Sabtu, 28 September 2013


DINAMIKA MADRASAH[1]
Oleh: Heni Zuhriyah[2]

PENGANTAR
Madrasah adalah salah satu dari bentuk lembaga pendidikan Islam di dunia. Di Indonesia, madrasah merupakan lembaga pendidikan sekolah umum yang bercirikan Islam. Madrasah telah tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Madrasah merupakan milik bangsa Indonesia dan telah ikut serta dalam mencedaskan kehidupan bangsa. Madrasah telah menyatu dalam tata nilai budaya bangsa yang merupakan modal dasar bagi pembangunan agama yang pengembangannya menuntut pola pembinaan yang berorientasi ke masa depan  yang lebih baik.[3]
Madrasah telah menjadi salah satu wujud entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif. Indikasinya adalah kenyataan bahwa wujud entitas budaya telah diakui dan diterima kehadirannya. Secara berangsur-angsur namun pasti, ia telah memasuki arus utama pembangunan bangsa menjelang akhir abad ke-20. Kita tahu bahwa madrasah bukan suatu yang indeginous (pribumi) dalam peta dunia pendidikan di Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan oleh kata “madrasah” itu sendiri dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini setara maknanya dengan kata Indonesia “sekolah” (yang nota bene juga bukan kata asli dari bahasa kita), sekolah yang dialihkan dari bahasa asing  misalnya school ataupun scola. 
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin dan terkendali. Di lembaga ini anak memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk beluk agama dan keagamaan, sehingga dalam pemakaiannya madrasah dikenal sebagai sekolah agama. Dan setelah mengarungi perjalanan peradaban bangsa, madrasah diakui telah mengalami perubahan dan tidak melepaskan diri dari makna asal sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.[4] 
Beberapa perubahan tersebut sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman. Dan berikut dalam makalah ini akan membahas tentang perubahan-perubahan tersebut sebagai dinamika madrasah atau keadaan gerak madrasah. Dan kritik dan saran selalu diharapkan demi perbaikan makalah ini.

