Sabtu, 28 September 2013


DINAMIKA PERGURUAN TINGGI
(IAIN di persimpangan jalan)

Oleh :UMMI NAHDLIYAH

Muqaddimah
Pendidikan yang usianya adalah setua usia manusia merupakan satu elemen penting dalam kehidupan umat manusia, karena tanpa pendidikan manusia tidak akan berkembang menjadi lebih maju dan modern seperti saat ini. Sehingga pendidikan menjadi faktor determinan antara manusia satu dengan manusia lain, atau bahkan Negara satu dengan Negara yang lain. Hal ini dapat dilihat dari negara-negara yang benar-benar memperhatikan pendidikan terlebih perguruan tinggi sebagai prioritas utama dalam program pembangunan sehingga mereka pun menjadi negara maju dan modern yang terus bergerak meninggalkan jauh negara-negara yang hanya "setengah-setengah" dalam menangani pendidikan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Jaroslav Pelikan, bahwa a modern society is unthinkable without the university[1] yang berarti masyarakat modern tidak bisa terwujud tanpa adanya perguruan tinggi atau universitas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap bangsa yang ingin maju, mau modern dan hendak berkembang harus memiliki lembaga perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas manusia.
IAIN merupakan salah satu dari perguruan tinggi negeri yang pada dasarnya mempunyai peran yang sangat besar dalam memajukan bangsa. Memang, awalnya ia tidak didirikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan saja melainkan faktor agama, ideologi dan bahkan politik. Kekhasan IAIN dari sisi lain adalah, jika di PTU agama Islam sekedar menjadi salah satu mata kuliah, di lembaga ini ditetapkan sebagai fokus kajian utama. Meskipun demikian, IAIN menyandang status yang sama dengan lembaga pendidikan negeri lain, yakni perguruan tinggi negeri (PTN). Jenjang pendidikannya juga sama S1, S2 dan S3.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, perjalanan IAIN yang dipenuhi dengan berbagai macam problematika hendaknya tidak menjadikan kita pesimis terhadap perkembangan pendidikan Islam tetapi menjadi motivator bagi kita untuk berbuat lebih baik lagi. Oleh karenanya, membincang pendidikan Islam wabil khusus IAIN membutuhkan waktu yang panjang dan tidak boleh berhenti hanya sampai pada forum singkat ini. Berikut ini akan dibahas secara singkat tentang dinamika perguruan tinggi dengan IAIN sebagai fokus pembicaraan.

IAIN dalam sejarah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan perkembangan lebih lanjut dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang terletak di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, yang didirikan tanggal 1 Juni 1957. Dilihat dari segi usia ini, IAIN sebetulnya termasuk perguruan tinggi yang relatif cukup mapan di tanah air.[2]
Sebagaimana disinggung di atas, keinginan mendirikan perguruan tinggi Islam selain didasarkan pada pertimbangan edukasi dan dakwah, juga dilandaskan pada kepentingan ideologis. Cerminan yang paling jelas adalah pembentukan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pada 1950 di Yogyakarta oleh pemerintahan Soekarno. Lembaga ini dipandang sebagai "hadiah" kepada kelompok nasionalis-Islam setelah pemerintah "memberikan" UGM kepada kalangan nasionalis-sekular. Meskipun demikian, PTAIN bukanlah lembaga baru sama sekali, karena modalnya berasal dari pengambilalihan Fakultas Agama UII.
Kelompok Islam menjadikan PTAIN sebagai salah satu instrumen ideologis mereka. Di satu sisi ia dapat berfungsi sebagai tempat memproduksi ulama, di sisi lain bisa juga menjadi benteng pertahanan tradisi. Sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, PTAIN menjalankan peran konvensionalnya dengan kegiatan belajar mengajar serta penyebaran syiar agama. Akan tetapi, keberadaan perguruan tinggi itu sendiri ternyata juga berfungsi sebagai benteng ideologi masyarakat sekitar dari serangan ideologi lain. Atas dasar alasan itu pihak Depag memutuskan untuk menggandakan PTAIN menjadi puluhan fakultas dan disebar ke berbagai daerah. Kebijaksanaan ini sebagian dimaksudkan untuk membendung arus komunisme yang saat itu agresif merasuki berbagai wilayah.

Problematika IAIN
1.      Perekrutan mahasiswa
Seolah tak ada habisnya "mencerca" pendidikan di Indonesia. Hampir di setiap sudut wajahnya tak pernah ada baik-baiknya, tak terkecuali dengan perguruan tinggi dalam hal ini IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang saat ini sedang kita bahas.  Sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam yang sedang marak diperbincangkan akibat fenomena beralihnya ke UIN.
Tak dapat dipungkiri, secara empiris lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih dijadikan pilihan kedua (second class) oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Disamping karena kualitas akademiknya yang masih kurang juga karena out put yang dihasilkannya seringkali dipandang sebelah mata bila dibandingkan dengan alumni PTN yang lain. Hal ini tidak lain karena asumsi masyarakat terhadap IAIN sebagai lembaga dakwah Islam yang hanya bertugas mencetak modin dan muballigh.
Pada umumnya yang masuk pada pendidikan Islam, mereka hanyalah kelompok "residu" yang gagal memasuki persaingan di tingkat umum, atau mereka yang "terpaksa" daripada tidak kuliah. Meskipun bagi banyak kalangan muslim, utamanya orang Islam desa, lembaga seperti IAIN adalah sebuah lembaga pendidikan yang merupakan satu-satunya pilihan atau meminjam ungkapan Ihsan Ali Fauzi "the best offer you can get"[3]. Tentunya dengan input yang rendah dan pas-pasan semacam ini akan sulit untuk mencapai target yang dinginkannya, hingga pada akhirnya persoalan tersebut harus berkutat laksana lingkaran setan yang tidak pernah putus.
Meskipun IAIN menyandang status yang sama dengan perguruan tinggi negeri (PTN) dan jenjang pendidikannya juga sama S1-S2-S3, namun sistem rekrutmen mahasiswanya berbeda dari perguruan tinggi negeri, dimana pola SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang dipakai tidak diterapkan di IAIN. Oleh karenanya tak ada standar yang sama, kualifikasi akademik dan profesional IAIN menjadi sulit diukur. Itulah sebabnya lulusan IAIN, meskipun secara formal memiliki gelar sarjana, sering tidak diakui di pasaran.
2.      Pembelajaran di IAIN
Maksud didirikan IAIN antara lain untuk memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya, dalam pasal 2 peraturan presiden no. 11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN ditegaskan, IAIN bermaksud untuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Dengan mempertinggi taraf pendidikan dalam lapangan agama dan ilmu pengetahuan Islam adalah berarti mempertinggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerohanian (spiritual) dan ataupun dalam taraf intelektualismenya.
Dengan landasan tersebut IAIN diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban Islam terhadap tantangan zaman. Tetapi yang terjadi adalah para alumni IAIN belum mampu memberikan warna dan pengaruh keIslaman kepada masyarakat Islam secara keseluruhan.
Selain itu, sistem pendidikan dan perkuliahan yang berlangsung kebanyakan masih mengikut apa yang disebut Freire sebagai "the banking concept of education" (pendidikan ala bank), bukan "problem posing education" (pendidikan yang kritis).[4]
Dalam konsep pendidikan bank yang disinggung, mahasiswa lebih diorientasikan ke masa silam, ketimbang ke masa depan. Sikap sadar terhadap masa depan (futurisme) tidak menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar di IAIN.
Padahal hanya dengan sikap sadar terhadap masa depan itu, produk IAIN dapat lebih fungsional dalam masyarakat, khususnya dalam hubungannya dengan gagasan reaktualisasi atau revitalisasi Islam. Singkatnya, futurisme bertujuan untuk memperkuat kemampuan praktis produk IAIN untuk mengantisipasi dan mengadaptasi diri dengan perubahan, baik melalui penemuan, penjelasan atau pengalaman atau melalui resistansi dan akomodasi intelektual yang cerdas.
Karena proses belajar mengajar semacam inilah, mahasiswa tidak disiapkan untuk menghadapi tantangan modernisasi dan kebutuhan masyarakat yang kian kompleks. Sehingga tak sedikit alumni IAIN yang tidak mampu bersaing di tengah derasnya globalisasi. Selain itu, karena pembelajaran semacam inilah budaya kritis dari mahasiswa semakin tidak lagi mewarnai proses pembelajaran. Sehingga produksi dan reproduksi keilmuan & kajian keIslaman pun semakin sulit ditemukan.
3.      Lulusan IAIN
Pendidikan  itu kan yang penting dilihat bukan intended consequences-nya –seperti orang belajar ke ITB menjadi insinyur- melainkan, yang lebih penting adalah unintended consequences-nya : menjadi terpelajar. Kalau menjadi terpelajar, orang itu bisa menjadi apa saja. Gejala IAIN menjadi apa itu sama saja dengan fenomena orang-orang IPB (Institut Pertanian Bogor) yang banyak menjadi bankir. Itulah yang namanya disebut unintended consequences. Hal ini bisa menjadi semakin besar, bila aspek tradisi intelelektualnya tersentuh. Pada mula-mulanya kan orang-orang pergi ke IAIN ingin menjadi modin. Tapi, lama kelamaan, karena aspek intelektualnya tersentuh lalu mereka bisa menjadi apa saja. Itu pentingnya menjadi terpelajar.[5]
Demikianlah gambaran lulusan IAIN saat ini, telah digambarkan oleh cendekiawan Nurcholis Majid. Lulusan IAIN yang jumlah ribuan tentunya tidak semuanya dapat mengaplikasikan keilmuan yang didapatnya sesuai dengan bidangnya yakni profesi yang terkait dengan bidang keagamaan. Bahkan tidak sedikit lulusan IAIN bekerja di bidang yang sama sekali bertolak belakang dengan keilmuan yang diperolehnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Nurcholis Majid "menjadi terpelajar" alias bisa apa saja. Tetapi sudahkah, lulusan IAIN dibekali dengan keilmuan sehingga menjadi lulusan yang bisa apa saja?
4.      Pengembangan IAIN menjadi UIN
Gagasan dan konsep tentang pengembangan IAIN menjadi UIN bertitiktolak dari beberapa masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Beberapa masalah pokok itu adalah sebagai berikut.[6]
Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akdemik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secra keseluruhan. Di anatara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua, kurikulum IAIN belum mampu meresponi perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialisasi IAIN kurang mengalami interaksi dan reapproachment dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis.
Berdasarkan latar belakang pokok itu, pengembangan IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) mempunyai alasan yang cukup kuat sehingga saat ini sudah kita temukan beberapa IAIN yang sudah beralih kelembagaan menjadi UIN.
Beralihnya IAIN ke UIN pun nampaknya menuai pro kontra antara pihak modernis dan tradisionalis. Golongan tradisionalis beranggapan bahwa IAIN harus tetap dipertahankan sebagai wadah untuk mengembangkan khazanah keIslaman dengan kajian-kajian keIslamannya yang telah ada dan menjadi ciri khasnya selama ini sedangkan golongan modernis berpendapat bahwa sudah saatnya IAIN beralih ke UIN memasukkan materi-materi ilmu umum menjadi bidang kajiannya sehingga IAIN tidak lagi menjadi spesialiasasi kajian keagamaan.
Penutup
Berbagai problematika yang muncul berkenaan dengan perguruan tinggi dalam hal ini IAIN menuntut kita untuk terus berpikir dan berupaya agar mampu menemukan formula yang tepat guna perkembangan lembaga pendidikan Islam yang sampai detik ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat. Apalagi lulusan IAIN yang jumlahnya tak dapat dihitung dengan jari adalah potensi besar yang sayang untuk disia-siakan. Memang, segala sesuatu itu jika banyak maka akan menjadi murah. Demikian pula "saking" banyaknya lulusan IAIN, maka hampir tak ada yang mencarinya. Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi kita yang "terpelajar" ini untuk terus berijtihad sehingga IAIN sekarang bisa berubah berubah lebih baik dan mampu mencetak anak bangsa yang handal dan terpelajar. Percayalah, bersama kita bisa. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

Isna, Mansur.  Diskursus Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam.  Problem & Prospek IAIN; Antologi Pendidikan Tinggi Islam.  Departemen Agama RI, 2000.
Azra, Azyumardi.  Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru.  Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Wahono, Frsancis. Kapitalisme Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Tilaar, H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta, 2002


[1] Jaroslav Pelikan, The Idea of The University: A Reexamination (New Haven: University Press, 1992), 13 dalam Diskursus Pendidikan Islam, 3
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), 159
[3] Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam.  Problem & Prospek IAIN; Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Departemen Agama RI, 2000), 337
[4] Pendidikan Islam, 163
[5] Nur Cholis Madjid, Wawancara dalam Problem dan Prospek IAIN, 342
[6] Problem & Prospek IAIN, 13


KAPITALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
(Antara Kompetisi dan Keadilan)
Oleh: Umi Rosyidah/FO.340618
A. Pendahuluan
Sesuai dengan sifatnya yang tidak pernah berakhir dari sisi proses (never ending process), pendidikan itu mempunyai banyak faset untuk ditelaah. Pendidikan memang muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Menurut Paulo Freire pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan.[1] Pada dasarnya pendidikan memang diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup.
Selain itu pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja.[2] Sementara bagi paham lain, pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk menciptakan keadilan sosial.
            Melihat begitu pentingnya makna dari pendidikan bagi umat manusia, maka banyak peradaban manusia yang “mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan. Sebagaimana peradaban kita sebagai umat Islam, yang selalu menanamkan kewajiban dalam menuntut ilmu, seperti “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina” atau “tuntutlah ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat”, sebagaimana sebuah hadist yang berbunyi:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim, baik laki-laki ataupun perempuan”.
            Begitupula dengan peradaban negara kita tercinta, Indonesia. Setiap tanggal 2 Mei di Seantero Nusantara, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, semua ini tidak lain adalah untuk mempertahankan dan menjaga keberlangsungan pendidikan di Indonesia, dan juga seakan-akan negara kita ingin menegaskan bahwa pendidikan benar-benar modal buat membangun dan mengembangkan negeri ini.
            Tapi apa lacur, dan apa mau dikata, ternyata yang terlihat dilapangan sungguh berbeda, bahkan ironis. Kondisi dunia pendidikan kita amatlah memprihatinkan dan semakin jauh dari cita-cita yang idealnya, yaitu sebagai wahana pembebasan manusia dan memanusiakan manusia.
            Apalagi dewasa ini, kita tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas, yang dikenal sebagai zaman globalisasi, maka tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan sedang terancam dengan adanya sebagian manusia yang menyatakan bahwa dunia pendidikan dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapat keuntungan.
Sehingga di zaman globalisasi ini pendidikan pun mulai terkesan dengan “mahalnya biaya sekolah”. Dengan demikian pendidikan semakin tidak terjangkau bagi rakyat miskin bahkan mungkin menjadi momok (sesuatu yang ditakuti) untuk kalangan mereka dengan mahalnya dunia pendidikan.

B. Pembahasan

1. Pengertian Kapitalisme
            Secara etimologis, kapitalisme berasal dari bahasa latin “Caput” (kata benda) dan “Capitalis” (kata sifat) yang berarti “kepala” atau “yang berkaitan dengan kepala”. Dalam kaitan dengan kata ini, kapitalisme berarti usaha untuk mempertahankan kepala, kehidupan, dan kesejahteraan.[3] Secara terminologis, kapitalisme dipakai untuk menamai sistem ekonomi yang mendominasi dunia Barat sejak runtuhnya feodalisme.
            Sebagai sebuah sistem, kapitalisme terkait dengan hubungan antara pemilik pribadi atas alat produksi seperti tanah dan instalasi industri, yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital dan para pekerja yang tidak mempunyai modal.
            Max Weber (1867-1920), peletak dasar sosiologi modern dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism mendefinisikan “kapitalisme sebagai hadirnya industri bagi kebutuhan kelompok manusia yang dilaksanakan dengan metode perusahaan yang dikelola secara rasional”,[4] seperti adanya neraca modal.  Weber menggunakan semangat kapitalisme untuk menggambarkan sikap mental yang selalu berusaha mencari keuntungan secara rasional dan sistematis.
            Kapitalisme sebagai sistem baru telah berkembang sejak zaman kuno, dan selalu mengalami masa kemajuan dan masa kemerosotan. Karena kapitalisme merupakan suatu sistem yang terus mengalami perkembangan dalam upaya eksistensi dirinya, kapitalisme mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda pada setiap zamannya. Secara umum ciri-ciri kapitalisme dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kapitalisme klasik dan kapitalisme modern.
            Nicholas Abercrombi (dosen sosiologi University of Lancaster) mengemukakan ciri-ciri kapitalisme dalam bentuknya yang murni sebagai berikut: 1. Pemilikan dan kontrol atas instrument produksi, 2. Kegiatan ekonomi diarahkan bagi pembentukan laba (profit), 3. Tersedianya sistem pasar yang mengatur semua kegiatan, 4. Perolehan laba oleh pemilik modal, dan 5. Penyediaan tenaga kerja oleh buruh yang bertindak sebagai agen bebas.
Adapun ciri kapitalisme modern menurut Meghnad Desai (guru besar London School of Economics) adalah: 1. Produk untuk dijual, bukan untuk dikonsumsi sendiri, 2. Pasar, tempat tenaga kerja dibeli dan dijual dengan alat tukar upah melalui hubungan kontrak, 3. Uang, yang digunakan dalam tukar menukar, 4. Proses produksi atau proses kerja, 5. Pengambilan keputusan di tangan pemilik modal, 6. Persaingan bebas di antara pemilik kapital.

2. Sekolah dan Perusahaan
Dengan bertahan dan semakin berkembangnya kapitalisme, ternyata kapitalisme tidak hanya berkembang di dunia industri dan perusahaan, melainkan perkembangan kapitalisme juga sudah mulai berkembang di dunia pendidikan.
Masuk dan berkembangnya kapitalisme di dunia pendidikan ditandai dengan semakin maraknya pembangunan sekolah-sekolah swasta dengan memberlakukan perilaku pasar bebas dan dunia bisnis di dunia pendidikan (sekolah).
Maraknya pasar bebas didunia pendidikan, dilandasi pada suatu ideologi yang berangkat dari kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”.[5] Kompetisi Pasar Bebas merupakan suatu kompetisi yang agresif akibat dari terjaganya mekanisme pasar bebas. Kesemua keyakinan ini berangkat dari suatu pendirian bahwa “pasar bebas” itu efisien, dan pasar bebas diyakini sebagai cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam yang langka, demi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pasar bebas dan bisnis yang berlaku di sekolah-sekolah semakin berkembang pesat, dengan banyaknya program baru yang semakin menekan dan melumpuhkan orang tua sebagai wali murid dalam membiayai sekolah anaknya.
Program sekolah itu berupa seperti adanya pengadaan kaos olah raga, study tour, daftar ulang, perubahan warna baju seragam sekolah setiap tahunnya, gantinya terbitan buku pelajaran setiap semester dan lain sebagainya, yang semua itu dikoordinir oleh pihak sekolah.[6]
Program tersebut dilandasi atas alasan untuk meningkatkan kualitas anak didik dan untuk mempermudah jalannya sitem pendidikan di sekolah, tapi dibalik itu semua terdapat adanya dunia bisnis, dimana seorang guru dan lembaga berfungsi sebagai birokrasi perusahaan dengan mendapatkan keuntungan yang besar.
Semua praktisi bisnis di sekolah itu berjalan lancar karena kolusi antara pengusaha (industri wisata, penerbitan, tekstil, asuransi, sepatu dan lain sebaginya) dengan penguasa maupun pelaksana pendidikan,[7] yang mana pastinya mereka mendapat keuntungan yang sangat besar dari praktisi bisnis tersebut.
 Lain halnya dengan masyarakat yang menjadi korban, dengan adanya program-program tersebut, mereka semakin terlumpuhkan dan tertekan dengan biaya sekolah. Sehingga mereka selalu dihantui rasa takut dengan biaya sekolah yang mahal dan keputus-asaan dalam menuntut ilmu.
Dengan adanya buku pelajaran yang selalu berganti setiap tahunnya atau terkadang setiap semester, maka buku-buku tersebut tidak dapat diwariskan kepada adiknya atau tetangga yang membutuhkan, begitupula dengan seragam sekolah. Padahal jika tidak ada beberapa program tersebut, para orang tua dapat menghemat biaya pendidikan, dan dapat menyekolahkan anaknya sampai selesai sehingga akan semakin berkurang data anak yang putus sekolah (drop-out).
Dari beberapa program sekolah diatas, betapa program sekolah telah turut menyumbang terjadinya proses “Pemiskinan” dan “Pembodohan” di masyarakat, karena semakin banyaknya anak didik yang tidak dapat menyelesaikan program study mereka sampai selesai, dikarenakan biaya sekolah yang mahal dan hanya dapat dijangkau oleh mereka yang ekonominya terjangkau.

3. Faktor Penyebab Kapitalisme dan Komersialisme Pendidikan
a. Kesalahan Paradigma dan pendekatan
Berkembangnya kapitalisme pendidikan di sekolah adalah dampak dari zaman globalisasi dan juga dampak dari kesalahan Paradigma dan Pendekatan. Kesalahan ini merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda dan oleh pemerintah orde baru sampai kini masih dilanjutkan tanpa sadar.
Kesalahan paradigma tersebut adalah menanamkan paradima “kompetisi” dalam pendidikan, dan bukan paradigma “keadilan sosial” yang seharusnya ditanamkan pada masyarakat. Sekilas paradigma itu adalah wajar-wajar saja, tetapi begitu diteliti lebih jeli, kompetisi dalam orde baru adalah kamuflase dari mempertahankan status-quo ekonomi-sosial yang sangat timpang. [8]
Sebagai contohnya adalah pembedaan alokasi subsidi yang bias pada sekolah-sekolah negri top dan di ibu kota yang menganaktirikan sekolah-sekolah negri bawahan dan jauh dari pusat, atau di kabupaten pelosok tanah air.
Contoh lain adalah pembedaan perlakuan antara sekolah-sekolah yang dikelola oleh Negara dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta. Biasanya yang dikelola oleh Negara adalah anak emas dan yang dikelola oleh swasta adalah anak tiri. Pembedaan ini adalah pembedaan sistematis, artinya untuk maksud tujuan politik ekonomi tertentu.
Paradigma “kompetisi” lebih mengimplikasikan pendekatan kapitalis liberalis-di Indonesia ditambah dengan ajektif “feodal”-“sumber daya manusia”.[9]. Pendekatan “sumber daya manusia” mengandaikan investasi dalam bentuk uang maupun tenaga kerja, dimana manusia disama-ratakan dengan barang. Pendekatan ini dibesarkan oleh pemikir ekonom klasik pengenai “pertumbuhan ekonomi”.

b. Beratnya tanggungan dan seriusnya ketimpangan ekonomi sosial bangsa
Dari kesalahan paradigma dan pendekatan yang menyebabkan adanya pembedaan dan perhatian pemerintah dalam hal alokasi subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, membuat sekolah-sekolah swasta kekurangan dana dalam pengembangan pendidikan, khususnya menghadapi zaman globalisasi ini.
Maka dalam melengkapi fasilitas sekolah agar tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan, dan untuk menggaji para guru, pihak sekolah menarik uang SPP yang tidak sedikit dan lebih mahal dari sekolah negeri, selain itu juga masih ada dana potongan yang dibebankan kepada orang tua murid, seperti biaya ujian, uang rapor, uang ijazah, perayaan hari besar, uang UKS, OSIS, dan lain sebagainya.[10]
Dengan beratnya tanggungan ekonomi sosial pendidikan ini mengakibatkan ketimpangan ekonomi sosial bagi guru/dosen di satu pihak, tetapi juga bagi peserta didik dan keluarganya di lain pihak, sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat penyelesaian atau pelulusan peserta didik, yakni sepertiga dari jumlah pendaftar.
Dengan kata lain drop-out atau putus sekolah sebelum waktunya merupakan dampak dari beratnya tanggungan dan ketimpangan ekonomi sosial, sehingga semakin banyak anak didik yang tidak mendapatkan hak-hak mereka dalam dunia pendidikan.

4. Tata Pendidikan Berkeadilan Sosial
Pendidikan adalah kebutuhan dasar (basic need) hidup manusia.[11] Pendidikan juga merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia, tapi kenyataan yang terjadi pendidikan dan pengajaran di dalam paradigma neokolonial Indonesia selama ini hanya diajukan demi fungsinya terhadap kebutuhan penguasa, tidak demi masyarakat.
Maka sudah saatnya kita merubah paradigma pendidikan yang selama ini keliru. Paradigma pendidikan yang seharusnya ditanamkan adalah paradigma “keadilan sosial”, yang direkomendasi oleh Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 27. yang pertama menjadikan “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang kedua menjamin “hak memperoleh pendidikan untuk semua”.[12]
Paradigma “kedilan sosial” menuntut dijadikannya dasar membangun sistem persekolahan maupun pendidikan masyarakat luas usaha-usaha secara preferensial untuk mensubsidi peserta didik yang tertinggal secara ekonomi sosial. Subsidi tidak hanya berupa materi termasuk uang, tetapi berupa juga pendampingan ekstra. Maksudnya, agar beban ekonomi sosial tidak menjadi kendala untuk mengembangkan kepandaian otak dan keluhuran watak.
Dalam paradigma “Kompetisi”, menggunakan pendekatan “sumber daya manusia”. Lain halnya dengan paradigma “kedilan sosial”, menggunakan pendekatan “pemberdayaan manusia”. Pendekatan ini menempatkan manusia sebagai manusia. Manusia tidak disejajarkan dengan barang. Manusia merupakan makhluk otonom yang merdeka, mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan direalisasikan.
Mekanisme paradigma “keadilan sosial” adalah “penetasan kemakmuran”. Argumentasinya asal ada pertumbuhan, perataan, atau distribusi berjalan dengan sendirinya. Pendidikan yang berkeadilan ini akan terlaksana bilamana kita semua serius mentransformasikan pendidikan menuju ke pendidikan yang menempatkan  manusia sebagai manusia.[13]
Jika paradigma ini terlaksana, maka tidak akan ada lagi beratnya tanggungan dalam dunia pendidikan  dan ketimpangan ekonomi sosial bangsa. Dengan paradigma “keadilan sosial” semua anak didik akan mendapatkan haknya dalam menuntut ilmu, dan kemungkinan besar akan terjadinya pengurangan dalam jumlah anak didik yang putus sekolah.
Selain itu para pendidik atau guru juga akan mendapatkan kesejahteraan yang semestinya dan yang memang sudah seharusnya mereka terima sebagai para pendidik. Sebagaimana pernyataan KH. Syukri Zarkasyi bahwa agar pendidikan dapat berjalan secara efektif, efisien dan tetap survive khususnya di zaman globalisasi ini maka kesejahteraan guru harus sangat diperhatikan.[14] Mengingat mereka adalah orang-orang yang mencerdaskan kaderisasi bangsa.
Dengan adanya paradigma keadilan dalam dunia pendidikan, baik dalam hal subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, diharapkan tidak ada lagi kesan “sekolah mahal” dan sekolah hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berekonomi tinggi, tapi semua manusia dapat mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan.

C. Penutup
Pendidikan adalah wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja. Pendidikan juga diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk menciptakan keadilan sosial.
Akan tetapi dalam praktik pendidikan selama ini bukannya mencerdaskan, malah sebaliknya, pendidikan dijadikan arena pembodohan saja, dan sumbangan dalam program meningkatkan pemiskinan masyarakat. Lebih tepat lagi pendidikan justru menjadi belenggu tersendiri bagi masyarakat.
Semua hal tersebut karena paradigma yang salah selama orde baru, yaitu paradigma “kompetisi” dengan pendekatan “Sumber Daya Manusia”. Dalam paradigma ini, dunia pendidikan lebih mempertahankan  status-quo ekonomi-sosial yang sangat timpang.
Paradigma “Kompetisi” mengakibatkan mahalnya sekolah, karena ketidak adilan pemerintah dalam pemberian subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sehingga menyebabkan rendahnya gaji guru.
Maka tidak heran ketika kapitalisme berkembang di dunia pendidikan. Para pelaku pendidikan juga turut memiliki otak komersil dan turut mengembangkan pasar bebas di sekolah mereka. Hal ini mereka lakukan demi menjaga mutu sekolah dan mempertahankan biaya hidup mereka, karena berlakunya pasar bebas di dunia pendidikan membawa keuntungan yang besar bagi mereka.
Maka paradigma yang seharusnya ditanamkan adalah “keadilan sosial”, dengan harapan agar tercapainya tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Dengan paradigma keadilan sosial diharapkan akan adanya pemerataan dalam dunia pendidikan, sehingga semua anak bisa mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan. Dengan demikian visi sosial dalam pendidikan akan terkedepankan, dan bukan visi ekonominya.









Daftar Pustaka

Wahono, Francis, Kapitalisme Pendidikan Antara kompetisi dan keadilan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Yunus, Firdaus M, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2005.
Irawan, Ade, Mendagangkan Sekolah, Jakarta: Yayasan Tifa, 2004.
Redwood, John, terj. Kapitalisme Rakyat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Topatimasang, Roem, Sekolah itu Candu, Yogyakarta: Pustaka Peljar, 2003.
Soros, George, terj. Krisis Kapitalisme Global, Yogyakarta: Penerbit Kalam, 2001.
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LKis, 2007.
Armando, Nina M., Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.



[1] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hal 1.
[2] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan keadilan, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), hal 2.
[3] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal 52.
[4] Ibid., 53.
[5] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 2.
[6] Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hal 229.
[7] Ibid., 250.
[8]Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 86.
[9] Ibid., 89.
[10] Ade Irawan, dkk, Mendagangkan sekolah, (Jakarta: Yayasan Tifa, 2004), hal 96.
[11] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hal 7.
[12] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 87.
[13] Ibid., 107.
[14] Syukri Zarkasyi,” Pengembangan Pendidikan Pondok Pesantren di Era Otonomi Pendidikan: Pengalaman Pondok Modern Darusslam Gontor”, (disertasi: UIN Syarif Hidyatullah, 2005), 29.


PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT
Oleh:Reki Lidyawati


PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Diamandemennya UU No 22 Th. 2003 tentang otonomi daerah dengan UU No 32    Th. 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing. Dari fenomena inilah menjadi kesempatan bagi semua masyarakat untuk berperan aktif dalam memajukan daerahnya masing-masing yang menyangkut berbagai bidang, salah satu diantaranya adalah bidang pendidikan.
Kebijakan desentralisasi dianggap sebagai persoalan menejemen, karena itu keputusan desentralisasi administratif apakah dapat dilaksanakan di luar departemen atau pemerintah secara keseluruhan, tanpa konsultasi yang ekstensif. Desentralisasi politik melibatkan beragam stakeholder, baik mereka yang ada di dalam maupun di luar pemerintah. Mereka semua memiliki kepentingan untuk melindungi atau mencapainya.[1]
Referensi inilah yang dijadikan sebagai acuan oleh masyarakat dalam menginovasi lembaga pendidikan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam memajukan  dunia pendidikan di daerahnya masing-masing.
Munculnya lembaga pendidikan berbasis masyarakat merupakan hasil kreasi dari masyarakat dalam upaya mencari bentuk idealisme dari lembaga pendidikan yang mampu menjadi solusi dari problematika dunia pendidikan di masa kini.
Pendidikan berbasis masyarakat dianggap sebagai suatu keputusan yang bijak dan demokratis, karena pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.Dengan adanya pendidikan yang berbasis masyarakat maka masyararakat dituntut lebih proaktif dalam mensukseskan proses pelaksanaannya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya sekolah merupakan Laboraturium masyarakat, sehingga  adanya sekolah di dalam masyarakat diharapkan mampu menjadi solusi segala problematika yang ada di masyarakat.Di dalam sekolahlah proses pendidikan formal terjadi, maka pada proses pendidikan itulah proses transformasi budaya terjadi, sehingga sekolah menjadi ikon transformator yang strategis dalam dinamika masyarakat.
Bila secara spesifik kita pahami tentang tujuan pendidikan, maka tujuan pendidikan ada 2 item terkait dengan kedudukan individu sebagai individu dan individu sebagai anggota masyarakat.Sebagai seorang individu dia diharapkan mampu mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang dimilikinya, adapun sebagai anggota masyarakat, diharapkan kelak ketika dewasa mampu bertingkah laku, berbuat dan hidup dengan baik sesuai dengan norma dan nilai masyarakat.[2]
Selama ini, hubungan antara pendidikan dan masyarakat dapat dilihat dari sifat pendidikan, yaitu; pertama, pendidikan diarahkan untuk pengembangan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang baik.Kedua pendidikan diarahkan untuk menyiapkan anak dalam menjalankan kehidupan di masyarakat sesuai dengan kewajiban, hak dan norma yang berlaku di masyarakat.Pendidikan membutuhkan dukungan dari masyarakat, berupa penyediaan fasilitas, system sosial, budaya dan lain-lain, karena disini  masyarakat diposisikan sebagai suatu sub system yang ikut mensukseskan pelaksanaan proses pendidikan.[3]
B.        Pengertian Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat (Community based education) adalah sebuah model pendidikan yang mengikutsertakan masyarakat di dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, maka pendidikan tersebut berakar dari masyarakat dan di dalam kebudayaan. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang berfungsi untuk membudayakan nilai-nilai masyarakat, dapat memenuhi fungsinya.[4]
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang dirancang oleh masyarakat untuk membelajarkan masyarakat sehingga merreka berdaya, dalam arti memiliki kekuatan untuk membangun dirinya sendiri yang sudah barang tentu melalui interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian konsep pendidikan berbasis masyarakat mencakup:Dari masyarakat, olewh masyarakat dan untuk masyarakat.[5]
Pendidikan berbasis masyarakat menekankan pada pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan masalah oleh masyarakat dengan  menggunakan segala potensi yang ada dalam masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya.
Dalam UU system pendidikan nasional (UU SISDIKNAS) No 20 Th 2003 pasal 55 telah diuraikan beberapa kerangka pengembangan pendidikan berbasis masyarakat.Pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
Dengan demikian masyarakat memiliki peluang dan hak dalam membangun system pendidikan yang khas dengan kebutuhan local.Pendidikan berbasis masyarakat tersebut dapat dibentuk melalui jalur formal maupun nonformal sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadikan manusia seutuhnya.Pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator yang turut membantu memberikan pertimbangan dan masukan bagi pelaksanaan program-program yang dikembangkan.
Pada poin 2 pasal 55 UU SISDIKNAS telah dijelaskan tentang  kurikulum, evaluasi dan pembiayaan. Disebutkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta menejemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Lebih lanjut terkait dengan pendanaan juga dijabarkan pada poin 3 bahwa dana Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah, dan atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat juga dapat memperoleh bantuan teknis, Subsidi dana, dan sumber daya lain yang adil dan merata dari pemerintah dan atau pemerintah daerah,(Poin 4 pasal 55 UU SISDIKNAS).[6]
Senada dengan uraian di atas, pendidikan berbasis masyarakat merupakan salah satu gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan peendidikan pada lingkungan kontekstual (ciori, kondisi dan kebutuhan masyarkat).Sesuai dengan kelembagaan pendidikan itu berada.Orientasi pengembangan program-program pendidikan hendaknya merefleksikan cirri, sifat dan kebutuhan masyarakat.[7]
C.        Tujuan Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendididkan berbasis masyarakat lebih diarahakan untuk membentuk disposisi mental dan emosional, mensosialisasikan pemaknaan dan mengajarkan pesserta didik ilmu pengetahuan sebagai strategi dalam menyongsong masa depan. Pendidikan berbasis masyarakat tidak hanya menuntut adanya keterlibatan dan peran aktif masyarakat, tetapi hasil dari penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di tuntut untuk mampu memecahkan berbagai macam problematika masyarakat.[8]
Tujuan pendidikan berbasis masyarakat adalah untuk mengembangkan kualitas pendidikan yang memberikan wewenang pada masing-masing masyarakat atau sekolah. Negara tetap memiliki tanggung jawab yang utama terhadap pendidikan, tetapi masyarakat juga memiliki tanggung jawab unuk pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang akan mempengaruhi kebijakan sekolah, Khususnya dalam upaya pemberdayaan siswa.[9]
Dalam hasil-hasil pertemuan kelompok kerja (POKJA) mengenai pendidikan berbasis masyarakat yang dikutip oleh Fasli jalal dan Dedi Supriyadi dalam buku yang berjudul Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah, telah merumuskan tujuan dari pendidikan berbasis masyarakat yang antara lain sebagai berikut:
1.                  Membantu pemerintah dalam memobilisasi sumberdaya local dan meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian yang lebih besar, dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan pada semua tingkat, jenis dan jalur pendidikan.
2.                  Merangsang terjadinya perubahan sikap dan persepsi tentang ras kepemilikan masyarakat terhadap sekolah, rasa tanggung jawab, kemitraan toleransi dan kekuatan multikultural.
3.                  Mendukung prakarsa pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarakat terhadap sekolah, khususnya orang tua dan masyarakat melalui kebijakan desentralisasi.
4.                  Mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan dan mengganti peran persekolahan  dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi, penyediaan akses yang lebih besar.Peningkatan evisiensi menejemen pendidikan dasar untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
5.                  Membantu mengatasi putus sekolah khususnya dari pendidikan dasar.[10]
Pada poin 5 dari tujuan pendidikan berbasis masyarakat diatas  telah dirumuskan bahwa salah satu tujuan pendidikan berbasis masyarakat adalah membantu mengatasi putus sekolah khususnya dari pendidikan sekolah dasar, karena sampai saat ini angka anak putus sekolah masih belum bisa diminimalisir secara maksimal, pada konteks ini maka pendidikan berbasis masyarakat mencoba mnyuguhkan solusi dari problematika tersebut.
Banyaknya anak putus sekolah dikarenakan tuntutan ekonomi, sudah menjadi fakta yang miris untuk diperdengarkan karena pada saat ini di kota-kota besar, seperti halnya Surabaya masih banyak anak yang putus sekolah karena memang mereka sudah dituntut untuk bekerja mencari uang untuk membantu menafkahi keluarga.
Faktor lain yang menyebabkan banyaknya anak putus sekolah adalah mental dari para orang tua mereka yang kurang sadar akan pentingnya pendidikan sehingga mereka tidak meberikan motivasi pada anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikannya dan cenderung membiarkan para anak mereka bekerja.
Bila dikritisi secara lebih menyeluruh mengenai tujuan  dari pendidikan berbasis masyarakat maka pendidikan ini mencoba memberikan formulasi pendidikan yang solutif terhadap problematika pendidikan yang kompleks dan heterogen.
D.        Karakteristik Pendidikan Berbasis masyarakat
Bila membicarakan masalah karakteristik pendidikan berbasis masyarakat maka proses pendidikan ini memiliki karakteristik yang syarat akan masyarakat, karena pendidikan ini merupakan pendidikan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.ada beberapa kriteria yang menjadi karakteristik dari pendidikan berbasis masyarakat.Yang diantaranya adalah:
1.                  Peran serta masyarakat dalam pendidikan
2.                  Pengambilan keputusan yang berbasis sekolah
3.                  Pendidikan yang diberikan oleh sekolah swasta dan yayasan
4.                  Pendidikan dan pelatihan dilakukan oleh pusat pelatihan milik swasta.
5.                  Pendidikan luar sekolah yang disediakan oleh pemerintah
6.                  Pusat kegiatan belajar masyarakat
7.                  Pendidikan luar sekolah yangf diberikan oleh organisasi akar rumput seperti LSM dan pesantren.[11]
Partisipasi masyarakat dalam pendidikan  berbasis masyarakat sangatlah penting, karena peran masyarakat ini akan memberikan warna tersendiri pada corak pendidikan berbasis masyarakat. Dengan pelibatan masyarakat secara langsung pada proses pendidikan ini maka masyarakat juga merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab atas kesuksesan dari proses pendidikan tersebut.
Sanapiah faisal berpendapat bahwa praktek pendidikan bukanlah merupakan fenomena yang terpisah dari pranata lainnya, apalagi masyarakat yang ada di sekitarnya, semua bidang atau pranatanya bernaung di bawah satu sistem yang sama. Itulah sistem pendidikan yang sesuai yang diterapkan pada era saat ini.Setiap masyarakat memiliki sistem moral, agama, ekonominya sendiri dan lain sebagainya.[12]
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan usaha pemberdayaan (empowering) masyarakat dalam pendidikan.Pada statemen ini tergambar jelas bahwa pendidikan berbasis masyarakat ingin menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya, yang dimaksud dengan berdaya di sini adalah masyarakat mampu mengatasi segala permasalahan hidup dengan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya dari proses pendidikan.


E.         Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Peran serta masyarakat  terhadap pengembangan konsep pendidikan berbasis    masyarakatdapat dilihat melalui beberapa kriteria, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.                  Peran serta masyarakat tidak hanya berwujud pemberian bantuan uang atau fisik, tetapi juga hal-hal akademik.
2.                  Kewajiban sekolah (disertai memonitoring dan accountability) yang tinggi terhadap pemerintah maupun masyarakat
3.                  Memberi kesempatan luas  kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lembaga pendidikan  termasuk dalam partisipassi dalam pembuatan keputusan-keputusan
4.                  Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan tujuan pendidikan,  bukan hanya untuk kepentingan administratif atau birokrasi.
5.                  Program pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik sekarang maupun mendatang, berorientasi pada peningkatan mutu bukan untuk kepentingan birokrasi.
6.                  Laporan pertanggungjawaban terbuka untuk semua pihak yang berkepentingan.[13]
Dari beberapa kriteria  peran serta masyarakat dalam proses pendidikan berbasis masyarakat diatas tergambar jelas bahwa masyarakat memiliki posisis yang urgen dalam keberlangsungan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat, dan peran serta yang dapat diambil oleh masyarakat tidak hanya  sebagai donatur sekolah tetapi juga meliputi kebijakan-kebijakan yang akan di ambil oleh sekolah tersebut dalam pelaksanaan pendidikan tersebut.
F.         Contoh Lembaga Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat, yang terimplementasikan pada lembaga pendidikan SMP alternatif Qaryqh Thayyibah (QT) memang pada dasarnya merupakan sebuah SMP terbuka.Akan tetapi karena QT did dirikan dengan berangkat dari keprihatinan  yang mendalam terhadap semakin merosotnya mutu pendidikan, di satu pihak dan semakin mahalnya biaya pendidikan, di lain pihak, QT mencoba menawarkan pendidikan yang bermutu dan murah.Bermutu di sini bukan berarti  sekedar dalam pengertian “peringkat tinggi” (Menurut Standar Evaluasi Resmi)  tetapi lebih dari itu adalah untuk memberdayakan peserta didik dalam menghadapi realitas kehidupan sekitar.Karena sasaran utamanya adalah masyarakat sekitarnya, QT merupakan sekolah berbasis masyarakat.[14]
Pelabelan yang telah diberikan oleh Bahruddin terhadap lembaga pendidikan QT merupakan sebuah justifikasi yang didasarkan pada obyek bidik yang menjadi sasaran dalam proses pendidikan tersebut, yaitu masyarakat.Acuan lain yang dijadikan dasar pelabelan lembaga tersebut adalah lembaga pendidikan QT itu muncul dari rasa keprihatinan terhadap problematika pendidikan yang menjadi momok bagi masyarakat.Sehingga lembaga pendidikan QT mencoba muncul sebagai solusi dari problematika tersebut.
Memang setiap pendidikan diselenggarakan untuk masyarakat.Akan tetapi, masyarakat disini sering kali di posisikan sebagai konsumen dan lembaga pendidikan sebagai produsen.Posisis inilah yang malah menjadi dikotomi yang ketat antar lembaga pendidikan dan masyarakat.
Dalam hal ini QT memandang masyarakat secara lain dan menempatkan diri secara lain pula.Alih-alih memosisikan diri sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, QT mencoba menjadi transformator masyarakat sekitarnya.
Mengenai materi pengajaran yang diberikan pada lembaga pendidikan QT  tetap mengacu pada kurikulum nasional, akan tetapi, sebagai sekolah yang berbasis pada masyarakat maka QT mencoba mengembangkan kurikulum  yang diangkat dari problem-problem riil yang ada dalam masyarakat sekitarnya.Dalam hal ini QT mencoba mendorong para siswanya untuk peduli pada berbagai problem riil yang ada dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat sekitar.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang mengikutsertakan masyarakat dalam proses pendidikan dan pengelolaan lembaga pendidikan.Dengan demikian Konsep pendidikan berbasis masyarakat mencakup dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Mengenai tujuan pendidikan  berbasis masyarakat ini sudah dijelaskan secara gamblang diatas, notabene pendidikan berbasis masyarakat ini memiliki tujuan ideal dan mencoba memposisikan dirinya sebagai solusi dari problematika pendidikan yang ada dalam masyarakat.
Karakteristk yang dimiliki oleh lembaga pendidikan berbasis masyuarakat ini dapat di simpulkan sebagi people center, karena pendidikan ini berasal dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.Pendidikan berbasis komunitas ini telah terimplementasikan pada lembaga pendidikan Qaryah Thayyibah.
HASIL DISKUSI
Pesantren Merupakan Salah Satu Bentuk Pendidikan Berbasis Masyarakat
Dalam sejarah nasional, pondok pesantren bukan lembaga yang identik dengan keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indegenous), sebab lembaga yang serupa dengan pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak kekuasaan hindu budha sehingga islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada.Dengan demikian pesantren sebenarnya tidak hanya identik dengan tempat pembelajaran ilmu agama islam semata, namun juga ada unsur warisan budaya masyarakat.[15]
Pesantren lebih cenderung pada pola pendidikan tradisional yang tumbuh dikalangan masyarakat, yang pada umumnya tetap mempertahankan kurikulumnya secara mandiri.[16]Dari penjelasan Zuhairini ini jelas bahwasannya pola pendidikan pesantren pada perjalanan historisnya adalah berakar dari masyarakat.Sedangkan posisi Kiai disini adalah sebagai konseptor dan aplikator dari pola pendidikan tersebut.
Dien Nielsen berpendapat bahwa satu-satunya lembaga pendidikan yang sepenuhnya berbasis masayarakat adalah pesantren, yang memiliki kurikulum pendidikan dan sistem pelayanan masyarakat.[17]



DAFTAR PUSTAKA


A.S.Haris, Pengembangan Sekolah Melalui Partisipasi Masyarakat: Sebuah Kajian Operasional Tingkat Sekolah. (Seminar Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 19 Mei 2001.
 Abu Duhou.Ibtisam, Menejemen Berbasis Sekolah, ter Nur Yamin Aini dan Suparto, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002
Ahmad Bahruddin, Pendidikan Aternatif;Qaryqh Thayyibah Yogyakarta:Lkis, 2007
Badaruddin, Kepribadian Kiai Dalam Pondok Pesantren, Wacana, Vol V, No 1 (Maret 2005)
Bagong Suyanto,Pendidikan Berbasis Masyarakat:Prasyarat yang Dibutuhkan Edukasi, Vol I, No 1 2005
Dean nielsen, Memetakan konsep pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia Yogyakarta:Adicita Karya, 2001
Dean Nielsen, Memetakan Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat di Indonesia Yogyakarta:Adicita Karyanusa, 2001
Fasli jalal dan Dedi Supriyadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah Yogyakarta:Adicita Karya Nusa, 2001
H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Jakarta:Rineka Cipta, 2000
Keter Petrus, A Practitioner’s Guide to School Community Based Management (United State:Department of Education, Under  The Regional Education Laboratory Program) WWW.Google.com.hal 1
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengantar Kurikulum: Teori Dan Praktek, Bandung:Jemars, 1990
S.Nasution, Asas-Asas Kurikulum:Teori dan Praktek Bandung:Jemars, 1990
Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, Surabaya:Usaha Nasional, 1980
Satori, Implementasi Life Skill dalam konteks pendidikan di sekolah,2001, WWW.pendidikan .go.id.
Umberto Sihombing,Konsep dan Pengembangan Pendidikan berbasis masyarakat Yogyakarta:Adicita Karya Nusa, 2001
UU SISDIKNAS No 20 Th 2003 pasal 55
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta :Direktorat Jendral Pembinaan kelembagaan agama Islam, 1986


[1] Ibtisam Abu Duhou, Menejemen Berbasis Sekolah, ter Nur Yamin Aini dan Suparto (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002) hal 13
[2] S.Nasution, Asas-Asas Kurikulum:Teori dan Praktek (Bandung:Jemars, 1990)hal 24
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengantar Kurikulum: Teori Dan Praktek, (Bandung:Jemars, 1990)hal24
[4] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta:Rineka Cipta, 2000)hal175
[5] Umberto Sihombing,Konsep dan Pengembangan Pendidikan berbasis masyarakat (Yogyakarta:Adicita Karya Nusa, 2001)hal186
[6] UU SISDIKNAS No 20 Th 2003 pasal 55
[7] Satori, Implementasi Life Skill dalam konteks pendidikan di sekolah,2001, WWW.pendidikan .go.id.
[8] Bagong Suyanto,Pendidikan Berbasis Masyarakat:Prasyarat yang Dibutuhkan Edukasi, Vol I, No 1 (2005)hal 11
[9] Keter Petrus, A Practitioner’s Guide to School Community Based Management (United State:Department of Education, Under  The Regional Education Laboratory Program) WWW.Google.com.hal 1
[10] Fasli jalal dan Dedi Supriyadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Yogyakarta:Adicita Karya Nusa, 2001) hal 200
[11] Dean Nielsen, Memetakan Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat di Indonesia (Yogyakarta:Adicita Karyanusa, 2001)hal 175-176
[12] Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya:Usaha Nasional, 1980)hal242
[13] A.S.Haris, Pengembangan Sekolah Melalui Partisipasi Masyarakat: Sebuah Kajian Operasional Tingkat Sekolah. (Seminar Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 19 Mei 2001.
[14] Ahmad Bahruddin, Pendidikan Aternatif;Qaryqh Thayyibah (Yogyakarta:Lkis, 2007)hal 277-278
[15] Badaruddin, Kepribadian Kiai Dalam Pondok Pesantren, Wacana, Vol V, No 1 (Maret 2005), 64
[16] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta :Direktorat Jendral Pembinaan kelembagaan agama Islam, 1986)123
[17] Dean nielsen, Memetakan konsep pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia, (Yogyakarta:Adicita Karya, 2001)53