DINAMIKA MADRASAH[1]
Oleh: Heni Zuhriyah[2]
PENGANTAR
Madrasah
adalah salah satu dari bentuk lembaga pendidikan Islam di dunia. Di Indonesia,
madrasah merupakan lembaga pendidikan sekolah umum yang bercirikan Islam.
Madrasah telah tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari kebudayaan bangsa
Indonesia. Madrasah merupakan milik bangsa Indonesia dan telah ikut serta dalam
mencedaskan kehidupan bangsa. Madrasah telah menyatu dalam tata nilai budaya
bangsa yang merupakan modal dasar bagi pembangunan agama yang pengembangannya
menuntut pola pembinaan yang berorientasi ke masa depan yang lebih baik.[3]
Madrasah
telah menjadi salah satu wujud entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya
menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif. Indikasinya adalah
kenyataan bahwa wujud entitas budaya telah diakui dan diterima kehadirannya.
Secara berangsur-angsur namun pasti, ia telah memasuki arus utama pembangunan
bangsa menjelang akhir abad ke-20. Kita tahu bahwa madrasah bukan suatu yang indeginous
(pribumi) dalam peta dunia pendidikan di Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan
oleh kata “madrasah” itu sendiri dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini
setara maknanya dengan kata Indonesia “sekolah” (yang nota bene juga bukan kata
asli dari bahasa kita), sekolah yang dialihkan dari bahasa asing misalnya school ataupun scola.
Madrasah
mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran.
Maksudnya anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin dan
terkendali. Di lembaga ini anak memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk
beluk agama dan keagamaan, sehingga dalam pemakaiannya madrasah dikenal sebagai
sekolah agama. Dan setelah mengarungi perjalanan peradaban bangsa, madrasah
diakui telah mengalami perubahan dan tidak melepaskan diri dari makna asal
sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.[4]
Beberapa perubahan tersebut sesuai
dengan perubahan dan tuntutan zaman. Dan berikut dalam makalah ini akan
membahas tentang perubahan-perubahan tersebut sebagai dinamika madrasah atau
keadaan gerak madrasah. Dan kritik dan saran selalu diharapkan demi perbaikan
makalah ini.
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan perkembangan
Madrasah
Dalam membahas tentang sejarah Madrasah,
Prof.DR.Azyumardi Azra mengatakan bahwa Sejarah
Madrasah yang ditulis oleh Badri Yatim dan yang lain merupakan
penyempurnaan dan revisi yang cukup baik dari buku-buku dari sejarah madrasah
yang pernah diterbitkan di Indonesia. Alasanya adalah karena penggunaan
sumber-sumber yang cukup luas dan cukup beragam, tidak hanya sumber-sumber
klasik dan kontemporer berbahasa Arab, tetapi juga sumber-sumber barat yang
menampilkan hasil-hasil penelitian mutakhir tentang madasah. Begitu pula ketika
pembahasan menyangkut sejarah madrasah di Indonesia, sumber-sumber yang
digunakan sebagian besar juga merupakan sumber-sumber mutakhir yang lebih
akurat.