PEMBAHASAN
A.     Sejarah dan perkembangan Madrasah
Dalam membahas tentang sejarah Madrasah, Prof.DR.Azyumardi Azra mengatakan bahwa Sejarah Madrasah yang ditulis oleh Badri Yatim dan yang lain merupakan penyempurnaan dan revisi yang cukup baik dari buku-buku dari sejarah madrasah yang pernah diterbitkan di Indonesia. Alasanya adalah karena penggunaan sumber-sumber yang cukup luas dan cukup beragam, tidak hanya sumber-sumber klasik dan kontemporer berbahasa Arab, tetapi juga sumber-sumber barat yang menampilkan hasil-hasil penelitian mutakhir tentang madasah. Begitu pula ketika pembahasan menyangkut sejarah madrasah di Indonesia, sumber-sumber yang digunakan sebagian besar juga merupakan sumber-sumber mutakhir yang lebih akurat.
Salah satu contoh yang bersifat substansial, adalah tentang madrasah di Timur tengah. Selama ini buku-buku lain tentang madrasah umumnya menyatakan, bahwa bahwa madrasah diTimur tengah adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Madrasah ini tentu saja merupakan salah satu madrasah yang sangat terkenal dan merupakan prototype madrasah diberbagai kawasan dunia muslim, tetapi jelas menurut pendapat mutakhir, seperti dikatakan Hasan Ibrahim Hasan dan Richard Bulliet, bahwa ia bukanlah madarasah pertama. Madrasah yang pertama justru adalah madrasah al Baihaqiyyah dan sejumlah madrasah lain yang berdiri dan berkembang di Nisapur, Iran.[5]
Adapun sejarah dan perkembangan madrasah ternyata tidak dapat dipisahkan dari perkembangan aspek kehidupan masyarakatnya. Dalam bukunya, DR.Maksum mengatakan, bahwa diantara aspek yang menonjol dalam mempengaruhi perkembangan madrasah sejak zaman klasik ialah aspek politik dan aspek pemikiran kegamaan. Dan ada dua faktor yang melatar belakangi pertumbuhan madrasah di Indonesia secara kongkrit yaitu adanya desakan politik kolonial disemua pihak, dan munculnya pemikiran kegamaan dipihak lain.[6] Dan Prof.DR.Azyumardi Azra mengatakan, bahwa gagasan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia terdapat dua macam kecendrungan yaitu; pertama, adopsi sistem dari lembaga pendidikan modern (belanda), bukan sistem pendidikan Islam tradisional. Dan kedua, adalah bertitik tolak dari sistem dan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada (yakni pesantren), kemudian dimodernisir dengan mengadopsi aspek kurikulum, manajemen, metodologi dan sistem pembelajarannya.[7]
Pada akhir dekade 1980-an dunia pendidikan Islam di Indonesia memasuki era integrasi karena lahirnya UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UUSPN ini pendidikan nasional mencakup jalur sekolah dan luar sekolah, serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan professional, pendidikan kejuruan dan pendidikan keagamaan, meskipun secara eksplisit tidak mengatur secara khusus tentang pendidikan Islam, tetapi dalam prakteknya memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum pendidikan Islam, khususnya madrasah. Kemudian pada Keputusan Menteri Agama No 372 tahun 1993 yang secara jelas mengatur tentang kurikulum pendidikan dasar berciri khas Agama Islam. Dalam keputusan ini diatur bahwa Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah melaksanakan kurikulum nasional sekolah dasar dan lanjutan tingkat pertama. Dan tentang kurikulum Madrasah Aliyah dikeluarkan keputusan Menteri Agama No 373 1993, dimana dalam ketentuan ini, isi kurikulum terdiri atas dua program yaitu  program pengajaran umum dan program pengajaran khusus sebagaimana berlaku dalam Sekolah Menengah Umum.
Posisi pendidikan Islam dalam Sisdiknas tercermin dalam beberapa aspek. Pertama. Pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua, dalam  Sisdiknas, madrasah dengan sendirinya dimasukkan kedalam kategori pendidikan jalur sekolah. Ketiga,. meskipun madrasah diberi status pendidikan jalur sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, madrasah memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syariah seperti adanya kelas MAPK (Madrasah Aliyah  Program Khusus). Dan pada akhirnya secara umum madrasah mengalami perkembangan pengertian yang tidak lagi merupakan lembaga pendidikan Islam dalam pengertian eksklusif keagamaan, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan jalur sekolah yang berakar pada akar budaya bangsa Indonesia. Perkembangan ini agaknya belum penah terjadi dari masa kemasa sebelumnya karena berbagai kendala baik yang menyangkut intern ummat Islam maupun karena kondisi politik pemerintah kala itu.[8]

B.     Karakter  Madrasah
Madrasah sebagai lembaga dan sistem pendidikan Islam mempunyai karakter yang spesifik, apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan non –madrasah. Husni Rahim menyebutkan ada 4 karakter yang dimiliki oleh madrasah, yaitu;[9]
1.          Karakter islami. Identitas ke-Islamannya tercermin dalam kurikulum dan proses pendidikannya.
2.          Karakter populis. Sejak periode yang paling  dini, madrasah lahir dan berkembang dengan dukungan masyarakat serta tebuka bagi semua lapisan masyarakat.
3.          Karakter keragaman. Madrasah menunjukkan adanya watak fleksibilitas dalam pelaksanaan pendidikan. Madrasah harus berorientasi pada mutu dalam menghadapi tantangan masa depan.
4.          Karakter mandiri. Apalagi jika dikaitkan dengan mayoritas madrasah di Indonesia adalah berstatus swasta, yang sampai dengan tahun 2005 madrasah swasta jumlahnya mencapi 92 % dari 39.309, mulai dari tingkat MI, MTS dan MA. Madrasah-madrasah tersebut mampu bergulat menghadapi berbagai macam tantangan, mulai dari mengusahakan tanah untuk pendirian bangunan gedungnya, mencari guru-guru pengajarnya, mengusahakan dana setiap bulan untuk biaya operasionalnya, menyediakan sarana dan prasarana, hampir semuanya ditanggung oleh para pendiri dan pengurus madrasah bersama-sama masyarakat. Sejak zaman Belanda, Jepang, Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, sampai Reformasi, bantuan dari pemerintah dapat dikatakan sengat sedikit dan terbatas.   

C.     Dinamika Madrasah
Dari tahun ke tahun secara kuantitatif jumlah madrasah kelihatannya meningkat, berbagai madrasah baru muncul dimana-mana. Yang menarik dari perkembangan kuantitatif  ini adalah gejala pertumbuhan madrasah-madrasah favorit karena keunggulan pendidikanya. Masih dalam konteks perkembangan kuantitatif ini adalah terjadinya perpindahan siswa sekolah umum dalam berbagai jenjang ke madrasah di berbagai daerah, seperti sering dilaporkan para pengamat pendidikan Islam dan konsultan pengembangan madrasah. Pada segi lain kemunculan madrasah dalam skala lebih luas juga merupakan salah satu indikasi tentang berlangsungnya secara intens apa yang disebut sebagian pengamat sebagai “santrinisasi” kaum muslim Indonesia. Lebih jauh lagi, kemunculan madrasah unggulan dan favorit bisa jadi merupakan indikasi lebih lanjut tentang kerinduan orang tua muslim untuk mendapatkan pendidikan Islam yang baik, sehingga pendidikan madrasah juga kompetitif bagi anak-anak mereka.
Atau sebaliknya, boleh jadi mengindikasikan “kepasrahan” orang tua muslim (terutama diwilayah urban) yang merasa tidak mampu lagi mendidik sendiri anak-anak mereka secara islami atau tidak yakin bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan pendidikan agama yang memadai dari sekolah-sekolah umum, karena itulah mereka menyerahkan pendidikan anak-anak mereka ke madrasah. Disamping mendapatkan pendidikan agama anak-anak mereka juga mendapatkan pendidikan umum. Dari sini tampak, bahwa besar sekali tugas yang ditanggung oleh madrasah.
Dikalangan madrasah sendiri setidaknya sejak dasawarsa terakhir telah berkembang kesadaran untuk mengambil langkah-langkah tertentu guna meningkatkan kualitas SDM yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan tranformasi sosial. Dari sinilah timbul berbagai eksperiman, baik dalam bentuk perubahan “kurikulum” madrasah yang berorientasi pada “kekinian”. Dan hal inipun menjadi dilema baru yakni madrasah tidak mampu lagi memenuhi fungsi pokoknya    (yaitu menjadikan manusia yang beriman), tetapi menguasai ketrampilan sains dan teknologi. Mengingat besarnya beban madrasah, apakah tidak sepatutnya kita membatasi harapan-harapan para orang tua muslim terhadap madrasah; lebih realistis dalam melihat tugas, fungsi dan tanggung jawab madrasah, sehingga pendidikan madrasah tidak mengahasilkan siswa-siswa yang selama ini disebut sebagian masyarakat sebagai “serba tanggung”. Yang mana tidak mendalam pengetahuan agamanya, dan pada saat yang sama juga tidak menguasai pengetahuan umum atau ketrampilan tertentu.
Dari sini maka perlu adanya pengkajian ulang  secara cermat dan hati-hati tentang berbagai gagasan dalam reposisi madrasah, terutama dalam konteks “kekinian”. Sebab bukan tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap eksistensi dan fungsi pokok madrasah itu sendiri. Harus dipahami, bahwa dengan menyatakan hal itu, tidak berarti bahwa madrasah harus tidak peduli sama sekali terhadap diluar dunianya. Sebaliknya, madrasah harus menumbuhkan apresiasi dan memberi respon sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi dimasa kini dan mendatang.[10]
Dalam hal ini MAN Sidoarjo  memberikan contoh yakni pada tahun 2006 sekolah ini telah menyabet Medali Perak (silver prize) tingkat nasional dalam lomba pembuatan media pembelajaran berbasis computer / ICT oleh Depdiknas dan Depag di Jakarta. Dan baru saja meraih juara satu festival Nasyid se-Jatim, serta terpilih dalam lomba lingkungan sehat sekolah (LLSS) di tingkat provinsi bersama SMAN I dan SMAK Negeri I Sidoarjo.[11] Dari sini bisa dilihat bahwa selain dapat meraih kesuksesan dalam bidang “kekinian” juga tidak meninggalkan ciri khas keIslamannya. Contoh lain yakni MTS Negeri Sumenep, kerap kali menjuarai berbagai event lomba, baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Kejuaraan itu meliputi bidang olah raga, kesenian, bidang keagamaan dan sayembara mata pelajaan. Semua itu diperoleh dengan tidak meninggalkan fungsi pokok madrasah, yakni pada setiap hari senin dilatih dan dibiasakan melaksanakan kegiatan-kegiatan ibadah seperti tartil Qur`an, hafalan surat-surat pendek, kuliah tujuh menit (kultum), serta shalat dhuha. [12]
Kemudian sekarang muncul lagi persoalan baru yakni maraknya sekolah-sekolah non madrasah yang memadukan antara kurikulum umum atau kejuruan dengan ditambah beberapa mata pelajaran agama. Beberapa contohnya yaitu SD Islam, SMP Islam Ma`arif, SMP Islam Wahid Hasyim, SMP Muhammadiyah, SMA Muhammadiyah, SMA Islam al Irsyad, SMK Islam dan masih banyak yang lainnya. Sekolah-sekolah tersebut berusaha memadukan komponen pengetahuan, ketrampilan dan akhlak serta budaya.[13] Dan semua lembaga sekolah tersebut tentunya akan bersaing dengan madrasah-madrasah yang sudah ada.
Mengutip dari Suyanto dan Djihad, M.Tholhah mengatakan bahwa pendidikan agama dalam sekolah non madrasah yang berlabel Islam belum mampu memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pendidikan agama semakin gersang dan kehilangan kesegarannya karena pelajaran agama banyak diberikan hanya sebatas sebagai pengetahuan tentang agama. Bahkan seorang pakar dan pengamat pendidikan menilai, bahwa pendidikan agama disekolah-sekolah umum dan kejuruan, menjadi bonsai yang hanya cukup berperan untuk memperindah ruangan, tetapi tidak dapat berkembang secara optimal dan kontekstual sesuai dengan tantangan global. Guru agama yang lebih suka melihat pelajaran agama sebagai ilmu, bukan sebagai standar nilai-nilai yang aplikatif. Pembelajaran agama Islam lebih banyak menekankan aspek kognitif dari yang seharusnya, yaitu aspek afektif.[14]

D.    Kurikulum Madrasah dalam Era Otonomi pendidikan
Kurikulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal, yang  menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah dan pengawas pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Lebih  dari itu kurikulum merupakan pengejawantahan dari tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Otonomi daerah sesuai dengan UU 22/1999 telah menimbulkan perubahan besar, bukan hanya dalam pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan umum yang dibawah Depdiknas ikut mengalami desentralisasi, sementara pendidikan agama yang berada dibawah Departemen Agama masih belum jelas, apakah masih dibawah  pengawasan pusat atau didesentralisasikan. Karena otonomisasi dan desentralisasi yang sulit dielakkan madrasah maka kurikulum Depdiknas yang diikuti madrasah juga harus ditinjau kembali. Sentralisasi  tersebut harus disederhanakan dengan hanya menggariskan kebijakan, prinsip minimal, yang pada intinya hanya  bertujuan untuk menjamin adanya standar dasar umum bagi pendidikan nasional secara keseluruhan. Dan selebihnya harus didesentralisasikan  berdasarkan stakeholders didaerah.  Dan paradigma kurikulum seperti itu lebih popular disebut kurikulum berbasis sekolah ( school-based curriculum).
Kurikulum berbasis sekolah sangat ditentukan oleh seluruh stakeholders dalam berbagai tahapan pengembangan dan penerapan kurikulum.  Strategi perencanaan  pengembangan kurikulum ini mencakup langkah-langkah sebagai berikut ; : perencanaan, penerapan/pelaksanaan dan evaluasi. Dan perlu diakui  bahwa pengembangan Kurikulum berbasis sekolah ini tidaklah mudah, dimana harus ada kesiapan SDM, inisiatif dan pro-aktif kepala sekolah, guru dan pengelola pendidikan lainnya sampai pada adanya kesiapan fasilitas. Meski demikian madrasah memiliki modal sangat besar dalam bentuk pengalaman panjang sebagai lembaga pendidikan yang pada dasarnya merupakan communit- based education. Sebagai pendidikan yang berbasiskan masyarakat, madrasah memiliki potensi lebih besar tidak hanya mengembangkan pendidikan berbasis sekolah, tetapi lebih luas lagi meningkatkan kualitas pendidikannya dengan mengikutsertakan seluruh  stakeholder  yang ada.
Dan pada kurikulum MI dan MTS lebih menekankan pada transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak, sedangkan MA selain kedua hal itu juga menekankan pembentuakan dan pembinaan ketrampilan yang kini popular sebagai life skill.[15]  Dalam konteks program pendidikan madrasah  secara umum maka dalam kurikulum perlu diarahkan untuk membentuk, membimbing, melatih serta mengajak agar peserta didik dapat mengembangkan dan meningkatkan IQ, EQ, CQ dan SQ. Dimana dalam IQ menyangkut kualitas head  agar peserta didik menjadi orang yang cerdas dan pintar. Pendidikan EQ menyangkut kualitas heart agar peserta didik menjadi orang yang berjiwa pesaing, rendah hati, penyabar, berempati, menjaga harga diri ( self esteem), dan mampu mengendalikan diri (self control). Pendidikan CQ menyangkut kualitas hand  agar peserta didik nantinya dapat menjadi agent of change,  yang mampu membuat inovasi atau membuat hal-hal baru. Dan yang terakhir adalah pendidikan SQ menyangkut peningkatan kualitas honest agar peserta didik menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, serta berakhlak mulia.
Peserta didik tidak hanya dipersiapkan keilmuan dan ketrampilannya namun juga dipersiapkan dalam menghadapi dan merespon tuntutan masa depan. Peserta didik tidak hanya dipersiapkan kompeten dalam bidang studi yang dipilihnya tetapi juga dipersiapkan untuk memiliki kecakapan untuk mau hidup dan berani menghadapi problem-problem hidup dan kehidupan secara wajar  tanpa merasa tertekan, kemudian secara pro-aktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Dan madrasah tidak hanya menyusun pendidikan berdasarkan life skill, tetapi juga mengembangkan pendidikan berbasis life skill berdasarkan Tauhid. Peserta didik tidak hanya dipersiapkan dengan kecakapan hidup begitu saja, namun kecakapan hidup yang dijiwai oleh ruh dan nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga tidak hanya menjadi orang yang berani hidup dan mampu survive dalam hidup, apapun jalannya (baik halal maupun haram), namun berani hidup dan dapat survive hidup sesuai dengan ajaran Islam.[16]  Dengan melaksanakan semua muatan kurikulum diatas maka harapan-harapan orang tua siswa akan terwujud, walaupun pasti disana sini ada beberapa kendala dan hambatan.  

  1. Kualitas Guru
Diantara faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kualitas guru. Guru merupakan faktor penting yang turut menentukan baik buruknya  mutu pendidikan. Guru merupakan subyek pertama yang langsung berinteraksi dengan siswa. Model guru yang dengan sungguh-sungguh mendidik siswa sebagai anak didik, bahkan seperti anak kandung sendiri, seperti yang pernah terjadi masa Hindia Belanda dan masa orde lama, sudah amat langka.
Dan saat ini kualitas guru juga sedang terjadi masalah saat ini. Problematiaka guru ini tampaknya menjadi bahan diskusi menarik dari berbagai media dan forum ilmiah. Karena kerusakan sistem, siswa sering kali terjepit sebagai fenomena dari korban-makan korban lain. Siswa jadi korban para guru yang memperlakukan meraka sebagai obyek kejengkelan dan kemarahan guru yang telah diperlakukan sebagai korban pahlawan tanpa tanda jasa oleh sistem. Selain itu siswa juga menjadi korban guru yang mengajar kurang sungguh-sungguh sehingga siswa harus mengambil les tambahan pada guru tersebut diluar sekolah atau membeli soal-soal ulangan dengan cara terselubung. Pada masa sekarang , sosok guru yang sangat mengasihi siswa sudah sangat langka dan hanya bisa dijumpai didaerah-daerah terpencil dimana nilai-nilai materialisme masih belum berpengaruh. 
Kelayakan dan kompetensi guru seperti yang di tunjukkan dalam Depdiknas masih dibawah standar. Padahal uji kompetensi ini masih sangat mendasar dan belum menyentuh nilai, pengetahuan, dan ketrampilan yang lebih kompleks dan maju.[17] Dan hal ini juga terjadi di Depag yakni bahwa uji portofolio sertifikasi guru agama, baik yang mengajar dimadrasah maupun disekolah umum tingkat kelulusannya tidak sampai 50%. Banyak yang gagal dalam dalam uji porofolio program sertifikasi yang dipusatkan di IAIN Suanan Ampel Surabaya. Kondisi ini menjadi salah satu indikasi bahwa kualitas guru agama perlu diperbaiki, baik dari sisi administrasi maupun keilmuan.[18] Pendekatan legal seperti UU guru dan Dosen serta pendekatan ekonomis seperti peningkatan gaji guru saja tidak akan serta merta cukup untuk mengatasi krisis dalam profesi guru ini.
Perbaikan terhadap kualitas guru harus menyentuh semua aspek dan disesuaikan dengan kebutuhan guru. Guru yang lemah dalam aspek pengetahuan maka peningkatan yang harus dilakukan adalah pengembangan pengetahuan, jika guru lemah pada aspek ketrampilan maka pengembangan harus difokuskan pada ketrampilan dan begitu seterusnya. Beberapa yang perlu diup-grade atau diperbaiki untuk kualitas guru adalah : pertama aspek pendidikan guru, Kedua kompetensi guru dan Ketiga kesejahteraan. Rentetan materi diskusi tentang guru yang dinilai kurang profesional, distribusi guru berkualitas yang kurang merata, pendidikan guru yang belum memenuhi persyaratan administratif, hingga kesejahteraan yang masih terbengkalai. Dan masih banyak lagi problem guru yang patut didiskusikan.[19] 


PENUTUP
      Memegang bara api adalah panas” mungkin itulah istilah yang tepat untuk para penyebar agama Islam. Menegakkan dan menyebarkan ajaran Islam memang sangat diperlukan pengorbanan dan jerih payah, para Rasul saja ketika menyebarkan ajaran Allah menemui berbagai cobaan dan rintangan. Maka kita jangan heran kalau dalam pelaksanaan pendidikan di madrasah muncul berbagai masalah dan tantangan, baik itu dalam segi intern maupun ekstern. Sebagai pengemban amanat Allah maka kita harus selalu memikirkan dan mencari terobosan-terobosan dalam menghadapi masalah yang ada di lembaga pendidikan Islam, untuk menunjukkan bahwa memang Islam adalah Rahmatan lil `Alamin . Selamat berjuang. Allahu Akbar…..!!

DAFTAR PUSTAKA
Anton , Syaf,  Tak Mau Terjebak Pola Fisika, MIMBAR, Edisi Juli 2007.
Azra, Azyumardi,.Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Dalam Milennium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002
Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas, 2006,
Fadjar, A.Malik, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, Bandung;Mizan, 1998,
Maksum, Madrasah; Sejarah Dan Perkembangannya,  Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1999,
Musfiqon, Meng-Upgrade Kualitas Guru, MIMBAR, Edisi Desember 2007.
Rahman Saleh, Abdul, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta;PT RajaGrafindo, 2006,
Rahim, Husni, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di Indonesia, Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 2005.
S, Mey, Jadikan Sebagai Pilihan Pertama, MIMBAR, Edisi Oktober 2007.
Tholhah Hasan, Muhammad, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Jakarta;Lantabora Press. 2006.





[1] Makalah disampaikan pada mata Kuliah Problematika Pendidikan Modern Yang diampu oleh Bpk. Dr. Abd. Harits
[2] Mahasiswi Pasca Sarjana Konsentrasi Pendidikan Islam.
[3] Abdul Rahman Saleh, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta;PT RajaGrafindo, 2006), 83.
[4] A.Malik Fadjar, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, (Bandung;Mizan, 1998), 19.
[5] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: kompas, 2006), 84.
[6] Maksum, Madrasah; Sejarah Dan Perkembangannya. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1999), 97.
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Dalam Milennium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), 38.
[8] Maksum, Madrasah, 161.
[9] Husni Rahim, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di Indonesia, (Jakarta;Logos, 2005), 68.
[10] Azyumardi Azra, Paradigma, 94.
[11]Mey S, Jadaikan Sebagai Pilihan Pertama, (MIMBAR Edisi oktober 2007), 27-28.

[12] Syaf Anton,  Tak Mau Terjebak Pola Fisika, ( MIMBAR, Edisi Juli 2007), 27.
[13] Muhamad, Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta;Lantabora Press, 2006), 196.
[14] Ibid, 197.
[15] Azyumardi, Paradigma, 96.
[16] Kanwil, Mimbar, Edisi oktober, 41.
[17] Anita Lie, Wawasan Multikultural Dalam Pendidikan Karakter, (dalam Basis, Juli-Agustus 2007), 26.
[18] Musfiqon, Meng-Upgrade Kualitas Guru, (MIMBAR, Edisi Desember 2007), 38.
[19] Ibid., 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar