Jumat, 27 April 2012

KAPITALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN


KAPITALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
(Antara Kompetisi dan Keadilan)
Oleh: Umi Rosyidah/FO.340618
A. Pendahuluan
Sesuai dengan sifatnya yang tidak pernah berakhir dari sisi proses (never ending process), pendidikan itu mempunyai banyak faset untuk ditelaah. Pendidikan memang muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Menurut Paulo Freire pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan.[1] Pada dasarnya pendidikan memang diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup.
Selain itu pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja.[2] Sementara bagi paham lain, pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk menciptakan keadilan sosial.
            Melihat begitu pentingnya makna dari pendidikan bagi umat manusia, maka banyak peradaban manusia yang “mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan. Sebagaimana peradaban kita sebagai umat Islam, yang selalu menanamkan kewajiban dalam menuntut ilmu, seperti “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina” atau “tuntutlah ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat”, sebagaimana sebuah hadist yang berbunyi:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim, baik laki-laki ataupun perempuan”.
            Begitupula dengan peradaban negara kita tercinta, Indonesia. Setiap tanggal 2 Mei di Seantero Nusantara, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, semua ini tidak lain adalah untuk mempertahankan dan menjaga keberlangsungan pendidikan di Indonesia, dan juga seakan-akan negara kita ingin menegaskan bahwa pendidikan benar-benar modal buat membangun dan mengembangkan negeri ini.
            Tapi apa lacur, dan apa mau dikata, ternyata yang terlihat dilapangan sungguh berbeda, bahkan ironis. Kondisi dunia pendidikan kita amatlah memprihatinkan dan semakin jauh dari cita-cita yang idealnya, yaitu sebagai wahana pembebasan manusia dan memanusiakan manusia.
            Apalagi dewasa ini, kita tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas, yang dikenal sebagai zaman globalisasi, maka tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan sedang terancam dengan adanya sebagian manusia yang menyatakan bahwa dunia pendidikan dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapat keuntungan.
Sehingga di zaman globalisasi ini pendidikan pun mulai terkesan dengan “mahalnya biaya sekolah”. Dengan demikian pendidikan semakin tidak terjangkau bagi rakyat miskin bahkan mungkin menjadi momok (sesuatu yang ditakuti) untuk kalangan mereka dengan mahalnya dunia pendidikan.

B. Pembahasan

1. Pengertian Kapitalisme
            Secara etimologis, kapitalisme berasal dari bahasa latin “Caput” (kata benda) dan “Capitalis” (kata sifat) yang berarti “kepala” atau “yang berkaitan dengan kepala”. Dalam kaitan dengan kata ini, kapitalisme berarti usaha untuk mempertahankan kepala, kehidupan, dan kesejahteraan.[3] Secara terminologis, kapitalisme dipakai untuk menamai sistem ekonomi yang mendominasi dunia Barat sejak runtuhnya feodalisme.
            Sebagai sebuah sistem, kapitalisme terkait dengan hubungan antara pemilik pribadi atas alat produksi seperti tanah dan instalasi industri, yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital dan para pekerja yang tidak mempunyai modal.
            Max Weber (1867-1920), peletak dasar sosiologi modern dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism mendefinisikan “kapitalisme sebagai hadirnya industri bagi kebutuhan kelompok manusia yang dilaksanakan dengan metode perusahaan yang dikelola secara rasional”,[4] seperti adanya neraca modal.  Weber menggunakan semangat kapitalisme untuk menggambarkan sikap mental yang selalu berusaha mencari keuntungan secara rasional dan sistematis.
            Kapitalisme sebagai sistem baru telah berkembang sejak zaman kuno, dan selalu mengalami masa kemajuan dan masa kemerosotan. Karena kapitalisme merupakan suatu sistem yang terus mengalami perkembangan dalam upaya eksistensi dirinya, kapitalisme mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda pada setiap zamannya. Secara umum ciri-ciri kapitalisme dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kapitalisme klasik dan kapitalisme modern.
            Nicholas Abercrombi (dosen sosiologi University of Lancaster) mengemukakan ciri-ciri kapitalisme dalam bentuknya yang murni sebagai berikut: 1. Pemilikan dan kontrol atas instrument produksi, 2. Kegiatan ekonomi diarahkan bagi pembentukan laba (profit), 3. Tersedianya sistem pasar yang mengatur semua kegiatan, 4. Perolehan laba oleh pemilik modal, dan 5. Penyediaan tenaga kerja oleh buruh yang bertindak sebagai agen bebas.
Adapun ciri kapitalisme modern menurut Meghnad Desai (guru besar London School of Economics) adalah: 1. Produk untuk dijual, bukan untuk dikonsumsi sendiri, 2. Pasar, tempat tenaga kerja dibeli dan dijual dengan alat tukar upah melalui hubungan kontrak, 3. Uang, yang digunakan dalam tukar menukar, 4. Proses produksi atau proses kerja, 5. Pengambilan keputusan di tangan pemilik modal, 6. Persaingan bebas di antara pemilik kapital.

2. Sekolah dan Perusahaan
Dengan bertahan dan semakin berkembangnya kapitalisme, ternyata kapitalisme tidak hanya berkembang di dunia industri dan perusahaan, melainkan perkembangan kapitalisme juga sudah mulai berkembang di dunia pendidikan.
Masuk dan berkembangnya kapitalisme di dunia pendidikan ditandai dengan semakin maraknya pembangunan sekolah-sekolah swasta dengan memberlakukan perilaku pasar bebas dan dunia bisnis di dunia pendidikan (sekolah).
Maraknya pasar bebas didunia pendidikan, dilandasi pada suatu ideologi yang berangkat dari kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”.[5] Kompetisi Pasar Bebas merupakan suatu kompetisi yang agresif akibat dari terjaganya mekanisme pasar bebas. Kesemua keyakinan ini berangkat dari suatu pendirian bahwa “pasar bebas” itu efisien, dan pasar bebas diyakini sebagai cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam yang langka, demi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pasar bebas dan bisnis yang berlaku di sekolah-sekolah semakin berkembang pesat, dengan banyaknya program baru yang semakin menekan dan melumpuhkan orang tua sebagai wali murid dalam membiayai sekolah anaknya.
Program sekolah itu berupa seperti adanya pengadaan kaos olah raga, study tour, daftar ulang, perubahan warna baju seragam sekolah setiap tahunnya, gantinya terbitan buku pelajaran setiap semester dan lain sebagainya, yang semua itu dikoordinir oleh pihak sekolah.[6]
Program tersebut dilandasi atas alasan untuk meningkatkan kualitas anak didik dan untuk mempermudah jalannya sitem pendidikan di sekolah, tapi dibalik itu semua terdapat adanya dunia bisnis, dimana seorang guru dan lembaga berfungsi sebagai birokrasi perusahaan dengan mendapatkan keuntungan yang besar.
Semua praktisi bisnis di sekolah itu berjalan lancar karena kolusi antara pengusaha (industri wisata, penerbitan, tekstil, asuransi, sepatu dan lain sebaginya) dengan penguasa maupun pelaksana pendidikan,[7] yang mana pastinya mereka mendapat keuntungan yang sangat besar dari praktisi bisnis tersebut.
 Lain halnya dengan masyarakat yang menjadi korban, dengan adanya program-program tersebut, mereka semakin terlumpuhkan dan tertekan dengan biaya sekolah. Sehingga mereka selalu dihantui rasa takut dengan biaya sekolah yang mahal dan keputus-asaan dalam menuntut ilmu.
Dengan adanya buku pelajaran yang selalu berganti setiap tahunnya atau terkadang setiap semester, maka buku-buku tersebut tidak dapat diwariskan kepada adiknya atau tetangga yang membutuhkan, begitupula dengan seragam sekolah. Padahal jika tidak ada beberapa program tersebut, para orang tua dapat menghemat biaya pendidikan, dan dapat menyekolahkan anaknya sampai selesai sehingga akan semakin berkurang data anak yang putus sekolah (drop-out).
Dari beberapa program sekolah diatas, betapa program sekolah telah turut menyumbang terjadinya proses “Pemiskinan” dan “Pembodohan” di masyarakat, karena semakin banyaknya anak didik yang tidak dapat menyelesaikan program study mereka sampai selesai, dikarenakan biaya sekolah yang mahal dan hanya dapat dijangkau oleh mereka yang ekonominya terjangkau.

3. Faktor Penyebab Kapitalisme dan Komersialisme Pendidikan
a. Kesalahan Paradigma dan pendekatan
Berkembangnya kapitalisme pendidikan di sekolah adalah dampak dari zaman globalisasi dan juga dampak dari kesalahan Paradigma dan Pendekatan. Kesalahan ini merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda dan oleh pemerintah orde baru sampai kini masih dilanjutkan tanpa sadar.
Kesalahan paradigma tersebut adalah menanamkan paradima “kompetisi” dalam pendidikan, dan bukan paradigma “keadilan sosial” yang seharusnya ditanamkan pada masyarakat. Sekilas paradigma itu adalah wajar-wajar saja, tetapi begitu diteliti lebih jeli, kompetisi dalam orde baru adalah kamuflase dari mempertahankan status-quo ekonomi-sosial yang sangat timpang. [8]
Sebagai contohnya adalah pembedaan alokasi subsidi yang bias pada sekolah-sekolah negri top dan di ibu kota yang menganaktirikan sekolah-sekolah negri bawahan dan jauh dari pusat, atau di kabupaten pelosok tanah air.
Contoh lain adalah pembedaan perlakuan antara sekolah-sekolah yang dikelola oleh Negara dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta. Biasanya yang dikelola oleh Negara adalah anak emas dan yang dikelola oleh swasta adalah anak tiri. Pembedaan ini adalah pembedaan sistematis, artinya untuk maksud tujuan politik ekonomi tertentu.
Paradigma “kompetisi” lebih mengimplikasikan pendekatan kapitalis liberalis-di Indonesia ditambah dengan ajektif “feodal”-“sumber daya manusia”.[9]. Pendekatan “sumber daya manusia” mengandaikan investasi dalam bentuk uang maupun tenaga kerja, dimana manusia disama-ratakan dengan barang. Pendekatan ini dibesarkan oleh pemikir ekonom klasik pengenai “pertumbuhan ekonomi”.

b. Beratnya tanggungan dan seriusnya ketimpangan ekonomi sosial bangsa
Dari kesalahan paradigma dan pendekatan yang menyebabkan adanya pembedaan dan perhatian pemerintah dalam hal alokasi subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, membuat sekolah-sekolah swasta kekurangan dana dalam pengembangan pendidikan, khususnya menghadapi zaman globalisasi ini.
Maka dalam melengkapi fasilitas sekolah agar tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan, dan untuk menggaji para guru, pihak sekolah menarik uang SPP yang tidak sedikit dan lebih mahal dari sekolah negeri, selain itu juga masih ada dana potongan yang dibebankan kepada orang tua murid, seperti biaya ujian, uang rapor, uang ijazah, perayaan hari besar, uang UKS, OSIS, dan lain sebagainya.[10]
Dengan beratnya tanggungan ekonomi sosial pendidikan ini mengakibatkan ketimpangan ekonomi sosial bagi guru/dosen di satu pihak, tetapi juga bagi peserta didik dan keluarganya di lain pihak, sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat penyelesaian atau pelulusan peserta didik, yakni sepertiga dari jumlah pendaftar.
Dengan kata lain drop-out atau putus sekolah sebelum waktunya merupakan dampak dari beratnya tanggungan dan ketimpangan ekonomi sosial, sehingga semakin banyak anak didik yang tidak mendapatkan hak-hak mereka dalam dunia pendidikan.

4. Tata Pendidikan Berkeadilan Sosial
Pendidikan adalah kebutuhan dasar (basic need) hidup manusia.[11] Pendidikan juga merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia, tapi kenyataan yang terjadi pendidikan dan pengajaran di dalam paradigma neokolonial Indonesia selama ini hanya diajukan demi fungsinya terhadap kebutuhan penguasa, tidak demi masyarakat.
Maka sudah saatnya kita merubah paradigma pendidikan yang selama ini keliru. Paradigma pendidikan yang seharusnya ditanamkan adalah paradigma “keadilan sosial”, yang direkomendasi oleh Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 27. yang pertama menjadikan “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang kedua menjamin “hak memperoleh pendidikan untuk semua”.[12]
Paradigma “kedilan sosial” menuntut dijadikannya dasar membangun sistem persekolahan maupun pendidikan masyarakat luas usaha-usaha secara preferensial untuk mensubsidi peserta didik yang tertinggal secara ekonomi sosial. Subsidi tidak hanya berupa materi termasuk uang, tetapi berupa juga pendampingan ekstra. Maksudnya, agar beban ekonomi sosial tidak menjadi kendala untuk mengembangkan kepandaian otak dan keluhuran watak.
Dalam paradigma “Kompetisi”, menggunakan pendekatan “sumber daya manusia”. Lain halnya dengan paradigma “kedilan sosial”, menggunakan pendekatan “pemberdayaan manusia”. Pendekatan ini menempatkan manusia sebagai manusia. Manusia tidak disejajarkan dengan barang. Manusia merupakan makhluk otonom yang merdeka, mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan direalisasikan.
Mekanisme paradigma “keadilan sosial” adalah “penetasan kemakmuran”. Argumentasinya asal ada pertumbuhan, perataan, atau distribusi berjalan dengan sendirinya. Pendidikan yang berkeadilan ini akan terlaksana bilamana kita semua serius mentransformasikan pendidikan menuju ke pendidikan yang menempatkan  manusia sebagai manusia.[13]
Jika paradigma ini terlaksana, maka tidak akan ada lagi beratnya tanggungan dalam dunia pendidikan  dan ketimpangan ekonomi sosial bangsa. Dengan paradigma “keadilan sosial” semua anak didik akan mendapatkan haknya dalam menuntut ilmu, dan kemungkinan besar akan terjadinya pengurangan dalam jumlah anak didik yang putus sekolah.
Selain itu para pendidik atau guru juga akan mendapatkan kesejahteraan yang semestinya dan yang memang sudah seharusnya mereka terima sebagai para pendidik. Sebagaimana pernyataan KH. Syukri Zarkasyi bahwa agar pendidikan dapat berjalan secara efektif, efisien dan tetap survive khususnya di zaman globalisasi ini maka kesejahteraan guru harus sangat diperhatikan.[14] Mengingat mereka adalah orang-orang yang mencerdaskan kaderisasi bangsa.
Dengan adanya paradigma keadilan dalam dunia pendidikan, baik dalam hal subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, diharapkan tidak ada lagi kesan “sekolah mahal” dan sekolah hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berekonomi tinggi, tapi semua manusia dapat mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan.

C. Penutup
Pendidikan adalah wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja. Pendidikan juga diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk menciptakan keadilan sosial.
Akan tetapi dalam praktik pendidikan selama ini bukannya mencerdaskan, malah sebaliknya, pendidikan dijadikan arena pembodohan saja, dan sumbangan dalam program meningkatkan pemiskinan masyarakat. Lebih tepat lagi pendidikan justru menjadi belenggu tersendiri bagi masyarakat.
Semua hal tersebut karena paradigma yang salah selama orde baru, yaitu paradigma “kompetisi” dengan pendekatan “Sumber Daya Manusia”. Dalam paradigma ini, dunia pendidikan lebih mempertahankan  status-quo ekonomi-sosial yang sangat timpang.
Paradigma “Kompetisi” mengakibatkan mahalnya sekolah, karena ketidak adilan pemerintah dalam pemberian subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sehingga menyebabkan rendahnya gaji guru.
Maka tidak heran ketika kapitalisme berkembang di dunia pendidikan. Para pelaku pendidikan juga turut memiliki otak komersil dan turut mengembangkan pasar bebas di sekolah mereka. Hal ini mereka lakukan demi menjaga mutu sekolah dan mempertahankan biaya hidup mereka, karena berlakunya pasar bebas di dunia pendidikan membawa keuntungan yang besar bagi mereka.
Maka paradigma yang seharusnya ditanamkan adalah “keadilan sosial”, dengan harapan agar tercapainya tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Dengan paradigma keadilan sosial diharapkan akan adanya pemerataan dalam dunia pendidikan, sehingga semua anak bisa mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan. Dengan demikian visi sosial dalam pendidikan akan terkedepankan, dan bukan visi ekonominya.


Daftar Pustaka

Wahono, Francis, Kapitalisme Pendidikan Antara kompetisi dan keadilan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Yunus, Firdaus M, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2005.
Irawan, Ade, Mendagangkan Sekolah, Jakarta: Yayasan Tifa, 2004.
Redwood, John, terj. Kapitalisme Rakyat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Topatimasang, Roem, Sekolah itu Candu, Yogyakarta: Pustaka Peljar, 2003.
Soros, George, terj. Krisis Kapitalisme Global, Yogyakarta: Penerbit Kalam, 2001.
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LKis, 2007.
Armando, Nina M., Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.



[1] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hal 1.
[2] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan keadilan, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), hal 2.
[3] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal 52.
[4] Ibid., 53.
[5] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 2.
[6] Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hal 229.
[7] Ibid., 250.
[8]Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 86.
[9] Ibid., 89.
[10] Ade Irawan, dkk, Mendagangkan sekolah, (Jakarta: Yayasan Tifa, 2004), hal 96.
[11] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hal 7.
[12] Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 87.
[13] Ibid., 107.
[14] Syukri Zarkasyi,” Pengembangan Pendidikan Pondok Pesantren di Era Otonomi Pendidikan: Pengalaman Pondok Modern Darusslam Gontor”, (disertasi: UIN Syarif Hidyatullah, 2005), 29.

Kamis, 26 April 2012

SENSITIVITAS GENDER DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM

Pendahuluan
Isu kesetaraan gender dalam proses pendidikan Islam menjadi bahasan yang sangat penting, sebab isu ketidakadilan gender yang selalu berpijak pada persoalan hegemoni kekuasaan jenis kelamin yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kekuasaan, ataupun lingkungan, tetapi agama pun juga ikut menjustifikasi hal tersebut. hal itu disebabkan karena isu gender lahir dari bias makna yang ditimbulkan oleh perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, bias makna tersebut mempengaruhi relasi sosial antara dua jenis kelamin, melalui proses kultural dan perilaku sosial yang sangat panjang. Perbedaan biologis yang permanen ini melahirkan sebuah konstruksi perbedaan relasi gender yang bersifat hegemonik, itu dikukuhkan dan diproduksi secara konsisten melalui pengalaman sadar maupun bawah sadar. Pada proses akhir konstruksi pola relasi itu sudah berubah menjadi bentuk hegemoni kekuasaan maskulin terhadap feminin yang melahirkan anomali sosial.[1] Hegemoni jenis kelamin tersebut lebih banyak bekerja membius supra struktur (ide, keyakinan, pandangan) masyarakat. Di sinipun lembaga pendidikan memiliki peluang yang sangat lebar untuk menjadi bagian dari perangkat hegemoni sistem nilai gender.
Permasalahan sebetulnya bukanlah terletak pada “kaum perempuan”, tetapi di dalam ideologi, sistem, struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender (gender inequalities). Oleh karena itu yang menjadi setiap tujuan kegiatan atau program perempuan bukanlah sekedar menjawab “kebutuhan praktis” atau mengubah kondisi kaum perempuan, tapi juga menjawab kebutuhan strategis[2], dalam arti memperjuangkan perubahan posisi perempuan termasuk menentang hegemoni dan melawan ideologi ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dalam keyakinan kaum laki-laki atau perempuan.
Proses pendidikan Islam selama ini cenderung mengedepankan verbalisme. Eksplorasi yang seharusnya menjadi ciri utama pendidikan menjadi terabaikan, akibatnya anak didik terkungkung dalam budaya bisu[3], lebih tragis lagi anak didik dipandang berdasarkan identitas jenis kelamin, dalam hal ini perempuan yang menjadi sasaran hegemoni. Jika demikian, sensitivitas gender sama sekali belum ada, maka kita tidak dapat menyalahkan atau menghakimi sebetulnya yang tidak sensitif gender itu apakah berasal dari faktor guru atau memang dari tujuan, metode, materi, lingkungan atau faktor lain yang sudah dikonstruk sedemikian rupa hingga seorang guru memang harus berlaku demikian. Ditambah pula banyak sekali teks-teks agama yang dijadikan sebagai alat legitimasi untuk sebuah penafsiran yang sama sekali bias gender, demikian inilah yang oleh para praktisi pendidikan dijadikan rujukan tanpa melakukan kajian kritis terlebih dahulu.
Fenomena ini bisa terjadi dalam proses pendidikan Islam secara terus menerus ketika belum ada usaha untuk merubahnya. Budaya patriarkhi yang begitu lama mengakar dalam masyarakat merupakan sebuah kendala dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merombaknya secara bertahap. Proses pendidikan Islam harus diteliti dan dikaji ulang, baik dari aspek tujuan, metode, materi atau yang lainya (elemen proses pendidikan) yang selama ini masih sangat kelihatan bias gendernya.

Makna Gender
Kata “gender” seringkali dimaknai salah dengan pengertian ‘jenis kelamin’, seperti halnya seks. Sebetulnya arti ini kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan seks yang berarti jenis kelamin, setidak-tidaknya ketidakjelasan dari makna tersebut ada penyebabnya. Kalau dilihat di dalam kamus[4], tidak secara jelas dibedakan pengertian seks dan gender, kata ini termasuk kosakata baru sehingga pengertiannya belum ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia, meskipun demikian istilah tersebut sudah lazim digunakan.
Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi masalah adalah terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya dalam masyarakat, dimana apa yang sesungguhnya disebut gender, justru dianggap sebagai kodrat, semakin parah lagi hal ini sering dinamakan sebagai “kodrat wanita”. Keadaan seperti inilah yang seharusnya dihapus dengan melakukan pembenaran persepsi tentang seks dan gender.
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia yang dikutip oleh Nasaruddin Umar dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran perilaku mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[5] Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: An Introduction mengungkapkan bahwa gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women and men).[6] Pendapat ini menurut Nasaruddin sejalan dengan pendapat kaum feminis. Elaine Shorwalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya.[7] Ia menekankannya sebagai konsep analisis (an analitic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. H.T Wilson yang mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Karena itu Nasaruddin Umar mengatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya; suatu bentuk rekayasa masyarakat (sosial constructions)[8], bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki ataupun perempuan yang dibentuk oleh lingkungan dan kondisi sosial-budaya. Misal, perempuan dikenal lemah lembut, emosional, dan lemah. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat dipertukarkan, artinya ciri dan sifat-sifat tersebut dapat berubah dan terjadi dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, dan dari satu kelas ke kelas lain.
Gender differences (perbedaan gender) antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedan gender dikarenakan oleh berbagai hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi, dan perbedaan-perbedaan gender dianggap dan difahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Sebaliknya sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya mempengaruhi konstruksi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, sifat gender kaum laki-laki harus kuat dan agresif, sehingga konstruksi sosial itu membuat laki-laki terlatih dan termotifasi menuju serta mempertahankan ke-sifat yang ditentukan tersebut, akhirnya memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar, sebaliknya konstruk sosial bahwa kaum perempuan harus lemah lembut. Maka sejak bayi sosialisasi tersebut mempengaruhi perkembangan emosi, visi, idiologi serta perkembangan fisik dan biologis mereka, karena proses sosialisasi yang berjalan secara mapan akhirnya sulit dibedakan apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau kodrat biologis.
Perbedan gender yang kemudian melahirkan peran gender sebetulnya tidak menjadi masalah, tetapi persoalanya adalah:
Pertama, karena konstruksi sosial (gender) dianggap sebagai kodrat, akibatnya gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir, bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut, pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan perbedaan biologis itu dianggap ketentuan Tuhan. Masyarakat sebagai suatu kelompok yang menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, keyakinan pembagian itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya penuh dengan proses negosiasi, resistensi, maupun dominasi. Lama kelamaan pembagian keyakinan gender tersebut dianggap sebagai alamiah, normal, dan kodrat. Karenanya, diantara bangsa-bangsa dalam kurun waktu yang berbeda pembagian gender tersebut berbeda-beda.
Kedua, Perbedaan gender tersebut ternyata mengantarkan pada ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan yang dilahirkan oleh perbedaan gender inilah yang sesungguhnya sedang digugat, ternyata dalam sejarah perkembangan hubungan yang tidak adil adalah menindas, mendominasi antara kedua jenis kelamin tersebut. Bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini adalah dalam mempersepsi, memberi nilai serta dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan.
Ketidakadilan gender (gender inequalites), sebagaimana telah dibahas sebelumnya, disebabkan oleh keyakinan bahwa kontruksi sosial disamakan dengan kodrat. Konstruksi sosial menjadi sebuah determinan yang tidak dapat diubah ubah, padahal konstruksi ini semacam anggapan kuat yang melahirkan perilaku-perilaku tertentu dalam masyarakat kemudian diyakini dan dijalankan sebagai tradisi yang tidak dapat dipertukarkan lagi pada wilayah jenis kelamin. Seperti laki-laki yang dianggap lebih superior dari perempuan, sehingga dalam wilayah publik, laki-laki berhak mendapat porsi lebih dari pada perempuan, adanya pembagian pekerjaan yang didasarkan pada jenis kelamin yang tentunya memposisikan perempuan sebagai kaum marginal. Keyakinan seperti ini kemudian secara turun temurun disosialisasikan dari generasi ke generasi berikutnya yang mengakibatkan adanya kesamaan pandangan dan persepsi konstruksi sosial merupakan kodrat dari Tuhan.

Pendidikan dalam Perspektif Gender

Pendidikan secara garis  besar   dipengaruhi     oleh   dua   pandangan     yang    diametral  bertentangan, pandangan konservatif dan pandangan progresif. Paradigma pendidikan  konservatif bukan hanya berbeda, tetapi bertentangan dengan paradigma pendidikan progresif. Pendidikan konservatif berpusat pada tujuan hanya mentransformasikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, sebagai bentuk pewarisan tradisi. Karena tingginya semangat memelihara   tradisi,   maka   tertutup   terhadap   perubahan,   bahkan   anti   ilmu pengetahuan. Sedang pendidikan progresif bertujuan mengembangkan kekuatan pribadi atau kompetensi peserta didik. Dalam arti luas dan dalam jangka panjang pendidikan harus  menciptakan budaya baru, yaitu budaya  terbuka   terhadap perkembangan, selalu  tertantang   untuk menemukan  yang  baru   dan   tak   segan   untuk   meninggalkan   tradisi  terutama     yang   bertentangan     dengan    kemanusiaan.      Itulah  budaya     cerdas,    seperti  diamanatkan UUD 1945. Maka tujuan umum pendidikan Indonesia adalah mencerdaskan  kehidupan bangsa sejak dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini dalam UUD 1945. Pendidikan      dalam    paradigma      progresif   adalah    pendidikan     yang   sejalan    dengan perjuangan   gerakan   gender.   Ketidakadilan  gender,   adalah   budaya   yang   dikukuhkan  dalam     tradisi  patriarki, tertutup terhadap perubahan, memelihara hegemoni dan  dominasi   laki-laki   terhadap   perempuan. Maka   Pendidikan   dalam   Persfektif Gender  adalah pendidikan beridiologi progresif. Pendidikan      konservatif    adalah   pewarisan    tradisi   dan   hapalan    ilmu   pengetahuan. Caranya   dengan   murid   belajar,   guru   mengajar,   melatih,   membimbing   dan   mendidik  murid   untuk   setia   pada   tradisi   dan   hapalan   sebanyak-banyaknya   ilmu   pengetahuan.  (Pengertian pendidikan UU Sisdiknas pasal 1 (1) UU Sisdiknas 1989).

Kilas Balik Ketidakadilan Gender Dalam Proses Pendidikan Islam
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Islam sebagai suatu ajaran dan doktrin keagamaan, diyakini oleh pemeluknya sebagai satu-satunya pemegang otoritas dalam pemberian garansi keselamatan setelah kehidupan manusia usai atau di akhirat kelak. Islam juga dijalankan tidak hanya dalam urusan peribadatan melainkan dalam urusan interaksi kemanusiaan yang pada akhirnya merambah wilayah sosial, budaya dan seluruh sendi kehidupan masyarakat lainnya, begitu juga dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, pada aspek pendidikan, Islam juga ikut mempengaruhi dan memberi panduan berupa norma yang diamalkan oleh pemeluknya sehari-hari. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah pendidikan Islam ikut melestarikan ketidakadilan gender tersebut.
Di dalam proses pendidikan Islam selama ini terlihat adanya pembedaan ruang antara laki-laki dan perempuan, ataupun jika dikumpulkan di dalam satu ruangan pun, pasti kebanyakan murid laki-laki-lah yang berada di depan, sedangkan perempuan menempati tempat duduk di belakang murid laki-laki. Di sini terlihat bahwa pola kekuasaan dan status berpengaruh secara universal di dalam masyarakat, bahkan di dalam dunia pendidikan yang nota bene seharusnya menjadi media tranformasi pengetahuan dan perempuan kebanyakan sudah minder terlebih dahulu karena tidak diberi kesempatan lebih awal, sehingga pada proses hafalannya mereka sering tidak memperoleh hasil sebagaimana siswa laki-laki. Meskipun kalau diberi kesempatan yang seimbang, siswa perempuan bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih cemerlang. Seperti metode Enquiry dan Discovery, yang menekankan pada minat dan bakat dalam proses pendidikan Islam dapat menimbulkan kontroversi karena dapat memicu ketidakadilan gender. Sebab, bila dicermati, metode itu mempunyai potensi untuk melakukan pembedaan secara khusus terhadap minat dan bakat siswa laki-laki dan perempuan. Pada metode uswatun hasanah, bila guru tidak peka dalam memberikan suri tauladan, maka akan menjebak murid untuk menerima perilaku guru tanpa ada penyaringan dari murid. Termasuk perilaku yang sangat dapat menimbulkan bias gender adalah guru perempuan yang menerangkan secara lemah lembut. Perilaku lemah lembut guru perempuan di sini, bisa saja tidak dipahami sebagai proses membimbing melainkan karena memang sudah menjadi kodrat wanita untuk berperilaku lemah lembut. Sehingga tak jarang kebanyakan murid laki-laki suka diajar oleh guru perempuan. Pemberian hukuman pada siswa juga bias jadi menimbulkan bias apabila dalam memberi hadiah dan memberi hukuman ada pembedaan antara laki-dan perempuan. Lalu pada metode yang berdasarkan pada conditioning bisa menjadikan adanya bias gender sebab alat peraga yang dipergunakan dalam kelas biasanya rawan untuk membedakan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Misalnya para siswi biasanya disuruh menyapu atau ditampilkan untuk memperagakan bagaimana menyapu lantai, sedangkan para siswa laki-laki disuruh melakukan hal-hal yang menunjukkan keperkasaan, seperti mencangkul rumput dan sebagainya.
Tidak hanya di dalam tujuan dan metode, materi dalam proses pendidikan Islam juga mengalami bias gender. Materi dalam proses pendidikan Islam harus didudukkan sebagai bahan kurikulum dalam pendidikan Islam yang bersumber dari teks agama dan pemahaman terhadap teks tersebut. Teks sebagai sumber materi dapat diambil melalui al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama. Sedangkan pemahaman terhadap teks dapat dilihat dalam dalam buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Buku-buku ini merupakan buah karya para pemikir Islam, biasanya disebut dengan kitab kuning. Al-Qur’an, sebagai sumber paling utama teks dalam Islam menurut Nasaruddin Umar sebenarnya sangat sensitif gender, apabila melihat tentang subtansi kejadian manusia, bahwa awal pembentukan manusia dalam derajat manusia sama. Lalu dari segi pengabdian/derajat dalam Al Qur’an diukur bukan dengan jenis kelamin melainkan melalui tingkat ketaqwaan manusia kepada Allah. Dan dari sisi kemanusiaan, Al Qur’an memposisikan manusia dalam bentuk dan derajat yang paling mulia. Dari kajian itu dapat disimpulkan bahwa Islam sejak awal berusaha menghapus ketidakadilan gender.
Namun persoalan muncul ketika interpretasi terhadap teks justru menjauhkan dari realitas ini. Bias gender dalam materi pendidikan Islam biasanya tampil melalui pemahaman terhadap teks awal (al-Qur’an). Sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan atau ulasam materi yang ada pada kitab kuning. Salah satu contoh konsep hukum kekeluargaan (al ahwal as syahsyiyah), seperti fiqih perkawinan (munakahat), yang memberikan hak-hak suami jauh lebih besar dibanding hak-hak perempuan, fiqh waris (al mawaris) yang memberikan porsi lebih besar kepada laki-laki sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ ayat 176 ,   
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

dan fiqh politik (al siyasah) yang membatasi hak-hak perempuan untuk berkarir di dunia politik. Karya-karya ulama fiqh dinilai oleh para feminis sudah tidak relevan lagi, karena masyarakat sedemikian jauh telah berubah.[9] Karena itu terlihat jelas bahwa kebanyakan dari materi pendidikan Islam adalah materi yang mengandung banyak unsur bias gendernya. Ini disebabkan karena penafsiran-penafsiran oleh para cendekiawan Islam terdahulu terhadap teks-teks Al Qur’an masih banyak yang mengandung bias gender dan karya-karya mereka pada masa selanjutnya ternyata masih tetap dijadikan referensi utama dalam membuat materi pendidikan Islam tanpa mengadakan revisi ulang sesuai dengan perkembangan zaman. Karena itu harus ada perubahan materi pendidikan Islam yang sama sekali tidak bias gender, dan tidak terpaku pada karya-karya klasik para cendekiawan  terdahulu yang masih bias gender

Membuka Ruang Keadilan Gender dalam Proses Pendidikan Islam
Ketidaksensitivan gender dalam pendidikan Islam bukan dikarenakan substansi ajaran Islam, melainkan adanya penafsiran yang keliru dalam memahami sebuah sumber asli ajaran Islam. Islam adalah ajaran agama yang menggunakan prinsip-prinsip universal, seperti keadilan dan persaudaraan. Pada masa permulaan Islam (the proto Islamic law) kebebasan perempuan mulai terlihat. Nabi Muhammad pada masa itu sudah mendemonstrasikan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam aktivitas sosial, mulai kewirausahaan, politik, sampai peperangan.[10] Namun setelah wafatnya Nabi, semua itu sirna. Proses perjuangan Nabi yang mengangkat martabat kaum perempuan Arab setelah sekian lama ditindas oleh kaum laki-laki tidak dilanjutkan pada masa penguasa Islam setelah Nabi. Melihat yang demikian, pendidikan Islam mempunyai tugas untuk mengembalikan Islam pada ajaran universal yang menitikberatkan keadilan, persamaan, dan kesetaraan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi pada awal berkembangnya Islam.
Berkaitan dengan tugas tersebut maka perlu diadakan pembukaan ruang keadilan gender melalui optimalisasi proses pendidikan Islam. Optimalisasi yang dimaksudkan adalah upaya untuk mengikis bias gender yang terjadi dalam segala proses pendidikan Islam. Optimalisasi tersebut meliputi optimalisasi tujuan, metode, dan materi pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan Islam bisa dioptimalkan melalui perumusan kembali tujuan pendidikan yang tidak mengarah kepada bias gender. Yaitu dengan lebih memprioritaskan kepada:
Peneguhan Nilai Kemanusiaan. Pada dasarnya, pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Pendidikan diadakan dari, oleh dan untuk manusia dan dimaksudkan untuk merubah segala perilaku manusia dari perilaku barbarian menjadi perilaku yang lebih beradab. Maka dari itu, rumusan tujuan pendidikan Islam harus mempunyai standarisasi yang selalu terkait erat dengan persoalan kemanusiaan tanpa membedakan jenis kelamin. Peneguhan nilai kemanusiaan tidak dimaksud dengan serta merta untuk menghilangkan aspek ilahiyah dalam rumusan pendidikan Islam, karena setiap ajaran agama manapun pasti akan selalu terkait dengan aspek ketuhanan. Nilai kemanusiaan perlu diberi ruang cukup sebab dengan nilai ini, keadilan sosial dapat terwujud.
Pengembangan Pengetahuan. Pada prinsipnya setiap manusia dibekali dengan kemampuan dasar (fitrah). Dengan kemampuan ini setiap manusia mempunyai potensi untuk mengembangkan kemampuan yang ia miliki. Pengembangan kemampuan pada potensi manusia dimaksudkan untuk senantiasa mengasah nalar dan kemampuan (skill) demi keberlangsungan kehidupan di bumi. Dengan pengetahuan manusia dapat mengatasi segala masalah yang sedang dihadapi atau masalah yang akan datang. Pengembangan pengetahuan disamping untuk mendidik umat, juga dimaksudkan untuk mengembangkan sistem pendidikan Islam secara dinamis agar tidak tertinggal dengan sistem pendidikan yang lain. Umat Islam harus dipacu dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Karena ketertinggalan pendidikan Islam lebih sering karena kurangnya inovasi dan kreatifitas dalam sistem pendidikan Islam. Atas dasar kerangka ini rumusan tujuan pendidikan Islam disusun, dengan harapan adanya peningkatan kualitas dalam pendidikan Islam.
Membentuk Kesadaran Individu yang Mempunyai Kepekaan Sosial. Pembentukan kesadaran individu perlu diperhatikan dalam rumusan tujuan pendidikan Islam. Seorang muslim secara umum, disamping mempunyai kesadaran pribadi, harus pula mempunyai kepekaan terhadap perkembangan zaman. Pendidikan Islam seharusnya disamping bertujuan membentuk kepribadian peserta didik secara utuh juga harus turut andil dalam pembentukan individu yang memiliki kepekaan sosial terhadap pembentukan keadilan dimuka bumi. Karena realitas sosial tidak bisa hanya melalui pribadi-pribadi yang sempurna secara transenden. Islam adalah ajaran yang menciptakan keadilan tidak hanya untuk membentuk individu secara sempurna dalam arti yang sebenarnya, melainkan turut serta dalam pembentukan sistem sosial. Karena itu harus ada keseimbangan. Keseimbangan di sini bukan berarti melanggengkan stabilitas tanpa mengadakan perubahan, karena stabilitas pada gilirannya menjadi senjata ampuh untuk membungkam perempuan dan melanggengkan kekuasaan laki-laki di atasnya.
Untuk itulah teori yang dapat menjustifikasi bias gender hendaknya dihindari dalam penyusunan rumusan tujuan dalam pendidikan Islam. Islam mengakui semua potensi kemanusiaan. Potensi menjadi individu yang sempurna, persamaan derajat kemanusiaan, potensi menjadi khalifah termasuk potensi menjadi hamba.
Metode pendidikan dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan semua materi pelajaran dalam kegiatan mengajar, sekaligus dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Pendidikan Islam seperti yang telah diteliti di atas masih banyak menggunakan metode yang masih bias gender. Metode sensitif gender dalam proses pendidikan dapat dioptimalkan dengan cara tidak membedakan perbedaan seks dalam proses belajar mengajar. Para aktifis feminis mengenalkan metode yang tidak mengandung bias gender dan diberi nama metode androgini (androgyny).
Metode pendidikan androgini marak menjadi diskusi kalangan kaum feminis pada tahun 1970-an.[11]Metode androgini berasal dari bahasa latin, yaitu andro yang berarti pria, dan gyne yang berarti perempuan. Pendidikan androgini adalah pendidikan yang memperkenalkan konsep bebas gender kepada anak laki-laki dan perempuan. Konsep pendidikan ini berbeda dengan konsep pendidikan konvensional yang berasumsi bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Metode ini mengedepankan beberapa prinsip yaitu; Komunikasi Secara Terbuka dan prinsip tanpa membedakan jenis kelamin dalam pendidikan
Komunikasi Secara Terbuka. Prinsip komunikasi secara terbuka bila dilaksanakan dalam bentuk metode akan menghasilkan metode dialogis dalam pendidikan.[12] Dalam prinsip ini guru mendorong siswa untuk membuka diri terhadap lingkungannya. Lingkungan yang terdiri dari guru, siswa lain dan bahan-bahan yang dibahas dalam proses belajar mengajar. Prinsip keterbukaan akan membantu siswa untuk dapat memahami lingkungannya, dan pada akhirnya akan senantiasa kritis terhadap segala persoalan atau problematika yang muncul dalam masyarakat. Pola pikir kritis siswa perlu dibina sejak dini. Siswa perlu diberi kebebasan dalam pertanyaan, berpendapat dan mempunyai hak untuk menerima bahkan menolak argumen dari guru. Kekritisan siswa juga perlu dipupuk dengan pemahaman struktur sekolah, antara hubungan kepala sekolah dan guru, kepala sekolah dan murid, pihak sekolah dengan masyarakat. Pengetahuan yang demikian dapat membantu siswa, memberi stimulus dalam belajarnya, karena siswa merasa hidup dalam lingkungan realita. Sedangkan metode dialogis yang merupakan implementasi dari prinsip komunikasi ini, harus dilakukan dengan dasar bahwa siswa disamping diberi kebebasan secara luas, harus pula menghargai kebebasan orang lain. Adanya kebebasan yang dimiliki orang lain dapat memberi pelajaran bagi siswa, bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama dan kewajiban yang sama. Kebebasan yang tanpa kendali akan menjadikan manusia mendominasi manusia yang lain. Sehingga terjadilah penindasan dan terjadilah ketidakadilan.
Prinsip tanpa membedakan jenis kelamin dalam pendidikan adalah prinsip yang dipakai oleh konsep pendidikan androgini. Dalam pendidikan konvensional, ada pembedaan yang jelas pada siswa yang didasarkan pada jenis kelamin. Anak laki-laki diberikan mainan berupa mobil-mobilan dan alat-alat peperanngan, seperti pistol-pistolan, pedang, dan lain sebagainya, sementara anak perempuan diberi mainan boneka dan diberi alat masak. Pembedaan mainan akan mengakibatkan kelanggengan perbedaan peran gender. Dalam prakteknya, prinsip tanpa membedakan jenis kelamin, dapat diterapkan dimana saja, termasuk di dalam rumah. Orang tua dalam mendidik anaknya dengan tanpa membedakan jenis kelamin, dengan memakai konsep androgini. Pertama kali yang harus dilakukan adalah menghilangkan atribut-atribut yang berbau gender di dalam rumah. Pada halaman, seluruh ruang, dinding, bila masih terdapat lukisan, stiker, poster, pamlet atau tempelan lain, yang tergolong pada pembagian kerja berdasarkan gender harus dihilangkan. Orang tua hendaknya tidak memberi mainan kepada anaknya dengan mainan-mainan yang berstereotip gender. Begitu juga dengan pengaruh-pengaruh media yang bisa di akses langsung dari rumah seperti TV, radio, media cetak dan lainnya, hendaknya orang tua menjaga anak-anaknya. Dengan metode anrdogini, anak-anak akan dibesarkan secara androgenous dan mempunyai pilihan-pilihan kepribadian. Pilihan-pilihan menjadi feminin atau maskulin tidak didasarkan atas jenis kelamin, tetapi merupakan pilihan langsung dari anak berdasarkan potensi yang ia miliki. Pendidikan model seperti ini sangat berguna untuk menolong kaum perempuan yang sudah sekian lama terjebak dalam sektor domestik. Pendidikan ini dapat mengangkat perempuan di sektor publik. Bagi laki-laki, mereka yang dibesarkan androgenous, dapat diberikan beberapa pilihan yang lebih beragam dalam menentukan jenis-jenis pekerjaan yang ditekuninya, terutama pada bidang-bidang yang tadinya didominasi oleh kaum perempuan.[13]
Bentuk optimalisasi yang terakhir yaitu aspek materi pendidikan Islam. Materi-materi dalam pendidikan Islam berkaitan langsung dengan kurikulum pendidikan Islam. Kurikulum, mengandung arti bahan meteri yang diajarkan kepada siswa yang telah tersusun secara sistematis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.[14] Pengulasan materi teks-teks al-Qur’an yang tidak netral itu tercermin pada lembar-lembar kitab kuning, yang selama ini telah menjadi bahan pengajaran dalam pendidikan Islam. Oleh Nasarudin Umar, kitab kuning disebut juga dengan literatur klasik Islam disusun didalam perspektif budaya androsentris, dimana laki-laki menjadi ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things.[15] Maka dari itu optimalisasi dalam pendidikan Islam dapat dilakukan dengan cara:
-         Penyusunan Ulang Kitab-Kitab Klasik. Menyusun ulang kitab klasik dapat dilakukan dengan cara mengkaji lebih lanjut kitab-kitab yang menjadi literatur klasik, yang sering dipakai sebagai bahan pengajaran pada pendidikan Islam. Susunan baru tersebut dapat dilakukan dengan Membuat dalam bentuk baru dengan tampilan yang lebih modern[16]dan mengkritisi kitab klasik dengan menerbitkannya sebagai kitab baru.
-         Membuat Kitab Baru yang Sama Sekali Beda dengan Kitab Klasik. Penulisan ini sudah mulai dilakukan oleh para sarjana-sarjana Islam yang mengenyam pendidikan modern. Mereka kebanyakan dari tokoh feminis Islam yang meneliti dan mengkritisi tulisan-tulisan sebelumnya. Pengkritisan yang dilakukan feminis Islam tidak terpaku pada litaeratur klasik Islam, melainkan merambah pada teks-teks suci. Misalnya seperti Fatima Mernissi yang meneliti hadist-hadist misogini (hadist yang melecehkan kaum perempuan). Adapun buku-buku dari tokoh feminis Islam tersebut misalnya, “Women and Religion: An Islamic Prespective” karya dari Rifa’at Hassan, “Women and Islam” karya Fatima Mernissi,dsb.
  
KESIMPULAN
Ketidaksetaraan gender yang timbul sebenarnya tidak lepas dari adanya kekeliruan dalam memahami makna gender itu sendiri. Selama ini gender banyak diartikan sama halnya dengan sex, yaitu perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek biologis yang dimilikinya, padahal lebih dari itu pada hakekatnya gender berbeda dengan sex. Kalau gender lebih berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi hormon dalam tubuh, anatomi fisik dan alat reproduksi, sedangkan gender lebih pada aspek sosial budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya.
            Terbentuknya gender differences (perbedaaan gender) antara laki-laki dan perempuan tersebut terjadi melalui proses yang sangat panjang yaitu; dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran agama maupun negara. Sehingga hal itu akhirnya diyakini sebagai ketentuan Tuhan (kodrat), seakan akan bersifat biologis dan tidak dapat diotak-atik lagi. Perbedaan gender tersebut sebenarnya tidak jadi masalah selama tidak menimbulkan gender inqualities dan mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berfikir, dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut, termasuk dalam konteks pendidikan.
            Dalam pendidikan Islam yang selama ini masih sangat kentara bias gendernya baik dalam rumusan tujuannya maupun dalam materi, metode dan prosesnya. Hal itu tentunya memerlukan perhatian yang sangat serius dari para praktisi pendidikan dan pemerintah.


[1] Mansour Faqih, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998) hal.4
[2] Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka pelajar dan Rifka Annisa, 2002), hal. vii.
[3] Term ini dipakai Freire untuk menggambarkan kondisi sosial masyarakat yang pasif dan naif dalam menghadapi dan menaggapi persoalan hidup dengan cara pandang yang sangat dangkal dalam memaknai problem yang dihadapi.
[4] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia cetakan XXIII, 1996), hal. 265
[5] http://www.paramadina.com
[6] Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction (California: Mayfield Publishing Company, 2001), hal. 4.
[7] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 34.
[8] Lihat Linda Brannon, Gender: Psychological Perspective, (Boston: Allyn and Bacon, 1999, hlm 12-13;
[9] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, hal. 295.
[10] Ibid. hal. 288
[11] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda (Bandung: Mizan, 1999), hal. 114
[12] M. Arifin, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 204
[13] Ibid, hal. 115
[14] Ibid, hal. 183
[15] Nasarudin Umar, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Jakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002), hal. 85.
[16]  Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam” dalam Membincangkan Feminisme (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
.