Salah satu contoh yang bersifat substansial, adalah
tentang madrasah di Timur tengah. Selama ini buku-buku lain tentang madrasah
umumnya menyatakan, bahwa bahwa madrasah diTimur tengah adalah madrasah
Nizhamiyah di Baghdad. Madrasah ini tentu saja merupakan salah satu madrasah
yang sangat terkenal dan merupakan prototype
madrasah diberbagai kawasan dunia muslim, tetapi jelas menurut pendapat
mutakhir, seperti dikatakan Hasan Ibrahim Hasan dan Richard Bulliet, bahwa ia
bukanlah madarasah pertama. Madrasah yang pertama justru adalah madrasah al
Baihaqiyyah dan sejumlah madrasah lain yang berdiri dan berkembang di Nisapur,
Iran.[5]
Adapun sejarah dan perkembangan madrasah ternyata tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan aspek kehidupan masyarakatnya. Dalam
bukunya, DR.Maksum mengatakan, bahwa diantara aspek yang menonjol dalam
mempengaruhi perkembangan madrasah sejak zaman klasik ialah aspek politik dan
aspek pemikiran kegamaan. Dan ada dua faktor yang melatar belakangi pertumbuhan
madrasah di Indonesia secara kongkrit yaitu adanya desakan politik kolonial
disemua pihak, dan munculnya pemikiran kegamaan dipihak lain.[6] Dan
Prof.DR.Azyumardi Azra mengatakan, bahwa gagasan pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia terdapat dua macam kecendrungan yaitu; pertama, adopsi sistem dari lembaga pendidikan modern (belanda),
bukan sistem pendidikan Islam tradisional. Dan kedua, adalah bertitik tolak dari sistem dan lembaga pendidikan
Islam yang sudah ada (yakni pesantren), kemudian dimodernisir dengan mengadopsi
aspek kurikulum, manajemen, metodologi dan sistem pembelajarannya.[7]
Pada akhir dekade 1980-an dunia pendidikan Islam di
Indonesia memasuki era integrasi karena lahirnya UU No 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam UUSPN ini pendidikan nasional mencakup jalur sekolah
dan luar sekolah, serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan
professional, pendidikan kejuruan dan pendidikan keagamaan, meskipun secara
eksplisit tidak mengatur secara khusus tentang pendidikan Islam, tetapi dalam
prakteknya memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum
pendidikan Islam, khususnya madrasah. Kemudian pada Keputusan Menteri Agama No
372 tahun 1993 yang secara jelas mengatur tentang kurikulum pendidikan dasar
berciri khas Agama Islam. Dalam keputusan ini diatur bahwa Madrasah Ibtidaiyah
dan Madrasah Tsanawiyah melaksanakan kurikulum nasional sekolah dasar dan
lanjutan tingkat pertama. Dan tentang kurikulum Madrasah Aliyah dikeluarkan
keputusan Menteri Agama No 373 1993, dimana dalam ketentuan ini, isi kurikulum
terdiri atas dua program yaitu program
pengajaran umum dan program pengajaran khusus sebagaimana berlaku dalam Sekolah
Menengah Umum.
Posisi pendidikan Islam dalam Sisdiknas tercermin dalam
beberapa aspek. Pertama. Pendidikan
nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam
semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua,
dalam Sisdiknas, madrasah dengan
sendirinya dimasukkan kedalam kategori pendidikan jalur sekolah. Ketiga,. meskipun madrasah diberi status
pendidikan jalur sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem
pendidikan nasional, madrasah memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syariah seperti
adanya kelas MAPK (Madrasah Aliyah
Program Khusus). Dan pada akhirnya secara umum madrasah mengalami
perkembangan pengertian yang tidak lagi merupakan lembaga pendidikan Islam
dalam pengertian eksklusif keagamaan, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan
jalur sekolah yang berakar pada akar budaya bangsa Indonesia. Perkembangan ini
agaknya belum penah terjadi dari masa kemasa sebelumnya karena berbagai kendala
baik yang menyangkut intern ummat Islam maupun karena kondisi politik
pemerintah kala itu.[8]
B. Karakter Madrasah
Madrasah sebagai lembaga dan sistem pendidikan Islam
mempunyai karakter yang spesifik, apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan
non –madrasah. Husni Rahim menyebutkan ada 4 karakter yang dimiliki oleh
madrasah, yaitu;[9]
1.
Karakter
islami. Identitas ke-Islamannya tercermin dalam kurikulum dan proses
pendidikannya.
2.
Karakter
populis. Sejak periode yang paling
dini, madrasah lahir dan berkembang dengan dukungan masyarakat serta
tebuka bagi semua lapisan masyarakat.
3.
