KAPITALISASI DAN KOMERSIALISASI
PENDIDIKAN
(Antara Kompetisi dan Keadilan)
Oleh:
Umi Rosyidah/FO.340618
A. Pendahuluan
Sesuai
dengan sifatnya yang tidak pernah berakhir dari sisi proses (never ending
process), pendidikan itu mempunyai banyak faset untuk ditelaah. Pendidikan
memang muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Menurut Paulo Freire pendidikan
merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia
agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada
ketertinggalan.[1] Pada
dasarnya pendidikan memang diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia
dari berbagai persoalan hidup.
Selain
itu pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu
pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk
meningkatkan ketrampilan kerja.[2] Sementara
bagi paham lain, pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan
nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat
mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk
menciptakan keadilan sosial.
Melihat begitu pentingnya makna dari
pendidikan bagi umat manusia, maka banyak peradaban manusia yang “mewajibkan”
masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan. Sebagaimana
peradaban kita sebagai umat Islam, yang selalu menanamkan kewajiban dalam
menuntut ilmu, seperti “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina” atau
“tuntutlah ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat”, sebagaimana sebuah
hadist yang berbunyi:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
ومسلمة
“Menuntut
ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim, baik laki-laki ataupun perempuan”.
Begitupula dengan peradaban negara
kita tercinta, Indonesia. Setiap tanggal 2 Mei di Seantero Nusantara, kita
merayakan Hari Pendidikan Nasional, semua ini tidak lain adalah untuk
mempertahankan dan menjaga keberlangsungan pendidikan di Indonesia, dan juga
seakan-akan negara kita ingin menegaskan bahwa pendidikan benar-benar modal
buat membangun dan mengembangkan negeri ini.
Tapi apa lacur, dan apa mau dikata,
ternyata yang terlihat dilapangan sungguh berbeda, bahkan ironis. Kondisi dunia
pendidikan kita amatlah memprihatinkan dan semakin jauh dari cita-cita yang
idealnya, yaitu sebagai wahana pembebasan manusia dan memanusiakan manusia.
Apalagi dewasa ini, kita tengah
memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas,
yang dikenal sebagai zaman globalisasi, maka tradisi umat manusia untuk
mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena
pendidikan sedang terancam dengan adanya sebagian manusia yang menyatakan bahwa
dunia pendidikan dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapat
keuntungan.
Sehingga
di zaman globalisasi ini pendidikan pun mulai terkesan dengan “mahalnya
biaya sekolah”. Dengan demikian pendidikan semakin tidak terjangkau bagi
rakyat miskin bahkan mungkin menjadi momok (sesuatu yang ditakuti) untuk
kalangan mereka dengan mahalnya dunia pendidikan.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Kapitalisme
Secara etimologis, kapitalisme
berasal dari bahasa latin “Caput” (kata benda) dan “Capitalis”
(kata sifat) yang berarti “kepala” atau “yang berkaitan dengan kepala”. Dalam
kaitan dengan kata ini, kapitalisme berarti usaha untuk mempertahankan
kepala, kehidupan, dan kesejahteraan.[3] Secara
terminologis, kapitalisme dipakai untuk menamai sistem ekonomi yang mendominasi
dunia Barat sejak runtuhnya feodalisme.
Sebagai sebuah sistem, kapitalisme
terkait dengan hubungan antara pemilik pribadi atas alat produksi seperti tanah
dan instalasi industri, yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital dan
para pekerja yang tidak mempunyai modal.
Max Weber (1867-1920), peletak dasar
sosiologi modern dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism
mendefinisikan “kapitalisme sebagai hadirnya industri bagi kebutuhan kelompok
manusia yang dilaksanakan dengan metode perusahaan yang dikelola secara rasional”,[4] seperti
adanya neraca modal. Weber menggunakan
semangat kapitalisme untuk menggambarkan sikap mental yang selalu berusaha
mencari keuntungan secara rasional dan sistematis.
Kapitalisme sebagai sistem baru
telah berkembang sejak zaman kuno, dan selalu mengalami masa kemajuan dan masa
kemerosotan. Karena kapitalisme merupakan suatu sistem yang terus mengalami
perkembangan dalam upaya eksistensi dirinya, kapitalisme mempunyai ciri-ciri
yang berbeda-beda pada setiap zamannya. Secara umum ciri-ciri kapitalisme dapat
dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kapitalisme klasik dan kapitalisme modern.
Nicholas Abercrombi (dosen sosiologi
University of Lancaster) mengemukakan ciri-ciri kapitalisme dalam bentuknya
yang murni sebagai berikut: 1. Pemilikan dan kontrol atas instrument produksi,
2. Kegiatan ekonomi diarahkan bagi pembentukan laba (profit), 3. Tersedianya
sistem pasar yang mengatur semua kegiatan, 4. Perolehan laba oleh pemilik
modal, dan 5. Penyediaan tenaga kerja oleh buruh yang bertindak sebagai agen
bebas.
Adapun
ciri kapitalisme modern menurut Meghnad Desai (guru besar London School of
Economics) adalah: 1. Produk untuk dijual, bukan untuk dikonsumsi sendiri, 2.
Pasar, tempat tenaga kerja dibeli dan dijual dengan alat tukar upah melalui
hubungan kontrak, 3. Uang, yang digunakan dalam tukar menukar, 4. Proses
produksi atau proses kerja, 5. Pengambilan keputusan di tangan pemilik modal,
6. Persaingan bebas di antara pemilik kapital.
2. Sekolah
dan Perusahaan
Dengan
bertahan dan semakin berkembangnya kapitalisme, ternyata kapitalisme tidak
hanya berkembang di dunia industri dan perusahaan, melainkan perkembangan
kapitalisme juga sudah mulai berkembang di dunia pendidikan.
Masuk
dan berkembangnya kapitalisme di dunia pendidikan ditandai dengan semakin
maraknya pembangunan sekolah-sekolah swasta dengan memberlakukan perilaku pasar
bebas dan dunia bisnis di dunia pendidikan (sekolah).
Maraknya
pasar bebas didunia pendidikan, dilandasi pada suatu ideologi yang berangkat
dari kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai sebagai hasil
normal dari “kompetisi bebas”.[5]
Kompetisi Pasar Bebas merupakan suatu kompetisi yang agresif akibat dari
terjaganya mekanisme pasar bebas. Kesemua keyakinan ini berangkat dari suatu
pendirian bahwa “pasar bebas” itu efisien, dan pasar bebas diyakini sebagai
cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam yang langka, demi untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Pasar
bebas dan bisnis yang berlaku di sekolah-sekolah semakin berkembang pesat,
dengan banyaknya program baru yang semakin menekan dan melumpuhkan orang tua
sebagai wali murid dalam membiayai sekolah anaknya.
Program
sekolah itu berupa seperti adanya pengadaan kaos olah raga, study tour, daftar
ulang, perubahan warna baju seragam sekolah setiap tahunnya, gantinya terbitan
buku pelajaran setiap semester dan lain sebagainya, yang semua itu dikoordinir
oleh pihak sekolah.[6]
Program
tersebut dilandasi atas alasan untuk meningkatkan kualitas anak didik dan untuk
mempermudah jalannya sitem pendidikan di sekolah, tapi dibalik itu semua
terdapat adanya dunia bisnis, dimana seorang guru dan lembaga berfungsi sebagai
birokrasi perusahaan dengan mendapatkan keuntungan yang besar.
Semua
praktisi bisnis di sekolah itu berjalan lancar karena kolusi antara pengusaha
(industri wisata, penerbitan, tekstil, asuransi, sepatu dan lain sebaginya)
dengan penguasa maupun pelaksana pendidikan,[7] yang
mana pastinya mereka mendapat keuntungan yang sangat besar dari praktisi bisnis
tersebut.
Lain halnya dengan masyarakat yang menjadi
korban, dengan adanya program-program tersebut, mereka semakin terlumpuhkan dan
tertekan dengan biaya sekolah. Sehingga mereka selalu dihantui rasa takut
dengan biaya sekolah yang mahal dan keputus-asaan dalam menuntut ilmu.
Dengan
adanya buku pelajaran yang selalu berganti setiap tahunnya atau terkadang
setiap semester, maka buku-buku tersebut tidak dapat diwariskan kepada adiknya
atau tetangga yang membutuhkan, begitupula dengan seragam sekolah. Padahal jika
tidak ada beberapa program tersebut, para orang tua dapat menghemat biaya
pendidikan, dan dapat menyekolahkan anaknya sampai selesai sehingga akan
semakin berkurang data anak yang putus sekolah (drop-out).
Dari
beberapa program sekolah diatas, betapa program sekolah telah turut menyumbang
terjadinya proses “Pemiskinan” dan “Pembodohan” di masyarakat,
karena semakin banyaknya anak didik yang tidak dapat menyelesaikan program
study mereka sampai selesai, dikarenakan biaya sekolah yang mahal dan hanya
dapat dijangkau oleh mereka yang ekonominya terjangkau.
3. Faktor
Penyebab Kapitalisme dan Komersialisme Pendidikan
a. Kesalahan
Paradigma dan pendekatan
Berkembangnya
kapitalisme pendidikan di sekolah adalah dampak dari zaman globalisasi dan juga
dampak dari kesalahan Paradigma dan Pendekatan. Kesalahan ini merupakan warisan
pemerintah kolonial Belanda dan oleh pemerintah orde baru sampai kini masih
dilanjutkan tanpa sadar.
Kesalahan
paradigma tersebut adalah menanamkan paradima “kompetisi” dalam
pendidikan, dan bukan paradigma “keadilan sosial” yang seharusnya
ditanamkan pada masyarakat. Sekilas paradigma itu adalah wajar-wajar saja, tetapi
begitu diteliti lebih jeli, kompetisi dalam orde baru adalah kamuflase dari
mempertahankan status-quo ekonomi-sosial yang sangat timpang. [8]
Sebagai
contohnya adalah pembedaan alokasi subsidi yang bias pada sekolah-sekolah negri
top dan di ibu kota yang menganaktirikan sekolah-sekolah negri bawahan dan jauh
dari pusat, atau di kabupaten pelosok tanah air.
Contoh
lain adalah pembedaan perlakuan antara sekolah-sekolah yang dikelola oleh
Negara dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta. Biasanya yang dikelola
oleh Negara adalah anak emas dan yang dikelola oleh swasta adalah anak tiri.
Pembedaan ini adalah pembedaan sistematis, artinya untuk maksud tujuan politik
ekonomi tertentu.
Paradigma
“kompetisi” lebih mengimplikasikan pendekatan kapitalis liberalis-di Indonesia
ditambah dengan ajektif “feodal”-“sumber daya manusia”.[9].
Pendekatan “sumber daya manusia” mengandaikan investasi dalam bentuk uang
maupun tenaga kerja, dimana manusia disama-ratakan dengan barang. Pendekatan
ini dibesarkan oleh pemikir ekonom klasik pengenai “pertumbuhan ekonomi”.
b. Beratnya
tanggungan dan seriusnya ketimpangan ekonomi sosial bangsa
Dari
kesalahan paradigma dan pendekatan yang menyebabkan adanya pembedaan dan
perhatian pemerintah dalam hal alokasi subsidi antara sekolah negeri dan sekolah
swasta, membuat sekolah-sekolah swasta kekurangan dana dalam pengembangan
pendidikan, khususnya menghadapi zaman globalisasi ini.
Maka
dalam melengkapi fasilitas sekolah agar tercapainya tujuan pendidikan yang
diinginkan, dan untuk menggaji para guru, pihak sekolah menarik uang SPP yang
tidak sedikit dan lebih mahal dari sekolah negeri, selain itu juga masih ada
dana potongan yang dibebankan kepada orang tua murid, seperti biaya ujian, uang
rapor, uang ijazah, perayaan hari besar, uang UKS, OSIS, dan lain sebagainya.[10]
Dengan
beratnya tanggungan ekonomi sosial pendidikan ini mengakibatkan ketimpangan
ekonomi sosial bagi guru/dosen di satu pihak, tetapi juga bagi peserta didik
dan keluarganya di lain pihak, sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat
penyelesaian atau pelulusan peserta didik, yakni sepertiga dari jumlah
pendaftar.
Dengan
kata lain drop-out atau putus sekolah sebelum waktunya merupakan dampak dari beratnya
tanggungan dan ketimpangan ekonomi sosial, sehingga semakin banyak anak didik
yang tidak mendapatkan hak-hak mereka dalam dunia pendidikan.
4. Tata
Pendidikan Berkeadilan Sosial
Pendidikan
adalah kebutuhan dasar (basic need) hidup manusia.[11]
Pendidikan juga merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia, tapi
kenyataan yang terjadi pendidikan dan pengajaran di dalam paradigma neokolonial
Indonesia selama ini hanya diajukan demi fungsinya terhadap kebutuhan penguasa,
tidak demi masyarakat.
Maka
sudah saatnya kita merubah paradigma pendidikan yang selama ini keliru. Paradigma
pendidikan yang seharusnya ditanamkan adalah paradigma “keadilan sosial”, yang
direkomendasi oleh Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 27. yang pertama menjadikan
“ikut mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang kedua menjamin “hak memperoleh
pendidikan untuk semua”.[12]
Paradigma
“kedilan sosial” menuntut dijadikannya dasar membangun sistem persekolahan
maupun pendidikan masyarakat luas usaha-usaha secara preferensial untuk
mensubsidi peserta didik yang tertinggal secara ekonomi sosial. Subsidi tidak
hanya berupa materi termasuk uang, tetapi berupa juga pendampingan ekstra.
Maksudnya, agar beban ekonomi sosial tidak menjadi kendala untuk mengembangkan
kepandaian otak dan keluhuran watak.
Dalam
paradigma “Kompetisi”, menggunakan pendekatan “sumber daya manusia”. Lain
halnya dengan paradigma “kedilan sosial”, menggunakan pendekatan “pemberdayaan
manusia”. Pendekatan ini menempatkan manusia sebagai manusia. Manusia tidak
disejajarkan dengan barang. Manusia merupakan makhluk otonom yang merdeka,
mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan direalisasikan.
Mekanisme
paradigma “keadilan sosial” adalah “penetasan kemakmuran”. Argumentasinya asal
ada pertumbuhan, perataan, atau distribusi berjalan dengan sendirinya.
Pendidikan yang berkeadilan ini akan terlaksana bilamana kita semua serius
mentransformasikan pendidikan menuju ke pendidikan yang menempatkan manusia sebagai manusia.[13]
Jika
paradigma ini terlaksana, maka tidak akan ada lagi beratnya tanggungan dalam
dunia pendidikan dan ketimpangan ekonomi
sosial bangsa. Dengan paradigma “keadilan sosial” semua anak didik akan
mendapatkan haknya dalam menuntut ilmu, dan kemungkinan besar akan terjadinya
pengurangan dalam jumlah anak didik yang putus sekolah.
Selain
itu para pendidik atau guru juga akan mendapatkan kesejahteraan yang semestinya
dan yang memang sudah seharusnya mereka terima sebagai para pendidik.
Sebagaimana pernyataan KH. Syukri Zarkasyi bahwa agar pendidikan dapat berjalan
secara efektif, efisien dan tetap survive khususnya di zaman globalisasi ini
maka kesejahteraan guru harus sangat diperhatikan.[14]
Mengingat mereka adalah orang-orang yang mencerdaskan kaderisasi bangsa.
Dengan
adanya paradigma keadilan dalam dunia pendidikan, baik dalam hal subsidi antara
sekolah negeri dan sekolah swasta, diharapkan tidak ada lagi kesan “sekolah
mahal” dan sekolah hanya dapat dijangkau oleh mereka yang berekonomi tinggi,
tapi semua manusia dapat mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan.
C. Penutup
Pendidikan
adalah wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat
mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja. Pendidikan
juga diyakini sebagai suatu media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran
keagamaan, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat
mengangkat status sosial, dan juga wahana untuk menciptakan keadilan sosial.
Akan
tetapi dalam praktik pendidikan selama ini bukannya mencerdaskan, malah
sebaliknya, pendidikan dijadikan arena pembodohan saja, dan sumbangan dalam
program meningkatkan pemiskinan masyarakat. Lebih tepat lagi pendidikan justru
menjadi belenggu tersendiri bagi masyarakat.
Semua
hal tersebut karena paradigma yang salah selama orde baru, yaitu paradigma
“kompetisi” dengan pendekatan “Sumber Daya Manusia”. Dalam paradigma ini, dunia
pendidikan lebih mempertahankan status-quo
ekonomi-sosial yang sangat timpang.
Paradigma
“Kompetisi” mengakibatkan mahalnya sekolah, karena ketidak adilan pemerintah
dalam pemberian subsidi antara sekolah negeri dan sekolah swasta, sehingga
menyebabkan rendahnya gaji guru.
Maka
tidak heran ketika kapitalisme berkembang di dunia pendidikan. Para pelaku
pendidikan juga turut memiliki otak komersil dan turut mengembangkan pasar
bebas di sekolah mereka. Hal ini mereka lakukan demi menjaga mutu sekolah dan
mempertahankan biaya hidup mereka, karena berlakunya pasar bebas di dunia
pendidikan membawa keuntungan yang besar bagi mereka.
Maka
paradigma yang seharusnya ditanamkan adalah “keadilan sosial”, dengan harapan agar
tercapainya tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Dengan paradigma keadilan
sosial diharapkan akan adanya pemerataan dalam dunia pendidikan, sehingga semua
anak bisa mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan. Dengan demikian visi
sosial dalam pendidikan akan terkedepankan, dan bukan visi ekonominya.
Daftar Pustaka
Wahono, Francis,
Kapitalisme Pendidikan Antara kompetisi dan keadilan,
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001.
Darmaningtyas, Pendidikan
yang Memiskinkan, Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Yunus, Firdaus
M, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung
Pustaka,
2005.
Irawan, Ade, Mendagangkan
Sekolah, Jakarta: Yayasan Tifa, 2004.
Redwood, John,
terj. Kapitalisme Rakyat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Topatimasang,
Roem, Sekolah itu Candu, Yogyakarta: Pustaka Peljar, 2003.
Soros, George,
terj. Krisis Kapitalisme Global, Yogyakarta: Penerbit Kalam, 2001.
Darmaningtyas, Pendidikan
Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LKis, 2007.
Armando, Nina M., Ensiklopedi
Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
[1]
Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2005), hal 1.
[2] Francis
Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan keadilan,
(Yogyakarta: Insist Press, 2001), hal 2.
[3]
Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal
52.
[4]
Ibid., 53.
[5]
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 2.
[6]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, (Yogyakarta: Galang Press,
2004), hal 229.
[7]
Ibid., 250.
[8]Francis
Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 86.
[9]
Ibid., 89.
[10]
Ade Irawan, dkk, Mendagangkan sekolah, (Jakarta: Yayasan Tifa, 2004),
hal 96.
[11]
Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2005), hal 7.
[12]
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 87.
[13]
Ibid., 107.
[14]
Syukri Zarkasyi,” Pengembangan Pendidikan Pondok Pesantren di Era Otonomi
Pendidikan: Pengalaman Pondok Modern Darusslam Gontor”, (disertasi: UIN Syarif
Hidyatullah, 2005), 29.