DINAMIKA
PERGURUAN TINGGI
(IAIN di persimpangan jalan)
Oleh :UMMI NAHDLIYAH
Muqaddimah
Pendidikan yang usianya adalah setua usia
manusia merupakan satu elemen penting dalam kehidupan umat manusia, karena
tanpa pendidikan manusia tidak akan berkembang menjadi lebih maju dan modern seperti
saat ini. Sehingga pendidikan menjadi faktor determinan antara manusia satu
dengan manusia lain, atau bahkan Negara satu dengan Negara yang lain. Hal ini
dapat dilihat dari negara-negara yang benar-benar memperhatikan pendidikan terlebih
perguruan tinggi sebagai prioritas utama dalam program pembangunan sehingga
mereka pun menjadi negara maju dan modern yang terus bergerak meninggalkan jauh
negara-negara yang hanya "setengah-setengah" dalam menangani
pendidikan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Jaroslav
Pelikan, bahwa a modern society is unthinkable without the university[1] yang
berarti masyarakat modern tidak bisa terwujud tanpa adanya perguruan tinggi
atau universitas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap bangsa yang ingin maju, mau
modern dan hendak berkembang harus memiliki lembaga perguruan tinggi untuk
meningkatkan kualitas manusia.
IAIN merupakan salah satu dari perguruan
tinggi negeri yang pada dasarnya mempunyai peran yang sangat besar dalam
memajukan bangsa. Memang, awalnya ia tidak didirikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
saja melainkan faktor agama, ideologi dan bahkan politik. Kekhasan IAIN dari
sisi lain adalah, jika di PTU agama Islam sekedar menjadi salah satu mata
kuliah, di lembaga ini ditetapkan sebagai fokus kajian utama. Meskipun
demikian, IAIN menyandang status yang sama dengan lembaga pendidikan negeri
lain, yakni perguruan tinggi negeri (PTN). Jenjang pendidikannya juga sama S1,
S2 dan S3.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam,
perjalanan IAIN yang dipenuhi dengan berbagai macam problematika hendaknya
tidak menjadikan kita pesimis terhadap perkembangan pendidikan Islam tetapi
menjadi motivator bagi kita untuk berbuat lebih baik lagi. Oleh karenanya,
membincang pendidikan Islam wabil khusus IAIN membutuhkan waktu yang
panjang dan tidak boleh berhenti hanya sampai pada forum singkat ini. Berikut
ini akan dibahas secara singkat tentang dinamika perguruan tinggi dengan IAIN
sebagai fokus pembicaraan.
IAIN dalam sejarah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
merupakan perkembangan lebih lanjut dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) yang terletak di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di
Jakarta, yang didirikan tanggal 1 Juni 1957. Dilihat dari segi usia ini, IAIN
sebetulnya termasuk perguruan tinggi yang relatif cukup mapan di tanah air.[2]
Sebagaimana disinggung di atas, keinginan
mendirikan perguruan tinggi Islam selain didasarkan pada pertimbangan edukasi
dan dakwah, juga dilandaskan pada kepentingan ideologis. Cerminan yang paling
jelas adalah pembentukan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pada 1950
di Yogyakarta oleh pemerintahan Soekarno. Lembaga ini dipandang sebagai
"hadiah" kepada kelompok nasionalis-Islam setelah pemerintah
"memberikan" UGM kepada kalangan nasionalis-sekular. Meskipun
demikian, PTAIN bukanlah lembaga baru sama sekali, karena modalnya berasal dari
pengambilalihan Fakultas Agama UII.
Kelompok Islam menjadikan PTAIN sebagai
salah satu instrumen ideologis mereka. Di satu sisi ia dapat berfungsi sebagai tempat memproduksi ulama, di
sisi lain bisa juga menjadi benteng pertahanan tradisi. Sebagai lembaga
pendidikan dan dakwah, PTAIN menjalankan peran konvensionalnya dengan kegiatan
belajar mengajar serta penyebaran syiar agama. Akan tetapi, keberadaan perguruan
tinggi itu sendiri ternyata juga berfungsi sebagai benteng ideologi masyarakat
sekitar dari serangan ideologi lain. Atas dasar alasan itu pihak Depag
memutuskan untuk menggandakan PTAIN menjadi puluhan fakultas dan disebar ke
berbagai daerah. Kebijaksanaan ini sebagian dimaksudkan untuk membendung arus
komunisme yang saat itu agresif merasuki berbagai wilayah.
Problematika IAIN
1. Perekrutan
mahasiswa
Seolah tak ada habisnya "mencerca"
pendidikan di Indonesia. Hampir di setiap sudut wajahnya tak pernah ada
baik-baiknya, tak terkecuali dengan perguruan tinggi dalam hal ini IAIN
(Institut Agama Islam Negeri) yang saat ini sedang kita bahas. Sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam yang
sedang marak diperbincangkan akibat fenomena beralihnya ke UIN.
Tak dapat dipungkiri, secara empiris lembaga
pendidikan Islam di Indonesia masih dijadikan pilihan kedua (second class)
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Disamping karena kualitas akademiknya
yang masih kurang juga karena out put yang dihasilkannya seringkali dipandang
sebelah mata bila dibandingkan dengan alumni PTN yang lain. Hal ini tidak lain
karena asumsi masyarakat terhadap IAIN sebagai lembaga dakwah Islam yang hanya bertugas
mencetak modin dan muballigh.
Pada umumnya yang masuk pada pendidikan Islam,
mereka hanyalah kelompok "residu" yang gagal memasuki
persaingan di tingkat umum, atau mereka yang "terpaksa" daripada
tidak kuliah. Meskipun bagi banyak kalangan muslim, utamanya orang Islam desa,
lembaga seperti IAIN adalah sebuah lembaga pendidikan yang merupakan
satu-satunya pilihan atau meminjam ungkapan Ihsan Ali Fauzi "the best
offer you can get"[3]. Tentunya
dengan input yang rendah dan pas-pasan semacam ini akan sulit untuk mencapai
target yang dinginkannya, hingga pada akhirnya persoalan tersebut harus
berkutat laksana lingkaran setan yang tidak pernah putus.
Meskipun IAIN menyandang status yang sama
dengan perguruan tinggi negeri (PTN) dan jenjang pendidikannya juga sama
S1-S2-S3, namun sistem rekrutmen mahasiswanya berbeda dari perguruan tinggi
negeri, dimana pola SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang dipakai tidak
diterapkan di IAIN. Oleh karenanya tak ada standar yang sama,
kualifikasi akademik dan profesional IAIN menjadi sulit diukur. Itulah sebabnya
lulusan IAIN, meskipun secara formal memiliki gelar sarjana, sering tidak
diakui di pasaran.
2. Pembelajaran di
IAIN
Maksud didirikan IAIN antara lain untuk
memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan
pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya, dalam pasal 2 peraturan presiden no. 11
tahun 1960 tentang pembentukan IAIN ditegaskan, IAIN bermaksud untuk memberikan
pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu
pengetahuan tentang agama Islam. Dengan mempertinggi taraf pendidikan dalam
lapangan agama dan ilmu pengetahuan Islam adalah berarti mempertinggi taraf
kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerohanian (spiritual) dan ataupun
dalam taraf intelektualismenya.
Dengan landasan
tersebut IAIN diharapkan mampu memberikan respons dan jawaban Islam terhadap
tantangan zaman. Tetapi yang terjadi adalah para alumni IAIN belum mampu
memberikan warna dan pengaruh keIslaman kepada masyarakat Islam secara
keseluruhan.
Selain itu, sistem
pendidikan dan perkuliahan yang berlangsung kebanyakan masih mengikut apa yang
disebut Freire sebagai "the banking concept of education"
(pendidikan ala bank), bukan "problem posing education"
(pendidikan yang kritis).[4]
Dalam konsep
pendidikan bank yang disinggung, mahasiswa lebih diorientasikan ke masa silam,
ketimbang ke masa depan. Sikap
sadar terhadap masa depan (futurisme) tidak menjadi bagian integral dari
proses belajar mengajar di IAIN.
Padahal hanya dengan sikap sadar terhadap masa
depan itu, produk IAIN dapat lebih fungsional dalam masyarakat, khususnya dalam
hubungannya dengan gagasan reaktualisasi atau revitalisasi Islam. Singkatnya,
futurisme bertujuan untuk memperkuat kemampuan praktis produk IAIN untuk
mengantisipasi dan mengadaptasi diri dengan perubahan, baik melalui penemuan,
penjelasan atau pengalaman atau melalui resistansi dan akomodasi intelektual
yang cerdas.
Karena proses belajar mengajar semacam inilah,
mahasiswa tidak disiapkan untuk menghadapi tantangan modernisasi dan kebutuhan
masyarakat yang kian kompleks. Sehingga tak sedikit alumni IAIN yang tidak
mampu bersaing di tengah derasnya globalisasi. Selain itu, karena pembelajaran
semacam inilah budaya kritis dari mahasiswa semakin tidak lagi mewarnai proses
pembelajaran. Sehingga produksi dan reproduksi keilmuan & kajian
keIslaman pun semakin sulit ditemukan.
3. Lulusan IAIN
Pendidikan
itu kan yang penting dilihat bukan intended consequences-nya –seperti
orang belajar ke ITB menjadi insinyur- melainkan, yang lebih penting adalah unintended
consequences-nya : menjadi terpelajar. Kalau menjadi terpelajar, orang itu
bisa menjadi apa saja. Gejala IAIN menjadi apa itu sama saja dengan fenomena
orang-orang IPB (Institut Pertanian Bogor) yang banyak menjadi bankir. Itulah
yang namanya disebut unintended consequences. Hal ini bisa menjadi
semakin besar, bila aspek tradisi intelelektualnya tersentuh. Pada mula-mulanya
kan orang-orang pergi ke IAIN ingin menjadi modin. Tapi, lama kelamaan,
karena aspek intelektualnya tersentuh lalu mereka bisa menjadi apa saja. Itu
pentingnya menjadi terpelajar.[5]
Demikianlah gambaran
lulusan IAIN saat ini, telah digambarkan oleh cendekiawan Nurcholis Majid. Lulusan IAIN yang jumlah ribuan
tentunya tidak semuanya dapat mengaplikasikan keilmuan yang didapatnya sesuai
dengan bidangnya yakni profesi yang terkait dengan bidang keagamaan. Bahkan
tidak sedikit lulusan IAIN bekerja di bidang yang sama sekali bertolak belakang
dengan keilmuan yang diperolehnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Nurcholis Majid
"menjadi terpelajar" alias bisa apa saja. Tetapi sudahkah, lulusan
IAIN dibekali dengan keilmuan sehingga menjadi lulusan yang bisa apa saja?
4. Pengembangan IAIN
menjadi UIN
Gagasan dan konsep tentang pengembangan IAIN
menjadi UIN bertitiktolak dari beberapa masalah yang dihadapi IAIN dalam
perkembangannya selama ini. Beberapa masalah pokok itu adalah sebagai berikut.[6]
Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam
dunia akdemik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secra keseluruhan. Di anatara
ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih besar pada masyarakat,
karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua, kurikulum IAIN belum mampu meresponi
perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan
terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialisasi IAIN kurang
mengalami interaksi dan reapproachment dengan ilmu-ilmu umum, bahkan
masih cenderung dikotomis.
Berdasarkan latar belakang pokok itu,
pengembangan IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) mempunyai alasan yang
cukup kuat sehingga saat ini sudah kita temukan beberapa IAIN yang sudah
beralih kelembagaan menjadi UIN.
Beralihnya IAIN ke UIN pun nampaknya menuai pro
kontra antara pihak modernis dan tradisionalis. Golongan tradisionalis
beranggapan bahwa IAIN harus tetap dipertahankan sebagai wadah untuk
mengembangkan khazanah keIslaman dengan kajian-kajian keIslamannya yang telah
ada dan menjadi ciri khasnya selama ini sedangkan golongan modernis berpendapat
bahwa sudah saatnya IAIN beralih ke UIN memasukkan materi-materi ilmu umum
menjadi bidang kajiannya sehingga IAIN tidak lagi menjadi spesialiasasi kajian
keagamaan.
Penutup
Berbagai problematika yang muncul berkenaan dengan perguruan tinggi
dalam hal ini IAIN menuntut kita untuk terus berpikir dan berupaya agar mampu
menemukan formula yang tepat guna perkembangan lembaga pendidikan Islam yang
sampai detik ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat.
Apalagi lulusan IAIN yang jumlahnya tak dapat dihitung dengan jari adalah
potensi besar yang sayang untuk disia-siakan. Memang, segala sesuatu itu jika
banyak maka akan menjadi murah. Demikian pula "saking"
banyaknya lulusan IAIN, maka hampir tak ada yang mencarinya. Maka menjadi
sebuah keniscayaan bagi kita yang "terpelajar" ini untuk terus
berijtihad sehingga IAIN sekarang bisa berubah berubah lebih baik dan mampu
mencetak anak bangsa yang handal dan terpelajar. Percayalah, bersama kita bisa.
Semoga!
DAFTAR PUSTAKA
Isna,
Mansur. Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001.
Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam. Problem &
Prospek IAIN; Antologi Pendidikan Tinggi Islam.
Departemen Agama RI, 2000.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi
menuju Millenium Baru. Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Wahono, Frsancis. Kapitalisme
Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Tilaar,
H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta, 2002
[1] Jaroslav
Pelikan, The Idea of The University: A Reexamination (New Haven: University
Press, 1992), 13 dalam Diskursus Pendidikan Islam, 3
[2] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru (Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1999), 159
[3] Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam. Problem
& Prospek IAIN; Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Departemen Agama RI,
2000), 337
[4] Pendidikan Islam, 163
[5]
Nur Cholis Madjid, Wawancara
dalam Problem dan Prospek IAIN, 342
[6] Problem & Prospek IAIN, 13