistem pendidikan pada umumnya.
Dalam tataran konvensional, dapat dikatakan guru sebagai pendidik anak bangsa menjadi sekadar komandan, administrator, dan pawang sekolah.[17]  Padahal Sikap guru yang benar terhadap anak bukan sebagai instruktor, indroktinator, penatar, birokrat, komandan atau pawang, melainkan guru sebagai ibu, bapak, abang, kakak, sahabat, dan penyayang anak. Pedagogi Ki Hajar Dewantara yaitu ing ngarso sung tuladha, ing madya mangan karsa, tut wuri handayani menjadi sikap dasar seorang guru.[18]
Sikap dasar seorang guru. Guru yang baik bukanlah guru yang selalu “menggurui” dengan dalih ingin mencerdaskan, mengarahkan dan keinginan menjadikan siswa menjadi baik dan berkualitas, cenderung mengarah pada sikap “arogan dan otoriter”. Namun hanya dalam parameter sang guru.[19] Guru juga bukan hanya mengetes dan menilai yang pada ujungnya memvonis dengan angka (nilai) atau seseorang yang semangat untuk mengajar, bukan semangat untuk belajar. [20]
Jika guru hanya memiliki semangat untuk mengajar, maka yang terjadi pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Inilah konsep pendidikan gaya bank, dimana ruang gerak yang disediakan hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.[21] Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa.[22]
Mengutip Paolo Freire dalam Darmaningtyas, guru harus bertanya kepada diri sendiri untuk siapa dan kepada siapa mereka bekerja. Semakin sadar, mereka semakin mengerti bahwa perannya sebagai guru menuntut mereka untuk mengambil resiko ini, termasuk kemauan mengambil atas pekerjaannya.[23] Hal ini merupakan tanggung jawab yang berat bagi guru.
Guru, di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah, diperankan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai teman atau sahabat yang memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran.[24] Dalam kaitannya dengan aktifitas, karya, capaian kompetensi, dan prestasi siswa, tugas guru adalah selalu mengapresiasi dengan kata “baik” (good). Guru tidak cepat-cepat menyalahkan atau membenarkan, tetapi lebih pada konfirmasi terhadap hal-hal yang dipandang kurang lazim. Sikap selalu appresiatif ini sangat penting dalam mendorong anak untuk selalu berkarya dan berkarya lebih baik lagi, sekaligus membangun komunikasi dan dialog yang harmonis antara guru dan siswa.[25]
Dengan adanya dialog serta komunikasi yang harmonis, maka tidak akan tercipta jarak antara guru dan murid. Di Summerhill, komentar yang kerap dilontarkan para tamu adalah: mereka tak bisa membedakan mana yang staff, mana yang murid. Murid tidak memanggil gurunya dengan “pak” tetapi dengan nama depan. Setiap individu memiliki hak yang sama. Inilah yang disebut “hubungan ideal” dalam tataran interaksi antara guru dan murid.[26] Dan interaksi ini tidak akan mewujud dalam takaran aplikasi tanpa adanya dialog yang sadar antara guru dan murid.
Melalui dialog, guru-nya-murid serta murid-nya-guru tidak ada lagi dan muncul suasana baru: guru-yang-murid dengan murid-yang-guru. Guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para murid, yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga belajar. Mereka semua bertanggung jawab terhadap suatu proses dalam mana mereka tumbuh dan berkembang.[27]
Di Qaryah Thayyibah, kompetensi formal seorang guru bukan menjadi syarat mutlak karena yang penting mentor menguasai materi yang diajarkannya. Guru dan siswa tidak ditempatkan dalam hubungan guru yang mengajar dan siswa yang belajar, tetapi merupakan bagian dari suatu tim. Guru bukanlah penguasa otoriter di kelas, melainkan teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan gurunya dalam bahasa jawa Ngoko, strata bahasa yang hanya pantas untuk bicara informal dengan kawan akrab.[28]
Komunikasi yang aktif antara guru dan murid, tiadanya sekat-sekat yang membuat dinding antara guru dan murid, guru dan murid sebagai pengajar sekaligus si belajar, kiranya itulah hal yang berbeda antara pendidikan yang ada di Qaryah Thayyibah serta Summerhill school dan lembaga pendidikan konvensional. Terkesan sepele, namun guru juga memegang peranan penting dalam sikap belajar siswa. William W.Ward, seorang pengamat otoritas paedagogis menyusun sekumpulan kategori pengajar sebagai berikut:
Pengajar biasa memberitahu
Pengajar yang baik menjelaskan
Pengajar yang lebih baik mendemonstrasikan
Pengajar terbaik memberikan inspirasi[29]
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah memberikan penekanan pada siswa sebagai aktor yang bebas. Artinya tidak ada keharusan untuk menterjemahkan kebudayaan atau peradaban yang dominan untuk menjadi kebudayaan terjemahan yang dipaksa. Siswa diberi kepercayaan untuk merasa bangga dengan yang dimilikinya tanpa harus merasa atau dipaksa sebagai bagian dari komunitas yang memperkaya hasanah kehidupannya selama ini.[30]
Siswa terbiasa mengemukakan pendapatnya langsung kepada teman dan guru, tentang suatu materi pelajaran yag diterima pada saat itu atau sebelumnya bahkan mereka cenderung hyperactive sehingga sebuah masalah atau pertanyaan guru akan dijawab dengan segudang jawaban yang masih bisa dinalar. Mereka bisa bebas belajar sambil bermain tanpa ada pengawasan kusus dan dimarahi guru. Ketika seorang guru mengajar pun mereka bisa melakukannya sambil bersenda gurau bahkan saat jenuh belajar didalam kelas, siswa pun bisa mengusulkan kepada guru agar pelajaran dilakukan di alam terbuka.[31]
Siswa-siswa sangat menikmati sekolahnya. Bagi mereka, kegiatan belajar yang mereka lakukan di sekolah merupakan suatu kegiatan yang sangat menyenangkan. Sehingga tidak heran, mereka sangat antusias untuk segera sampai di sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka itu. Bahkan tak jarang diantara mereka berada di sekolah hingga larut atau menginap.[32] Suasana belajar yang sangat menyenangkan ini membuat sekolah menjadi tempat dimana tak ada anak yang ingin pulang kerumah setelah jam pelajaran selesai, dan di pagi hari tak sabar untuk segera sampai kesana.
Adapun di Summerhill, siswa tinggal di asrama. Siswa-siswa itu berasal dari berbagai macam negara, bukan hanya dari Inggris. Para siswa itu diberi iklim kebebasan sekaligus tanggung jawab untuk mengatur diri mereka sendiri. Setiap anak harus menyelesaikan masalah-masalah  dan kesulitan-kesulitannya sendiri dalam kelompok-kelompok sebaya. Dan selama mereka menangani masalah dan kesulitan itu, selalu ada “les privat” dari Neill.[33] Namun jika siswa tak menghendaki les privat, maka Neill juga tak akan memberikannya.
Gagasan utama dioperasikannya Summerhill adalah menjadikan sekolah cocok dengan anak – bukannya mencocokkan anak dengan sekolah.[34] Neill percaya setiap anak punya watak dasar bijaksana dan realistis. Hal senada juga diungkapkan Sosaku Kobayashi, pendiri Tomoe Gakuen, sekolah dasar bebas di Tokyo dalam kurun waktu 1937 sampai 1945. Ia menyatakan setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh-pengaruh buruk orang dewasa. Mr. Kobayashi berusaha menemukan “watak baik” setiap anak dan mengembangkannya, agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas.[35]
Fungsi anak adalah untuk menjalani kehidupannya sendiri – bukan kehidupan yang diharapkan oleh orangtuanya yang dirundung kecemasannya tentang masa depan, tidak mengikuti tujuan pendidikan yang mengira dirinya tahu betul apa yang terbaik buat anak.[36] Dengan demikian, pendidikan harus menyiapkan anak untuk menjalani kehidupan.[37] Namun mewajibkan apapun lewat otoritas merupakan kesalahan. Jangan sampai anak melakukan sesuatu jika ia tidak berpendapat sendiri bahwa sesuatu itu perlu ia lakukan.[38] Karena itulah anak di Summerhill bebas untuk belajar atau tidak belajar menurut keinginannya sendiri. Lagipula, anak hanya bisa menguasai pelajaran yang ia ingin bisa menguasainya. Dengan kata lain, konteks pendidikannya adalah pemberian muatan yang memberi kontribusi positif: berguna dan diinginkan oleh penerimanya.[39]
Mengutip Y.B. Mangunwijaya, ia meyakini pandangan  bahwa tidak ada anak yang bodoh. Anak secara alami dibekali  potensi-potensi dan naluri dasar untuk bertumbuh.[40] Dan konsepsi orang dewasa tentang tentang seperti apa anak harus dibentuk dan bagaimana anak harus belajar, adalah konsepsi yang salah. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan penuh bahwa anak-anak adalah mahluk yang baik, bukan mahluk jahat. [41] Dan sistem pembelajaran dan pendidikan seharusnyalah mendukung potensi unik yang dimiliki setiap anak, bukan malah memaksanya menjadi apa yang tidak diinginkannya. Ibaratnya ”Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, berikanlah kepada anak apa yang menjadi hak anak”[42]
Setiap anak memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda. Maka seharusnyalah sistem pendidikan memperhatikan secara mendalam dalam rancangan pembelajaran untuk mereka. Sistem yang ada selama ini terkadang dikeluhkan karena membatasi kretifitas anak, menjenuhkan dan memaksa anak untuk mempelajarinya meski terkadang tak ada kemauan. Alhasil, setiap waktu yang dilewati dalam belajar menjadi tersia-sia, anak tidak menemukan kesenangan dalam belajar.
Kesenangan dalam belajar, kiranya itulah kesamaan yang dimiliki oleh baik Qaryah Thayyibah maupun Summerhill. Di Qaryah Thayyibah, sistem pembelajarannya disebut dengan istilah active learning, yang artinya metode pembelajaran dengan memposisikan siswa sebagai subjek dalam sistem pembelajarannya. Pelajaran bahasa tidak disampaikan secara teoritis melainkan secara praktis. Dengan demikian setiap anak memiliki kepercayaan diri ketika berbicara dengan bahasa asing. Siswa secara langsung bersentuhan dengan pertanian, home industri, konservasi alam, air, koperasi desa, sosio-kultural, dan seluruh potensi yang ada di sekitar. Alam menjadi laboratorium raksasa yang tak terbatas.
Hal yang sangat mencengangkan bagi sebagian orang adalah setiap siswa di Qaryah Thayyibah memiliki seperangkat komputer yang terhubung dengan internet. Bagi masyarakat kota hal ini mungkin bukan sesuatu yang luar biasa, namun bagi masyarakat daerah dimana pendidikan yang berkualitas sangat mahal harganya, hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Sehingga setiap siswa di Qaryah Thayyibah bisa dikatakan belajar dengan menggunakan internet setiap saat. Internet mereka gunakan sebagai alat untuk menambah dan menggali pengetahuan karena sedemikian luas dan banyaknya hal yang bisa mereka dapatkan dari sana. Internet adalah perpustakaan on line bagi mereka. Secara tidak langsung, hal ini juga mengurangi salah guna dari internet. Dapat dikatakan, meski para siswa itu berada di daerah yang terpencil, jauh dari pusat kota, namun pengetahuan yang mereka miliki telah menjamah dunia secara global. Jika ada pameo “eat locally, think globally” merekalah orangnya.
Dalam hal ini Summerhill sangat berbeda. Meski ada jadwal bagi guru namun setiap anak di Summerhill bebas untuk belajar ataupun tidak belajar. Banyak dari mereka yang tertarik pada kegiatan yang bersifat keahlian daripada pengetahuan. Di Summerhill disediakan bengkel, teater, serta ladang sehingga anak-anak bebas menggunakan sewaktu-waktu. Pelajaran diberikan pada mereka yang ingin mempelajarinya. Tak ada ujian. Namun anak yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi harus mengikuti ujian bersama. Dalam hal ini, karena anak ingin mempelajarinya, maka penguasaan mereka akan pelajaran itu berlangsung efektif.
Ujian. Kata itu tak ada dalam baik Qaryah Thayyibah maupun Summerhill. Ujian dianggap tidak merepresentasikan kualitas anak yang sebenarnya. Ujian juga dianggap menafikan kemampuan anak pada bidang yang tidak diujikan. Padahal setiap anak memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda. Dan seharusnyalah pendidikan memberi kebebasan pada anak untuk belajar dan mengasah potensi yang dimiliki.
Jika lembaga  pendidikan mampu memberikan ruang-ruang kebebasan di mana setiap individu yang terlibat dalam lembaga tersebut mampu menghayati nilai-nilai, melalui mana ia membangun dunianya, dapatlah diharapkan bahwa masyarakat kita dan komunitas pendidikan menjadi sebuah komunitas yang lebih berwajah manusiawi.[43]
Secara tersirat dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan yang ada baik di Qaryah Thayyibah maupun Summerhill School tidaklah berbeda dengan pendidikan karakter. Yaitu yang tidak hanya berurusan dengan penanaman nilai bagi siswa, namun merupakan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan dimana setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasyarat bagi kehidupan moral yang dewasa.[44]

F.      Penutup

Pendidikan alternative. Dinamakan alternatif karena ianya berbeda dengan keadaan umumnya yang konvensional. Namun alternatif kiranya tak hanya sebatas berbeda, ianya juga memberikan solusi atau perbaikan pada masalah yang ada. Meski tak menutup kemungkinan bahwa semua akan berhasil, setidaknya ada hal yang berubah ke arah lebih baik. WaLLahu A’lam bi al Shawab

Daftar Pustaka


Ahmad, Musa, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Pembelajaran Berbasis Komunitas dalam Bahruddin Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta: LKiS, 2007
Bahruddin, Ahmad, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta: LKiS, 2007)
Bari, Syaiful, Memilih Lembaga Pendidikan Alternatif, http://www.surya.co.id
Budi, Imam, Pendidikan Alternatif: Persekolahan di Rumah, http://www.Kompas.com
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak Rusakan (Yogyakarta: LKiS, 2005)
Djohar, Membedah Pendidikan Alternatif di Indonesia dalam Kurikulum Yang Mencerdaskan visi 2030 dan pendidikan alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2007)
Freire, Paolo, Pendidikan Yang Tertindas, Terj (Jakarta: LP3ES, 2000)
Jatmiko, Y.Sari, Mlarat Ning Ningrat dalam Kurikulum Yang Mencerdaskan visi 2030 dan pendidikan alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2007
Koesoema A, Doni, Tiga Matra Pendidikan Karakter, Basis edisi Juli-Agustus 2007
Kuroyanagi, Tetsuko, Totto Chan Gadis Cilik di Jendela Terj. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Mangunwijaya, Y.B., Pendidikan Pemerdekaan (Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar, 2004)
Manurung, Butet, Pendidikan pada Komunitas Orang Rimba di Kawasan Adat Bukit Duabelas Jambi dalam Kurikulum yang Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007)
Neill, A.S, Summerhill School Pendidikan Alternatif yang Membebaskan Terj. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007)
Neill, A.S., Summerhill: Sekolah Radikal dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis Terj. Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Parera, Frans M, Gerakan Pendidikan Alternatif Dalam Tafsiran Pasca-mangunwijaya (1999-2007) dalam Kurikulum yang Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007)
Rudi, M dan David Teguh, Haruskah Pendidikan Mahal? Dalam Bahruddin, Pendidikan Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta: LKiS, 2007
Samba, Sujono, Lebih Baik Tidak Sekolah (Yogyakarta: LkiS, 2007)


[1] Makalah dipresentasikan pada Mata Kuliah Problematika Pendidikan Modern yang diampu oleh Bpk.Dr.Abd.Haris, MA
[2] mahasiswa Pasca Sarjana Konsentrasi Pendidikan Islam
[3] Sujono Samba, Lebih Baik Tidak  Sekolah (Yogyakarta: LkiS, 2007) 1
[4] ibid, 2
[5] Djohar,  Membedah Pendidikan Alternatif di Indonesia dalam Kurikulum Yang Mencerdaskan visi 2030  dan pendidikan alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2007)149
[6] Imam Budi, Pendidikan ALternatif: Persekolahan di Rumah, http://www.Kompas.com selasa 19 Desember 2006
[7] Syaiful Bari, Memilih Lembaga Pendidikan Alternatif, http://www.surya.co.id
[8] pendidikan Alternatif di Indonesia dalam Kurikulum yang mencerdasakan...vi
[9] Tetsuko Kuroyanagi, Totto Chan Gadis Cilik di Jendela, Terj (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005)251
[10] keterangan tentang sosok Bahruddin, lihat Mengenal lebih jauh Bahruddin dalam Ahmad Bahruddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Tayyibah (Yogayakarta:LKiS, 2007) 47
[11] Ahmad Bahruddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Tayyibah (Yogyakarta: LKiS, 2007) 27-28
[12] Samba, Lebih Baik..34-36
[13] Neill, Summerhill School.. back cover
[14] Neill, Summerhill: Sekolah Radikal…262
[15] Neill, Summerhill School…29
[16] ibid, 118
[17] Y.B. Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan, (penyunting: Y. Sari Jatmiko), (Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar, 2004)17
[18] Y.Sari Jatmiko, Mlarat Ning Ningrat dalam Kurikulum yang Mencerdaskan..193-4
[19] Samba, Lebih Baik tidak Sekolah (Yogyakarta: LKiS, 2007)43
[20] ibid, 44
[21] Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terj (Jakarta: LP3ES, 2000)50
[22] ibid, 51
[23] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan (Yogyakarta: LKiS, 2005) 201
[24] Musa Ahmad, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Pembelajaran Berbasis Komunitas dalam Bahruddin Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta: LKiS, 2007)18
[25] Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah..44
[26] Neill, Summerhill: Sekolah Radikal …266
[27] Freire, Pendidikan yang..62
[28]M.Rudi dan David Teguh, Haruskah Pendidikan Mahal? Dalam Bahruddin, Pendidikan Alternatif..145
[29] Frans M. Parera, Gerakan Pendidikan Alternatif Dalam Tafsiran Pasca-mangunwijaya (1999-2007) dalam Kurikulum yang Mencerdaskan..144-145
[30] Musa Ahmad, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah..15
[31] Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah..109
[32] Bahruddin, Pendidikan Alternatif..33
[33] Neill, Summerhill School..15-6
[34] Neill. Summerhill: sekolah Radikal..261
[35] Kuroyanagi, Totto Chan..251
[36] Neill, Summerhill: Sekolah Radikal..270
[37] ibid, 274
[38] ibid, 281
[39] Butet Manurung, Pendidikan Pada Komunitas Orang Rimba di Kawasan Adat Bukit Duabelas Jambi dalam Kurikulum yang ..177
[40] Jatmiko, Mlarat Ning Ningrat..193
[41] Neill, Summerhill School..43
[42] Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan..83
[43] Doni Koesoema A, Tiga Matra Pendidikan Karakter, Basis edisi Juli-Agustus 2007, 23
[44] ibid, 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar