Sabtu, 28 September 2013


DINAMIKA PERGURUAN TINGGI
(IAIN di persimpangan jalan)

Oleh :UMMI NAHDLIYAH

Muqaddimah
Pendidikan yang usianya adalah setua usia manusia merupakan satu elemen penting dalam kehidupan umat manusia, karena tanpa pendidikan manusia tidak akan berkembang menjadi lebih maju dan modern seperti saat ini. Sehingga pendidikan menjadi faktor determinan antara manusia satu dengan manusia lain, atau bahkan Negara satu dengan Negara yang lain. Hal ini dapat dilihat dari negara-negara yang benar-benar memperhatikan pendidikan terlebih perguruan tinggi sebagai prioritas utama dalam program pembangunan sehingga mereka pun menjadi negara maju dan modern yang terus bergerak meninggalkan jauh negara-negara yang hanya "setengah-setengah" dalam menangani pendidikan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Jaroslav Pelikan, bahwa a modern society is unthinkable without the university[1] yang berarti masyarakat modern tidak bisa terwujud tanpa adanya perguruan tinggi atau universitas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap bangsa yang ingin maju, mau modern dan hendak berkembang harus memiliki lembaga perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas manusia.
IAIN merupakan salah satu dari perguruan tinggi negeri yang pada dasarnya mempunyai peran yang sangat besar dalam memajukan bangsa. Memang, awalnya ia tidak didirikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan saja melainkan faktor agama, ideologi dan bahkan politik. Kekhasan IAIN dari sisi lain adalah, jika di PTU agama Islam sekedar menjadi salah satu mata kuliah, di lembaga ini ditetapkan sebagai fokus kajian utama. Meskipun demikian, IAIN menyandang status yang sama dengan lembaga pendidikan negeri lain, yakni perguruan tinggi negeri (PTN). Jenjang pendidikannya juga sama S1, S2 dan S3.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, perjalanan IAIN yang dipenuhi dengan berbagai macam problematika hendaknya tidak menjadikan kita pesimis terhadap perkembangan pendidikan Islam tetapi menjadi motivator bagi kita untuk berbuat lebih baik lagi. Oleh karenanya, membincang pendidikan Islam wabil khusus IAIN membutuhkan waktu yang panjang dan tidak boleh berhenti hanya sampai pada forum singkat ini. Berikut ini akan dibahas secara singkat tentang dinamika perguruan tinggi dengan IAIN sebagai fokus pembicaraan.

IAIN dalam sejarah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan perkembangan lebih lanjut dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang terletak di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, yang didirikan tanggal 1 Juni 1957. Dilihat dari segi usia ini, IAIN sebetulnya termasuk perguruan tinggi yang relatif cukup mapan di tanah air.[2]
Sebagaimana disinggung di atas, keinginan mendirikan perguruan tinggi Islam selain didasarkan pada pertimbangan edukasi dan dakwah, juga dilandaskan pada kepentingan ideologis. Cerminan yang paling jelas adalah pembentukan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pada 1950 di Yogyakarta oleh pemerintahan Soekarno. Lembaga ini dipandang sebagai "hadiah" kepada kelompok nasionalis-Islam setelah pemerintah "memberikan" UGM kepada kalangan nasionalis-sekular. Meskipun demikian, PTAIN bukanlah lembaga baru sama sekali, karena modalnya berasal dari pengambilalihan Fakultas Agama UII.
Kelompok Islam menjadikan PTAIN sebagai salah satu instrumen ideologis mereka. Di satu sisi ia dapat berfungsi sebagai tempat memproduksi ulama, di sisi lain bisa juga menjadi benteng pertahanan tradisi. Sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, PTAIN menjalankan peran konvensionalnya dengan kegiatan belajar mengajar serta penyebaran syiar agama. Akan tetapi, keberadaan perguruan tinggi itu sendiri ternyata juga berfungsi sebagai benteng ideologi masyarakat sekitar dari serangan ideologi lain. Atas dasar alasan itu pihak Depag memutuskan untuk menggandakan PTAIN menjadi puluhan fakultas dan disebar ke berbagai daerah. Kebijaksanaan ini sebagian dimaksudkan untuk membendung arus komunisme yang saat itu agresif merasuki berbagai wilayah.

Problematika IAIN
1.      Perekrutan mahasiswa
Seolah tak ada habisnya "mencerca" pendidikan di Indonesia. Hampir di setiap sudut wajahnya tak pernah ada baik-baiknya, tak terkecuali dengan perguruan tinggi dalam hal ini IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang saat ini sedang kita bahas.  Sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam yang sedang marak diperbincangkan akibat fenomena beralihnya ke UIN.
Tak dapat dipungkiri, secara empiris lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih dijadikan pilihan kedua (second class) oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Disamping karena kualitas akademiknya yang masih kurang juga karena out put yang dihasilkannya seringkali dipandang sebelah mata bila dibandingkan dengan alumni PTN yang lain. Hal ini tidak lain karena asumsi masyarakat terhadap IAIN sebagai lembaga dakwah Islam yang hanya bertugas mencetak modin dan muballigh.
Pada umumnya yang masuk pada pendidikan Islam, mereka hanyalah kelompok "residu" yang gagal memasuki persaingan di tingkat umum, atau mereka yang "terpaksa" daripada tidak kuliah. Meskipun bagi banyak kalangan muslim, utamanya orang Islam desa, lembaga seperti IAIN adalah sebuah lembaga pendidikan yang merupakan satu-satunya pilihan atau meminjam ungkapan Ihsan Ali Fauzi "the best offer you can get"[3]. Tentunya dengan input yang rendah dan pas-pasan semacam ini akan sulit untuk mencapai target yang dinginkannya, hingga pada akhirnya persoalan tersebut harus berkutat laksana lingkaran setan yang tidak pernah putus.
Meskipun IAIN menyandang status yang sama dengan perguruan tinggi negeri (PTN) dan jenjang pendidikannya juga sama S1-S2-S3, namun sistem rekrutmen mahasiswanya berbeda dari perguruan tinggi negeri, dimana pola SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang dipakai tidak diterapkan di IAIN. Oleh karenanya tak ada standar yang sama, kualifikasi akademik dan profesional IAIN menjadi sulit diukur. Itulah sebabnya lulusan IAIN, meskipun secara formal memiliki gelar sarjana, sering tidak diakui di pasaran.
2.      Pembelajaran di IAIN
Maksud didirikan IAIN antara lain untuk memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya, dalam pasal 2 peraturan presiden no. 11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN ditegaskan, IAIN bermaksud untuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Dengan mempertinggi taraf pendidikan dalam lapangan agama dan ilmu pengetahuan Islam adalah berarti mempertinggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerohanian (spiritual) dan ataupun dalam taraf intelektualismenya.
Dengan landasan tersebut IAIN diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban Islam terhadap tantangan zaman. Tetapi yang terjadi adalah para alumni IAIN belum mampu memberikan warna dan pengaruh keIslaman kepada masyarakat Islam secara keseluruhan.
Selain itu, sistem pendidikan dan perkuliahan yang berlangsung kebanyakan masih mengikut apa yang disebut Freire sebagai "the banking concept of education" (pendidikan ala bank), bukan "problem posing education" (pendidikan yang kritis).[4]
Dalam konsep pendidikan bank yang disinggung, mahasiswa lebih diorientasikan ke masa silam, ketimbang ke masa depan. Sikap sadar terhadap masa depan (futurisme) tidak menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar di IAIN.
Padahal hanya dengan sikap sadar terhadap masa depan itu, produk IAIN dapat lebih fungsional dalam masyarakat, khususnya dalam hubungannya dengan gagasan reaktualisasi atau revitalisasi Islam. Singkatnya, futurisme bertujuan untuk memperkuat kemampuan praktis produk IAIN untuk mengantisipasi dan mengadaptasi diri dengan perubahan, baik melalui penemuan, penjelasan atau pengalaman atau melalui resistansi dan akomodasi intelektual yang cerdas.
Karena proses belajar mengajar semacam inilah, mahasiswa tidak disiapkan untuk menghadapi tantangan modernisasi dan kebutuhan masyarakat yang kian kompleks. Sehingga tak sedikit alumni IAIN yang tidak mampu bersaing di tengah derasnya globalisasi. Selain itu, karena pembelajaran semacam inilah budaya kritis dari mahasiswa semakin tidak lagi mewarnai proses pembelajaran. Sehingga produksi dan reproduksi keilmuan & kajian keIslaman pun semakin sulit ditemukan.
3.      Lulusan IAIN
Pendidikan  itu kan yang penting dilihat bukan intended consequences-nya –seperti orang belajar ke ITB menjadi insinyur- melainkan, yang lebih penting adalah unintended consequences-nya : menjadi terpelajar. Kalau menjadi terpelajar, orang itu bisa menjadi apa saja. Gejala IAIN menjadi apa itu sama saja dengan fenomena orang-orang IPB (Institut Pertanian Bogor) yang banyak menjadi bankir. Itulah yang namanya disebut unintended consequences. Hal ini bisa menjadi semakin besar, bila aspek tradisi intelelektualnya tersentuh. Pada mula-mulanya kan orang-orang pergi ke IAIN ingin menjadi modin. Tapi, lama kelamaan, karena aspek intelektualnya tersentuh lalu mereka bisa menjadi apa saja. Itu pentingnya menjadi terpelajar.[5]
Demikianlah gambaran lulusan IAIN saat ini, telah digambarkan oleh cendekiawan Nurcholis Majid. Lulusan IAIN yang jumlah ribuan tentunya tidak semuanya dapat mengaplikasikan keilmuan yang didapatnya sesuai dengan bidangnya yakni profesi yang terkait dengan bidang keagamaan. Bahkan tidak sedikit lulusan IAIN bekerja di bidang yang sama sekali bertolak belakang dengan keilmuan yang diperolehnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Nurcholis Majid "menjadi terpelajar" alias bisa apa saja. Tetapi sudahkah, lulusan IAIN dibekali dengan keilmuan sehingga menjadi lulusan yang bisa apa saja?
4.      Pengembangan IAIN menjadi UIN
Gagasan dan konsep tentang pengembangan IAIN menjadi UIN bertitiktolak dari beberapa masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Beberapa masalah pokok itu adalah sebagai berikut.[6]
Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akdemik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secra keseluruhan. Di anatara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua, kurikulum IAIN belum mampu meresponi perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialisasi IAIN kurang mengalami interaksi dan reapproachment dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis.
Berdasarkan latar belakang pokok itu, pengembangan IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) mempunyai alasan yang cukup kuat sehingga saat ini sudah kita temukan beberapa IAIN yang sudah beralih kelembagaan menjadi UIN.
Beralihnya IAIN ke UIN pun nampaknya menuai pro kontra antara pihak modernis dan tradisionalis. Golongan tradisionalis beranggapan bahwa IAIN harus tetap dipertahankan sebagai wadah untuk mengembangkan khazanah keIslaman dengan kajian-kajian keIslamannya yang telah ada dan menjadi ciri khasnya selama ini sedangkan golongan modernis berpendapat bahwa sudah saatnya IAIN beralih ke UIN memasukkan materi-materi ilmu umum menjadi bidang kajiannya sehingga IAIN tidak lagi menjadi spesialiasasi kajian keagamaan.
Penutup
Berbagai problematika yang muncul berkenaan dengan perguruan tinggi dalam hal ini IAIN menuntut kita untuk terus berpikir dan berupaya agar mampu menemukan formula yang tepat guna perkembangan lembaga pendidikan Islam yang sampai detik ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat. Apalagi lulusan IAIN yang jumlahnya tak dapat dihitung dengan jari adalah potensi besar yang sayang untuk disia-siakan. Memang, segala sesuatu itu jika banyak maka akan menjadi murah. Demikian pula "saking" banyaknya lulusan IAIN, maka hampir tak ada yang mencarinya. Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi kita yang "terpelajar" ini untuk terus berijtihad sehingga IAIN sekarang bisa berubah berubah lebih baik dan mampu mencetak anak bangsa yang handal dan terpelajar. Percayalah, bersama kita bisa. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

Isna, Mansur.  Diskursus Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam.  Problem & Prospek IAIN; Antologi Pendidikan Tinggi Islam.  Departemen Agama RI, 2000.
Azra, Azyumardi.  Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru.  Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Wahono, Frsancis. Kapitalisme Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Tilaar, H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta, 2002


[1] Jaroslav Pelikan, The Idea of The University: A Reexamination (New Haven: University Press, 1992), 13 dalam Diskursus Pendidikan Islam, 3
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), 159
[3] Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam.  Problem & Prospek IAIN; Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Departemen Agama RI, 2000), 337
[4] Pendidikan Islam, 163
[5] Nur Cholis Madjid, Wawancara dalam Problem dan Prospek IAIN, 342
[6] Problem & Prospek IAIN, 13