Karakter
keragaman. Madrasah menunjukkan adanya watak fleksibilitas dalam
pelaksanaan pendidikan. Madrasah harus berorientasi pada mutu dalam menghadapi
tantangan masa depan.
4.
Karakter
mandiri. Apalagi jika dikaitkan dengan mayoritas madrasah di Indonesia
adalah berstatus swasta, yang sampai dengan tahun 2005 madrasah swasta
jumlahnya mencapi 92 % dari 39.309, mulai dari tingkat MI, MTS dan MA.
Madrasah-madrasah tersebut mampu bergulat menghadapi berbagai macam tantangan,
mulai dari mengusahakan tanah untuk pendirian bangunan gedungnya, mencari
guru-guru pengajarnya, mengusahakan dana setiap bulan untuk biaya
operasionalnya, menyediakan sarana dan prasarana, hampir semuanya ditanggung
oleh para pendiri dan pengurus madrasah bersama-sama masyarakat. Sejak zaman
Belanda, Jepang, Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, sampai Reformasi, bantuan
dari pemerintah dapat dikatakan sengat sedikit dan terbatas.
C. Dinamika Madrasah
Dari tahun ke tahun secara kuantitatif jumlah madrasah
kelihatannya meningkat, berbagai madrasah baru muncul dimana-mana. Yang menarik
dari perkembangan kuantitatif ini adalah
gejala pertumbuhan madrasah-madrasah favorit karena keunggulan pendidikanya.
Masih dalam konteks perkembangan kuantitatif ini adalah terjadinya perpindahan
siswa sekolah umum dalam berbagai jenjang ke madrasah di berbagai daerah,
seperti sering dilaporkan para pengamat pendidikan Islam dan konsultan
pengembangan madrasah. Pada segi lain kemunculan madrasah dalam skala lebih
luas juga merupakan salah satu indikasi tentang berlangsungnya secara intens
apa yang disebut sebagian pengamat sebagai “santrinisasi” kaum muslim
Indonesia. Lebih jauh lagi, kemunculan madrasah unggulan dan favorit bisa jadi
merupakan indikasi lebih lanjut tentang kerinduan orang tua muslim untuk
mendapatkan pendidikan Islam yang baik, sehingga pendidikan madrasah juga
kompetitif bagi anak-anak mereka.
Atau sebaliknya, boleh jadi mengindikasikan
“kepasrahan” orang tua muslim (terutama diwilayah urban) yang merasa tidak
mampu lagi mendidik sendiri anak-anak mereka secara islami atau tidak yakin
bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan pendidikan agama yang memadai dari
sekolah-sekolah umum, karena itulah mereka menyerahkan pendidikan anak-anak
mereka ke madrasah. Disamping mendapatkan pendidikan agama anak-anak mereka
juga mendapatkan pendidikan umum. Dari sini tampak, bahwa besar sekali tugas
yang ditanggung oleh madrasah.
Dikalangan madrasah sendiri setidaknya sejak dasawarsa
terakhir telah berkembang kesadaran untuk mengambil langkah-langkah tertentu
guna meningkatkan kualitas SDM yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan
tranformasi sosial. Dari sinilah timbul berbagai eksperiman, baik dalam bentuk
perubahan “kurikulum” madrasah yang berorientasi pada “kekinian”. Dan hal
inipun menjadi dilema baru yakni madrasah tidak mampu lagi memenuhi fungsi
pokoknya (yaitu menjadikan manusia
yang beriman), tetapi menguasai ketrampilan sains dan teknologi. Mengingat
besarnya beban madrasah, apakah tidak sepatutnya kita membatasi harapan-harapan
para orang tua muslim terhadap madrasah; lebih realistis dalam melihat tugas,
fungsi dan tanggung jawab madrasah, sehingga pendidikan madrasah tidak
mengahasilkan siswa-siswa yang selama ini disebut sebagian masyarakat sebagai
“serba tanggung”. Yang mana tidak mendalam pengetahuan agamanya, dan pada saat
yang sama juga tidak menguasai pengetahuan umum atau ketrampilan tertentu.
Dari sini maka perlu adanya pengkajian ulang secara cermat dan hati-hati tentang berbagai
gagasan dalam reposisi madrasah, terutama dalam konteks “kekinian”. Sebab bukan
tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap
eksistensi dan fungsi pokok madrasah itu sendiri. Harus dipahami, bahwa dengan
menyatakan hal itu, tidak berarti bahwa madrasah harus tidak peduli sama sekali
terhadap diluar dunianya. Sebaliknya, madrasah harus menumbuhkan apresiasi dan
memberi respon sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi dimasa kini
dan mendatang.[10]
Dalam hal ini MAN Sidoarjo memberikan contoh yakni pada tahun 2006
sekolah ini telah menyabet Medali Perak (silver
prize) tingkat nasional dalam lomba pembuatan media pembelajaran berbasis
computer / ICT oleh Depdiknas dan Depag di Jakarta. Dan baru saja meraih juara
satu festival Nasyid se-Jatim, serta terpilih dalam lomba lingkungan sehat
sekolah (LLSS) di tingkat provinsi bersama SMAN I dan SMAK Negeri I Sidoarjo.[11] Dari
sini bisa dilihat bahwa selain dapat meraih kesuksesan dalam bidang “kekinian”
juga tidak meninggalkan ciri khas keIslamannya. Contoh lain yakni MTS Negeri
Sumenep, kerap kali menjuarai berbagai event lomba, baik tingkat kabupaten
maupun provinsi. Kejuaraan itu meliputi bidang olah raga, kesenian, bidang
keagamaan dan sayembara mata pelajaan. Semua itu diperoleh dengan tidak
meninggalkan fungsi pokok madrasah, yakni pada setiap hari senin dilatih dan
dibiasakan melaksanakan kegiatan-kegiatan ibadah seperti tartil Qur`an, hafalan
surat-surat pendek, kuliah tujuh menit (kultum), serta shalat dhuha. [12]
Kemudian sekarang muncul lagi persoalan baru yakni
maraknya sekolah-sekolah non madrasah yang memadukan antara kurikulum umum atau
kejuruan dengan ditambah beberapa mata pelajaran agama. Beberapa contohnya
yaitu SD Islam, SMP Islam Ma`arif, SMP Islam Wahid Hasyim, SMP Muhammadiyah,
SMA Muhammadiyah, SMA Islam al Irsyad, SMK Islam dan masih banyak yang lainnya.
Sekolah-sekolah tersebut berusaha memadukan komponen pengetahuan, ketrampilan
dan akhlak serta budaya.[13] Dan
semua lembaga sekolah tersebut tentunya akan bersaing dengan madrasah-madrasah
yang sudah ada.
Mengutip dari Suyanto dan Djihad, M.Tholhah mengatakan
bahwa pendidikan agama dalam sekolah non madrasah yang berlabel Islam belum
mampu memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pendidikan agama semakin
gersang dan kehilangan kesegarannya karena pelajaran agama banyak diberikan
hanya sebatas sebagai pengetahuan tentang agama. Bahkan seorang pakar dan
pengamat pendidikan menilai, bahwa pendidikan agama disekolah-sekolah umum dan
kejuruan, menjadi bonsai yang hanya
cukup berperan untuk memperindah ruangan, tetapi tidak dapat berkembang secara
optimal dan kontekstual sesuai dengan tantangan global. Guru agama yang lebih
suka melihat pelajaran agama sebagai ilmu, bukan sebagai standar nilai-nilai
yang aplikatif. Pembelajaran agama Islam lebih banyak menekankan aspek kognitif
dari yang seharusnya, yaitu aspek afektif.[14]
D. Kurikulum Madrasah dalam Era
Otonomi pendidikan
Kurikulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan
pendidikan secara formal, yang menjadi
pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah dan pengawas pendidikan dalam
pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Lebih
dari itu kurikulum merupakan pengejawantahan dari tujuan-tujuan
pendidikan yang ingin dicapai.
Otonomi daerah sesuai dengan UU 22/1999 telah
menimbulkan perubahan besar, bukan hanya dalam pemerintahan dan birokrasi,
tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan umum yang dibawah Depdiknas
ikut mengalami desentralisasi, sementara pendidikan agama yang berada dibawah
Departemen Agama masih belum jelas, apakah masih dibawah pengawasan pusat atau didesentralisasikan.
Karena otonomisasi dan desentralisasi yang sulit dielakkan madrasah maka
kurikulum Depdiknas yang diikuti madrasah juga harus ditinjau kembali.
Sentralisasi tersebut harus
disederhanakan dengan hanya menggariskan kebijakan, prinsip minimal, yang pada
intinya hanya bertujuan untuk menjamin
adanya standar dasar umum bagi pendidikan nasional secara keseluruhan. Dan
selebihnya harus didesentralisasikan
berdasarkan stakeholders
didaerah. Dan paradigma kurikulum
seperti itu lebih popular disebut kurikulum berbasis sekolah ( school-based curriculum).
Kurikulum berbasis sekolah sangat ditentukan oleh
seluruh stakeholders dalam berbagai tahapan
pengembangan dan penerapan kurikulum.
Strategi perencanaan pengembangan
kurikulum ini mencakup langkah-langkah sebagai berikut ; : perencanaan,
penerapan/pelaksanaan dan evaluasi. Dan perlu diakui bahwa pengembangan Kurikulum berbasis sekolah
ini tidaklah mudah, dimana harus ada kesiapan SDM, inisiatif dan pro-aktif
kepala sekolah, guru dan pengelola pendidikan lainnya sampai pada adanya
kesiapan fasilitas. Meski demikian madrasah memiliki modal sangat besar dalam
bentuk pengalaman panjang sebagai lembaga pendidikan yang pada dasarnya
merupakan communit- based education.
Sebagai pendidikan yang berbasiskan masyarakat, madrasah memiliki potensi lebih
besar tidak hanya mengembangkan pendidikan berbasis sekolah, tetapi lebih luas
lagi meningkatkan kualitas pendidikannya dengan mengikutsertakan seluruh stakeholder
yang ada.
Dan pada kurikulum MI dan MTS lebih menekankan pada
transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak, sedangkan MA selain kedua hal
itu juga menekankan pembentuakan dan pembinaan ketrampilan yang kini popular
sebagai life skill.[15] Dalam konteks program pendidikan
madrasah secara umum maka dalam
kurikulum perlu diarahkan untuk membentuk, membimbing, melatih serta mengajak
agar peserta didik dapat mengembangkan dan meningkatkan IQ, EQ, CQ dan SQ.
Dimana dalam IQ menyangkut kualitas head agar peserta didik menjadi orang yang cerdas
dan pintar. Pendidikan EQ menyangkut kualitas heart agar peserta didik menjadi orang yang berjiwa pesaing, rendah
hati, penyabar, berempati, menjaga harga diri ( self esteem), dan mampu mengendalikan diri (self control). Pendidikan CQ menyangkut kualitas hand agar peserta didik nantinya dapat menjadi agent of change, yang mampu membuat inovasi atau membuat
hal-hal baru. Dan yang terakhir adalah pendidikan SQ menyangkut peningkatan
kualitas honest agar peserta didik
menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, serta berakhlak mulia.
Peserta didik tidak hanya dipersiapkan keilmuan dan
ketrampilannya namun juga dipersiapkan dalam menghadapi dan merespon tuntutan
masa depan. Peserta didik tidak hanya dipersiapkan kompeten dalam bidang studi
yang dipilihnya tetapi juga dipersiapkan untuk memiliki kecakapan untuk mau
hidup dan berani menghadapi problem-problem hidup dan kehidupan secara
wajar tanpa merasa tertekan, kemudian
secara pro-aktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya.
Dan madrasah tidak hanya menyusun pendidikan berdasarkan life skill, tetapi juga mengembangkan pendidikan berbasis life skill berdasarkan Tauhid. Peserta didik tidak hanya
dipersiapkan dengan kecakapan hidup begitu saja, namun kecakapan hidup yang
dijiwai oleh ruh dan nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga tidak hanya menjadi
orang yang berani hidup dan mampu survive
dalam hidup, apapun jalannya (baik halal maupun haram), namun berani hidup dan
dapat survive hidup sesuai dengan
ajaran Islam.[16] Dengan melaksanakan semua muatan kurikulum
diatas maka harapan-harapan orang tua siswa akan terwujud, walaupun pasti
disana sini ada beberapa kendala dan hambatan.
- Kualitas Guru
Diantara faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan
adalah kualitas guru. Guru merupakan faktor penting yang turut menentukan baik
buruknya mutu pendidikan. Guru merupakan
subyek pertama yang langsung berinteraksi dengan siswa. Model guru yang dengan
sungguh-sungguh mendidik siswa sebagai anak didik, bahkan seperti anak kandung
sendiri, seperti yang pernah terjadi masa Hindia Belanda dan masa orde lama,
sudah amat langka.
Dan saat ini kualitas guru juga sedang terjadi masalah
saat ini. Problematiaka guru ini tampaknya menjadi bahan diskusi menarik dari
berbagai media dan forum ilmiah. Karena kerusakan sistem, siswa sering kali
terjepit sebagai fenomena dari korban-makan korban lain. Siswa jadi
korban para guru yang memperlakukan meraka sebagai obyek kejengkelan dan
kemarahan guru yang telah diperlakukan sebagai korban pahlawan tanpa tanda jasa
oleh sistem. Selain itu siswa juga menjadi korban guru yang mengajar kurang
sungguh-sungguh sehingga siswa harus mengambil les tambahan pada guru tersebut
diluar sekolah atau membeli soal-soal ulangan dengan cara terselubung. Pada
masa sekarang , sosok guru yang sangat mengasihi siswa sudah sangat langka dan
hanya bisa dijumpai didaerah-daerah terpencil dimana nilai-nilai materialisme
masih belum berpengaruh.
Kelayakan dan kompetensi guru seperti yang di tunjukkan
dalam Depdiknas masih dibawah standar. Padahal uji kompetensi ini masih sangat
mendasar dan belum menyentuh nilai, pengetahuan, dan ketrampilan yang lebih
kompleks dan maju.[17] Dan hal
ini juga terjadi di Depag yakni bahwa uji portofolio sertifikasi guru agama,
baik yang mengajar dimadrasah maupun disekolah umum tingkat kelulusannya tidak
sampai 50%. Banyak yang gagal dalam dalam uji porofolio program sertifikasi
yang dipusatkan di IAIN Suanan Ampel Surabaya. Kondisi ini menjadi salah satu
indikasi bahwa kualitas guru agama perlu diperbaiki, baik dari sisi
administrasi maupun keilmuan.[18]
Pendekatan legal seperti UU guru dan Dosen serta pendekatan ekonomis seperti
peningkatan gaji guru saja tidak akan serta merta cukup untuk mengatasi krisis
dalam profesi guru ini.
Perbaikan terhadap kualitas guru harus menyentuh semua
aspek dan disesuaikan dengan kebutuhan guru. Guru yang lemah dalam aspek
pengetahuan maka peningkatan yang harus dilakukan adalah pengembangan
pengetahuan, jika guru lemah pada aspek ketrampilan maka pengembangan harus
difokuskan pada ketrampilan dan begitu seterusnya. Beberapa yang perlu diup-grade
atau diperbaiki untuk kualitas guru adalah : pertama aspek pendidikan guru,
Kedua kompetensi guru dan Ketiga kesejahteraan. Rentetan materi diskusi tentang
guru yang dinilai kurang profesional, distribusi guru berkualitas yang kurang
merata, pendidikan guru yang belum memenuhi persyaratan administratif, hingga
kesejahteraan yang masih terbengkalai. Dan masih banyak lagi problem guru yang
patut didiskusikan.[19]
PENUTUP
“Memegang
bara api adalah panas” mungkin itulah istilah yang tepat untuk para
penyebar agama Islam. Menegakkan dan menyebarkan ajaran Islam memang sangat
diperlukan pengorbanan dan jerih payah, para Rasul saja ketika menyebarkan
ajaran Allah menemui berbagai cobaan dan rintangan. Maka kita jangan heran
kalau dalam pelaksanaan pendidikan di madrasah muncul berbagai masalah dan
tantangan, baik itu dalam segi intern maupun ekstern. Sebagai pengemban amanat
Allah maka kita harus selalu memikirkan dan mencari terobosan-terobosan dalam
menghadapi masalah yang ada di lembaga pendidikan Islam, untuk menunjukkan
bahwa memang Islam adalah Rahmatan lil
`Alamin . Selamat berjuang. Allahu Akbar…..!!
DAFTAR PUSTAKA
Anton , Syaf, Tak Mau Terjebak Pola Fisika, MIMBAR, Edisi Juli 2007.
Azra, Azyumardi,.Pendidikan Islam;
Tradisi Dan Modernisasi Dalam Milennium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2002
Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas, 2006,
Fadjar, A.Malik, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, Bandung;Mizan,
1998,
Maksum, Madrasah; Sejarah Dan Perkembangannya, Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1999,
Musfiqon, Meng-Upgrade Kualitas
Guru, MIMBAR, Edisi Desember 2007.
Rahman
Saleh, Abdul, Madrasah Dan Pendidikan
Anak Bangsa, Jakarta;PT RajaGrafindo, 2006,
Rahim, Husni, Madrasah Dalam
Politik Pendidikan Di Indonesia, Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 2005.
S, Mey, Jadikan Sebagai Pilihan
Pertama, MIMBAR, Edisi
Oktober 2007.
Tholhah Hasan, Muhammad, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Jakarta;Lantabora
Press. 2006.
[1]
Makalah disampaikan pada mata Kuliah Problematika Pendidikan Modern Yang diampu
oleh Bpk. Dr. Abd. Harits
[2]
Mahasiswi Pasca Sarjana Konsentrasi Pendidikan Islam.
[3]
Abdul Rahman Saleh, Madrasah Dan
Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta;PT RajaGrafindo, 2006), 83.
[4]
A.Malik Fadjar, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, (Bandung;Mizan, 1998),
19.
[5]
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional, (Jakarta: kompas, 2006), 84.
[6]
Maksum, Madrasah; Sejarah Dan
Perkembangannya. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1999), 97.
[7]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi
Dan Modernisasi Dalam Milennium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002),
38.
[8]
Maksum, Madrasah, 161.
[9]
Husni Rahim, Madrasah Dalam Politik
Pendidikan Di Indonesia, (Jakarta;Logos, 2005), 68.
[10]
Azyumardi Azra, Paradigma, 94.
[11]Mey
S, Jadaikan Sebagai Pilihan Pertama, (MIMBAR Edisi oktober 2007), 27-28.
[13]
Muhamad, Tholhah Hasan, Dinamika
Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta;Lantabora Press, 2006), 196.
[14]
Ibid, 197.
[15]
Azyumardi, Paradigma, 96.
[16]
Kanwil, Mimbar, Edisi oktober, 41.
[17]
Anita Lie, Wawasan Multikultural Dalam Pendidikan Karakter, (dalam
Basis, Juli-Agustus 2007), 26.
[18]
Musfiqon, Meng-Upgrade Kualitas Guru, (MIMBAR, Edisi Desember 2007), 38.
[19]
Ibid., 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar